Senin 04 Aug 2014 17:06 WIB

'Karamnya' Karier Sang Jenderal

Erik Purnama Putra
Foto: Republika/Adi Wicaksono
Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Twitter: @elangkesepian

Nasib Jenderal Budiman kurang beruntung. Dia harus diberhentikan sebagai kepala staf Angkatan Darat (KSAD) lebih awal dua bulan dari masa pensiunnya pada September mendatang.

Entah lantaran kecewa atau sedang memiliki agenda yang tidak bisa ditinggalkan, Budiman tak terlihat di Istana Negara pada Jumat (25/7). Ketidakhadiran mantan wakil KSAD tersebut seolah melanggar tradisi pengangkatan pemimpin tertinggi di matra AD.

Pemandangan itu juga bisa menimbulkan spekulasi dan prediksi ada apa-apa antara Budiman dan Presiden SBY. Alhasil, SBY melantik Letjen Gatot Nurmantyo sebagai KSAD seorang diri tanpa didampingi pendahulunya.

Bagusnya, Budiman menampakkan diri ketika proses serah terima jabatan (sertijab) di Mabes AD beberapa jam kemudian. Di depan prajuritnya dan panglima TNI Jenderal Moeldoko, ia dengan gagah menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada juniornya yang menjabat panglima Kostrad.

Hingga kini, publik masih bertanya-tanya tentang keputusan SBY selaku panglima tertinggi TNI. Mengapa SBY mencopot Budiman dari jabatannya sehari menjelang penetapan capres terpilih oleh KPU pada 22 Juli?

Keputusan SBY jelas sangat mengejutkan. Pasalnya, kalau menilik ke belakang maka publik bisa melihat bahwa Budiman memiliki kedekatan dengan SBY. Jenderal angkatan 1978 tersebut pernah menjadi sekretaris militer presiden ketika masih berpangkat mayor jenderal.

Meski sempat tersisih disalip dua juniornya, yakni Pramono Edhie Wibowo dan Moeldoko sebagai KSAD, kariernya masih terjaga. Sempat 'dikotakkan' sebagai sekjen Kementerian Pertahanan (Kemenhan), SBY 'berbaik hati' memberikan kesempatan Budiman untuk meraih jenderal penuh.

Bintang empat pun didapat dengan skenario menjadikan Moeldoko sebagai panglima TNI. Posisi KSAD yang ditinggalkan Moeldoko pun diserahkan ke Budiman.

Keputusan SBY itu jelas mengundang pertanyaan. Pasalnya, pergantian jabatan tidak memperhatikan proses regenerasi. Itu lantaran Moeldoko yang lulusan Akabri 81 digantikan Budiman yang merupakan angkatan 78.

Merasa sudah 'ditolong' SBY, Budiman sepertinya pintar membalas jasa. Usai dilantik menjadi KSAD pada 31 Agustus 2013, ia membuat geger dengan mencium tangan SBY. Bagi orang Jawa, tradisi itu sebenarnya lumrah sebagai bentuk penghormatan. Namun, pemandangan itu tidak lazim terjadi saat prosesi pengangkatan kepala staf.

Sampai di situ hubungan kedua orang yang mengakhiri kariernya militernya dengan empat bintang di pundak tersebut masih terjalin baik. SBY senang menempatkan orang dekatnya di matra terbesar di TNI itu, adapun Budiman tersanjung diperhatikan atasannya.

Sayangnya, kemesraan itu ternyata tidak awet. Pelaksanaan Pilpres 2014, menjadi awal keretakan keduanya. TNI yang harus profesional dan menjunjung tinggi netralitasnya di setiap pemilu, diisukan tak sedap.

Muncul kabar, Budiman 'merapat' ke salah satu capres. Bahkan, yang lebih berani, Budiman diisukan pernah menghadiri rapat salah satu tim sukses capres tertentu. Kabar itu berembus kencang di kalangan wartawan, meski kebenarannya tetap harus dikonfirmasi lagi.

Entah karena kabar itu atau bukan, secara mendadak SBY mengumpulkan pimpinan seluruh matra TNI di Kemenhan pada 2 Juni lalu. Panglima tertinggi TNI tersebut menegaskan bahwa pertemuan itu sebagai commander call. Laporan intelijen yang berhasil dikumpulkannya membuat SBY naik pitam.

Di depan perwira TNI/Polri, SBY mencium gelagat ada pihak yang ingin menyeret-nyeret TNI ke dalam politik praktis. Meski tidak menyebut nama, figur yang diberi peringatan oleh SBY sudah beredar di kalangan media.

SBY tidak segan menuding ada petinggi yang mencoba menghasut para prajurit dengan mengatakan tidak perlu mendengarkan presiden yang sekarang. Meski presiden adalah panglima tertinggi dalam TNI tetapi dianggapnya sebagai kapal karam yang tak perlu lagi didengar.

SBY pun seketika mengultimatum pimpinan TNI untuk menjadikan netralitas sebagai harga mati. Bahkan, ketika itu SBY seolah memberi kode akan mencopot seorang jenderal yang bermain-main di tataran politik praktis.

Dia mengibaratkan perlunya pergantian nahkoda agar kapal yang dikemudikan tidak karam. Pasalnya, kalau sampai TNI sebagai penjaga keutuhan NKRI memihak salah satu capres tentu sangat membahayakan masa depan bangsa ini.

Dalam perjalanannya, Budiman kembali membuat kebijakan yang tidak menyenangkan atasannya. Kali ini, melalui Kepala Dinas Penerangan AD Brigjen Andika Perkasa, ia mengakui ada keterlibatan Babinsa yang mengajak masyarakat untuk memilih capres tertentu.

Press release seperti itu kontan membuat terkejut. Itu lantaran dengan gamblangnya pimpinan AD mengakui anak buahnya tidak netral.

Tidak berselang lama, Panglima TNI Moeldoko membuat pernyataan 'tandingan' dengan menghelat konferensi pers di Bandara Halim Perdanakusuma. Didampingi Pangdam Jaya Mayjen Mulyono, Moeldoko mengklarifikasi press release yang sudah disebarkan anak buahnya.

Dengan tegas, mantan wakil gubernur Lemhannas tersebut menyatakan, semua unsur TNI bersikap netral. Moeldoko seolah pasang badan dan siap mengambil alih setiap kesalahan prajurit yang sudah melaksanakan tugasnya.

Singkat cerita, kegusaran SBY akhirnya berbuah dengan pencopotan Budiman sebagai KSAD. SBY sepertinya sangat pintar dalam membuat keputusan. Dia seolah belajar dari kasus presiden Megawati Soekarnoputri yang mengusulkan Ryamizard Ryacudu sebagai panglima TNI.

Ketika itu, keputusan promosi Ryamizard selaku KSAD ditolak parlemen dengan pertimbangan SBY sudah dinyatakan menjadi pemenang Pilpres 2004. Di satu sisi, SBY sukses mendepak Ryamizard yang punya kedekatan dengan Megawati.

Eksesnya, SBY memperpanjang masa pensiun Jenderal Endriarto Sutarto sebagai panglima TNI, sebelum kemudian panglima TNI untuk pertama kalinya diduduki matra udara, yaitu Marsekal Djoko Suyanto.

Keputusan SBY sekarang seolah terlihat jitu. Karena kalau presiden terpilih sudah ditetapkan, SBY tidak diperbolehkan mengambil kebijakan strategis. Makanya, ia membuat keputusan pergantian KSAD sehari sebelum sidang pleno KPU menetapkan Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014.

Alhasil, SBY seolah menunjukkan kehebatan sebagai sang raja dalam memainkan biduknya yang akhirnya berbuah petaka dengan dipercepatnya masa pensiun Budiman. Seketika, karier sang jenderal langsung karam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement