REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya
Hari Raya Idul Fitri 1435 H tinggal hitungan jari. Demikian pula dengan penentuan hasil penghitungan suara dalam Pilpres 2014 pada 22 Juli mendatang. Menjelang Lebaran Idul Fitri maupun penentuan hasil penghitungan suara versi Komisi Pemilihan Umum (KPU), masyarakat sama-sama sibuk mengawal.
Kalau mendekati Lebaran, yang dikawal adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Sementara dalam Pilpres yang dikawal adalah hasil penghitungan suara pemilih. Mengapa keduanya perlu dikawal? karena, baik THR maupun hasil penghitungan suara pemilih sama-sama rawan untuk diselewengkan.
Kendati Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) secara rutin mengeluarkan surat edaran Menakertrans mengenai kewajiban perusahaan untuk membayarkan THR para karyawannya paling lambat H-7 sebelum Hari Raya Lebaran, namun tetap saja ada perusahaan yang tidak mengindahkannya. Bahkan tidak sedikit juga perusahaan yang justru tidak menunaikan sama sekali kewajiban tersebut.
Pada Lebaran Idul Fitri tahun 2013 lalu, misalnya, Kemnakertrans menerima sebanyak 120 pengaduan dari pusat dan daerah terkait THR yang tidak dibayarkan oleh beberapa perusahaan. Sebagian besar pengaduan tersebut datang dari daerah.
Pengaduan tersebut tentunya berasal dari karyawan ataupun buruh yang haknya dikebiri oleh para pemilik modal. Sebagai pekerja memang harus kita sendiri yang mengawal kelancaran pencairan THR, karena bagaimanapun itu merupakan hak pribadi yang harus diperjuangkan.
Sementara itu dari sisi regulator, agar tidak ada lagi perusahaan yang abai terhadap kewajiban pembayaran THR, Kemnakertrans mengerahkan sebanyak 2.384 orang tenaga pengawas untuk menangani sekitar 216.547 perusahaan. Para pengawas ketenagakerjaan yang saat ini tengah bertugas terdiri dari Pengawas umum 1.460 orang, Pengawas spesialis 361 orang, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) 563 orang.
Pelaksanaan Pilpres kali ini yang jatuh bertepatan dengan bulan Ramadhan, membuat perhatian masyarakat (terutama karyawan, buruh, dan pegawai kantoran) tidak hanya tertuju pada THR juga kepada hasil penghitungan suara. Berbeda dengan Pilpres-Pilpres sebelumnya, pada Pilpres kali ini keikutsertaan masyarakat dalam memantau hasil pemungutan suara pada Pilpres 9 Juli lalu mengalami peningkatan luar biasa.
Jika dalam Pilpres sebelumnya, anggota masyarakat yang sibuk memantau hasil penghitungan suara hanyalah mereka yang ditunjuk sebagai petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), saksi yang dikirim oleh masing-masing parpol peserta pemilu, dan saksi-saksi independen yang berasal dari LSM pengawas pemilu. Namun, kondisi berbeda terjadi pada Pilpres tahun ini.
Dalam Pilpres kali ini tak hanya petugas KPPS, saksi parpol maupun saksi dari LSM pengawas pemilu yang disibukkan untuk memantau proses penghitungan suara, tetapi warga masyarakat yang berada di luar ketiga kelompok ini juga turut andil dalam mengawal proses penghitungan suara di tingkat TPS hingga kelurahan. Kesemua ini dilakukan agar tidak ada penyimpangan dalam penghitungan suara.
Menjelang H-10 sebelum Hari Raya Lebaran, saya berharap tidak ada lagi perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban setahun sekali untuk membayarkan THR kepada para pegawai dan karyawannya. Mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi: "Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan."
Menyongsong tanggal 22 Juli, masyarakat yang telah memberikan hak suaranya pada Pilpres 9 Juli lalu tentunya berharap kandidat capres/cawapres yang mereka jagokan akan keluar sebagai pemenang. Siapapun yang nantinya ditetapkan sebagai pemenang berdasarkan hasil penghitungan suara KPU, saya hanya berharap masyarakat pendukung dari kedua kubu capres/cawapres dapat menerimanya dengan lapang dada. Sehingga bangsa ini tidak perlu membayar mahal ongkos pesta demokrasi dengan perpecahan dan aksi anarki.