REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ichsan Emerald Alamsyah
Twitter: @ichsanimisme
Akhir pekan lalu, perusahaan investasi asing asal Jepang J Trust Co Ltd mengumumkan sesuatu yang mengejutkan. Mungkin bagi kalangan bankir bukan kisah baru, namun bagi publik cukup menggemparkan.
J Trust Co Ltd secara resmi ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemenang tender penjualan 99,996 persen saham Bank Mutiara. Mereka yang sudah mengikuti kisruh bank yang sering membawa masalah ini pasti terbelalak.
Bagaimana bisa bank yang sudah menghabiskan dana pemerintah senilai lebih dari Rp 8,1 triliun ini dijual ke asing? Apalagi, pemerintah dengan LPS pernah jatuh bangun berusaha menyelamatkan bank yang sebelumnya bernama Century itu.
Tentu saja keputusan ini membuat sebagian pemangku kepentingan kebakaran jenggot. Anggota DPR mengaku akan memanggil LPS atas keputusan ini. Begitu juga dengan pengamat yang menilai penjualan ini tidak tepat.
Karena kemungkinan bank yang pengawasan khusus Bank Indonesia (BI) pada 6 November 2008 itu akan dijual murah. Artinya harga Bank Mutiara takkan sebesar angka penyelamatannya senilai Rp 6,7 triliun.
Namun keputusan LPS tampaknya sudah bulat dan secara resmi memutuskan bahwa calon investor paling tepat adalah J Trust. Lalu ke mana investor lokal lainnya?
Memang, sebelumnya ada 11 investor yang memasukan dokumen pendaftaran untuk pembelian saham Bank Mutiara. Dari jumlah itu, empat investor berasal dari Indonesia. Terdiri dari satu bank, dua lembaga keuangan dan satu konsorsium.
Bank tersebut adalah Bank BRI. Sementara tujuh investor lainnya berasal dari Malaysia, Hongkong, Jepang, dua dari Singapura, dan dua lainnya tak diketahui.
Bank BRI, berdasarkan wawancara Republika, mengaku siap menyuntikkan dana senilai Rp 2,5 triliun untuk 'merebut' aset lokal tersebut. Jika tak cukup BRI berencana meningkatkan hingga Rp 3 triliun.
Karenanya, kenapa LPS, sebagai pemegang saham mayoritas Bank Mutiara, lebih memilih asing? Apakah dalam sebuah entiti bisnis tetap diperlukan nasionalisme.
Tentu saja perlu dan saya yakin LPS sudah ribuan kali memikirkan itu. Namun patut diingat LPS telah cukup lama berusaha menjual Bank Mutiara, dan tahun ini adalah waktu terakhir.
Lalu jika sudah cukup lama ingin dijual dan bahkan sudah masuk tenggat waktu, ke mana saja investor lokal selama ini? Mungkin saja ada, namun lagi-lagi risiko besar untuk menyuntikkan dana ke bank membuat investor berpikir dua kali.
Namun, jika bicara soal nasionalisme, apakah tidak salah? Karena selama ini kita begitu terbuka kepada asing. Bahkan selalu, dengan tangan terbuka, mempersilakan mereka untuk masuk.
Tidak usah jauh-jauh menilik hingga begitu dalam. Saat ini beberapa bank swasta raksasa di Indonesia yang sebagian sahamnya dimiliki asing. Tentu dengan cara itu, mereka tak perlu repot-repot berinvestasi fisik di Indonesia.
Satu lagi yang paling penting, yaitu bekerja keras membangun imej. Di seluruh belahan dunia, membangun citra adalah hal yang sulit dan sangat mahal.
Apakah ini salah? Tentu tidak, wong tidak ada undang-undang yang melarang, kok. Lagipula mereka datang membawa sekolam uang dan di satu sisi likuiditas adalah sesuatu yang mahal di Indonesia
Seharusnya, kalau pun tidak melarang, minimal ada aturan yang mempersulit investor asing untuk menguasai secara total. Apa mau dikata, aturan itu pun tidak ada.
Padahal, saya pernah mendengar sendiri bagaimana sulitnya bank asal Indonesia berkembang di luar negeri. Seperti Bank Muamalat Indonesia yang membuka cabang di Kuala Lumpur. Aset mereka sangat dibatasi bahkan untuk menambah jumlah ATM pun sangat sulit.
Saat ini, kita semua harus berpaling ke Senayan. Karena DPR sedang menggodok Revisi RUU Perbankan. Sejak lama DPR berencana membatasi maksimal saham asing sebesar 40 persen.
Bagaimana hasilnya, kita hanya tinggal menunggu Rapat Paripurna DPR. Karena RUU Perbankan akan dibahas di dalamnya. Mari kita berharap, agar RUU Perbankan dapat bisa disahkan para wakil rakyat kita dan isinya benar-benar membela masyarakat Indonesia.