REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Supriyono
Beberapa rekan saya merasa waswas melihat suasana menjelang dan usai pemilihan presiden. Meski sudah tiga kali mengikuti pemilihan umum presiden secara langsung, baru sekarang ini mereka merasa kan suasana yang mencekam.
Seorang teman di kantor tiba-tiba bertanya. “ Mas, besok kira-kira apa sampai terjadi perang?” tanya ibu muda itu pada saya. “ Lho, perang apa ini?” jawab saya. Ia pun menjelaskan perihal kekhawatirannya bakal ada huru-hara di setelah pelaksanaan pemilihan presiden tanggal 9 Juli nanti.
Isu aneh dan bahkan menyeramkan mulai bertebaran belakangan ini melalui berbagai sarana komunikasi. Ada yang menyebut bakal muncul terorisme di tengah pelaksanaan pemilu nanti dan lain sebagainya.
Suasana panas memang terasa sejak berlakunya masa kampanye awal bulan lalu. Banyak hal yang mengakibatkan suhu pemilu presiden kali ini terasa begitu panas.
Sejak kita menerapkan sistem pemilihan langsung calon presiden pada tahun 2004, baru kali inilah kandidat yang maju hanya dua orang. Situasi ini membuat masyarakat seolah terbelah menjadi dua kelompok yang berhadapan secara diametral. Belum lagi isu beraroma agama yang seolah menjadi penanda bagi satu kelompok dan menihilkan bagi yang lainnya.
‘Perang’ yang demikian gencar juga terjadi di dunia maya.
Berbeda dengan pelaksanaan pilpres sebelumnya, kali ini saling olok, saling ejek, bahkan saling fitnah juga muncul di dunia maya atau media sosial. Bukan hanya masyarakat biasa yang melakukannya, tetapi para politisi dan intelektual pendukung kedua kubu pun ramai saling bersahutan untuk berkicau dengan kata-kata yang terkadang kasar di dunia maya.
Setiap hari media sosial tak pernah sepi dari nyanyian para pendukung kedua kandidat lewat pelbagai senandungnya. Kata-kata kasar dengan nada saling serang pun menjadi akrab dan senantiasa muncul: mulai dari penculik, penjahat, pembohong, bodoh, munafik, dungu, dan lain-lain.
Media massa --baik cetak, portal berita, maupun elektronik-- juga ikut terbelah. Ada pula media abal-abal yang ikut menambah runyamnya suasana perseteruan.
Ada hal yang lebih mengkhawatirkan tatkala rasa permusuhan itu juga menjalar ke beberapa tokoh purnawirawan militer yang mendukung kedua belah pihak. Beberapa mantan petinggi militer --antara lain Letjen Purn Agum Gumelar, Letjen Purn Luhut Panjaitan, Letjen Purn Agus Widjojo-- menilai Letjen Purn Prabowo Subianto tak layak maju sebagai capres lantaran pernah terbelit kasus penculikan aktivis.
Letjen Purn AM Hendropriyono bahkan sempat menyebut Prabowo masuk kategori hampir ‘gila’, merujuk hasil psikotes saat masih aktif di militer. Sedangkan mantan panglima TNI Jenderal Purn Wiranto pun --merespon keterangan Prabowo dalam debat capres yang meminta agar semua pihak menanyakan pada atasan dia atas sikapnya untuk menyelamatkan negara-- menggelar jumpa pers dan menyebut, bahwa penculikan aktivis itu atas inisiatif Prabowo.
Sudah barang tentu pendukung Prabowo bereaksi atas semua itu. Nada keras bahkan muncul dari pernyataan Letjen Purn Johanes Surya Prabowo (mantan kasum TNI). Suryo menilai Wiranto bohong. Bahkan ungkapan tak lazim sempat muncul di televisi. “Saya heran, orang seperti itu (Wiranto) kok bisa jadi panglima TNI,” kata Suryo. Beberapa kali Suryo menyebut nama Wiranto tanpa embel-embel ‘jenderal’ atau ‘pak’.
Saya heran, mengapa Letjen Purn Suryo bisa berkata sekasar itu dan dikemukakan di depan kamera pula? Apalagi yang disebut adalah seniornya di TNI yang jauh lebih tinggi, dari sisi usia maupun kepangkatan.
Saya bandingkan dengan Wiranto yang dalam beberapa kesempatan menyebut nama Prabowo dengan menggunakan kata ‘pak’. Tampaknya, etika dan rasa hormat kepada yang lebih tua tak lagi menjadi hal yang perlu untuk dijadikan pedoman dalam berpolitik.
Keheranan ini sempat saya sampaikan pada seorang jenderal purnawirawan TNI berbintang dua dengan inisial E. Sang punawirawan E ini menyebut, apa yang disampaikan Suryo Prabowo memang jauh dari etika.
“Mestinya tidak begitu. Etika berbicara di depan umum harus tetap jadi pegangan. Pak Wiranto itu kan senior dia dan mantan panglima dia juga,’’ tutur jenderal E. Dia juga menambahkan, pernyataan AM Hendropriyono di muka umum yang menyebut Prabowo hampir gila juga tak pantas dilakukan.
Saya lalu teringat pertanyaan teman saya tadi soal kekhawatiran bakal terjadinya perang. Kekhawatiran saya itu juga saya utarakan ke jenderal E tadi. Dia menyatakan, bahwa kekhawatiran itu tak perlu terjadi.
Menurut jenderal E, usai perang komentar itu, para purnawirawan jenderal TNI mengadakan pertemuan rutin dan dipimpin ‘sang lurah’ langsung, yakni Jenderal Purn Djoko Santoso (mantan panglima TNI) yang juga anggota tim sukses Prabowo. Dalam kesempatan itu Djoko Santoso meminta agar para jenderal purnawirawan tetap memegang teguh etika dan jiwa korsa (bila yang satu sakit, maka yang lain akan merasakan juga).
Jenderal E juga menjelaskan, bahwa Djoko Santoso menyatakan, boleh berbeda pendapat dan menolak pikiran atau opini seseorang tetapi tidak boleh menyerang pribadi. Secara implisit, jenderal E juga menjelaskan, bahwa Hendropriyono serta Johanes Suryo sempat diingatkan oleh sang ‘lurah’ agar lebih berhati-hati dalam berpendapat.
Sejak itu, perang kata-kata antarpara purnawirawan jenderal memang tak lagi terdengar. Dari jenderal E pula saya mendapat jawaban, bahwa tak usah khawatir akan terjadi huru-hara atau perang. “Itu jauh dari pemikiran kami. Memang kami berbeda pendapat tetapi keutuhan negara tetap nomor satu,” kata jenderal E.
Syukur Alhamdulillah kalau begitu.