Kamis 28 Aug 2014 18:11 WIB

Bencana Palestina Berawal dari Sebuah Buku

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Arif Supriyono

 

Sejarah Israel tak bisa lepas dari peran Theodor Herzl. Wartawan keturunan Yahudi dan tinggal di Austria inilah yang awal mula menggagas perlunya sebuah negara bagi kaum Yahudi yang saat itu tercerai-berai.

Melalui buku berjudul Deer Judenstaat (1896) atau Negara Yahudi, Herzl mengemukakan visi tentang perlunya sebuah negara bagi keturunan Yahudi. Pendirian negara itu diyakini akan menjadi obat mujarab dan dapat mengikis sikap anti-Yahudi atau yang dikenal dengan sebutan antisemit.

Gagasan Herzl yang tak paham bahasa Yahudi (Yiddish) dan Ibrani --bahkan juga tak banyak tahu budaya Yahudi-- itu pun mendapat sambutan luas kalangan Yahudi yang tersebar di berbagai negara. Sejak itu ide agar kaum Yahudi kembali ke tanah Zion (gerakan zionisme) mulai bergaung. Isitilah zionisme yang diciptakan Nathan Birnbaum pun seakan menemukan pijakannya dan kian populer.

Semula Herzl menyebut wilayah Argentina sebagai tempat yang tepat bagi berdirinya negara Israel yang menjadi payung bagi kaum Yahudi. Namun, dalam kongres pertama Yahudi di Basel, Swiss hampir semua peserta menghendaki berdirinya negara Israel di Palestina. Jadilah Palestina sebagai pilihan tunggal untuk menampung diaspora warga Yahudi.

Bagi mereka, Palestina dianggap memiliki sejarah yang terkait dengan puncak kejayaan Yahudi. Karena itu, mereka pun ingin kembali menegakkan ‘Kerajaan Sulaiman’ di wilayah tersebut. Setelah kongres itu, terjadilah eksodus besar-besaran keturunan Yahudi menuju tanah Palestina sejak 1930.

Di mata kaum pendukung gerakan zionisme, Palestina bukanlah sebuah negara. Wilayah ini dianggap sebagai tanah bagi nenek moyang mereka yang kemudian menjadi bagian atau salah satu provinsi di Suriah yang berada dalam pengawasan Kesultanan Turki. Lantaran itu, mereka merasa punya hak untuk meminta wilayah Palestina bagi berdirinya negara Israel.

Saat meletus Perang Dunia I (1914-1918), Turki bergabung dengan Jerman, Austria, dan Hungaria menghadapi tentara Sekutu dari Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.  Dalam perang ini, Palestina jatuh ke tangan Sekutu. Kemudian oleh Liga Bangsa-Bangsa, wilayah Palestina secara resmi diserahkan ke Inggris.

Dengan semakin banyaknya warga Yahudi yang masuk ke Palestina dan didukung Sekutu, akhirnya mereka mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948. Tentu saja pendirian ini mendapat penolakan besar, terutama dari negara-negara kawasan Timur Tengah.

Tak ayal, pecahlah perang Arab (Mesir, Yordania, dan Suriah)-Israel pada 1948.  Israel yang wilayahnya belum definitif malah berhasil menduduki Gaza, Tepi Barat (West Bank), dan Dataran Tinggi Golan. Malalui campur tangan internasional, perang pun sempat mereda.

Karena bara belum juga meredup, terjadi lagilah perang Arab-Israel dalam tahun 1967 yang dikenal dengan sebutan Perang Enam Hari. Dalam peperangan kali ini, Israel yang kian ganas malah mendapat tambahan wilayah dengan merebut Gurun Sinai yang selama ini menjadi bagian dari Mesir. 

Tujuh tahun kemudian (1973) meledak lagi perang Arab-Israel. Merasa keteter, Arab lalu menggoyang Sekutu dengan melakukan embargo minyak pada beberapa negara Barat. Taktik ini rupanya berhasil dan Barat pun menengahi perang tersebut lalu mencapai kesepakatan dengan Mesir-Israel. Melalui Perjanjian Camp David, Mesir kembali mendapatkan wilayah Gurun Sinai.

Cengkeraman Israel kian menguat. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO yang kala itu dimpimpin Yasser Arafat) pun mendapat tekanan internasional dan mengakui keberadaan negara Israel di tanah Palestina. Namun, keganasan dan bahkan kebiadaban Israel tak jua surut dengan pengakuan itu. Mereka terus melakukan penyiksaan atas warga sipil Palestina, termasuk memblokade lalu lintas ekonomi Gaza yang menjadi pintu masuk bagi Palestina. 

Serbuan terakhir Israel yang dilakukan sejak 8 Juli 2014 hingga hari ini (20/8/14) telah menewaskan lebih dari 2.000 warga Palestina. Para korban umumnya masyarakat sipil: mulai dari anak-anak, wanita (ada beberapa yang sedang hamil), dan orang tua. Tak hanya itu, 10 ribu orang lainnya luka-luka dan lebih 100 ribu rumah warga Palestina luluh-lantak.

Upaya menghentikan kebuasan Israel telah ditempuh dengan pelbagai cara: menggalang bantuan dana serta kemanusiaan, mengirim relawan, bahkan persenjataan. Sejauh ini, semua usaha itu belum menemukan hasil memadai. Kekuatan militer Israel bukanlah lawan sepadan bagi Palestina.

Menyerahkan masa depan Palestina dengan mengharap sikap negara Timur Tengah (Arab) juga bak menggantang asap. Rasa persaudaraan sesama negara Timur Tengah ibaratnya hanya pemanis bibir belaka dan kini tak pernah nyata. Lihat saja, saat Sekutu --dengan alasan yang dibuat-buat berupa adanya senjata pemusnah massal dan ternyata tak terbukti-- menyerang Irak, Kuwait dan Arab Saudi malah membuka wilayahnya untuk menjadi landasan bagi masuknya persenjataan dan tentara Sekutu ke Irak.

Selain menunggu takdir Allah, jalan tunggal untuk menghentikan kebengisan Israel saat sekarang ini adalah sikap Amerika Serikat. Jika AS tetap membiarkan Israel membumihanguskan Palestina, hampir pasti tak akan ada yang bisa menghalangi.

Tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan memberi sanksi pada Israel pun selalu diveto oleh AS. Karena itu, masa depan Palestina sangat bergantung pada dua hal: sikap AS dan takdir Allah yang kita tak pernah tahu kapan akan digariskan.  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement