REPUBLIKA.CO.ID, Saat pertengahan September lalu saya menulis dan sekaligus setuju agar pemilihan kepala daerah tetap dilakukan langsung oleh rakyat, beberapa teman menuding saya sebagai pendukung permanen presiden terpilih Joko Widodo.
Saya dianggap berseberangan jalan dengan Koalisi Merah Putih (pendukung Prabowo Subianto). Dukungan Koalisi Merah Putih inilah yang kemudian menyetujui RUU Pilkada menjadi UU yang berarti dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD.
Saya pun menjelaskan pada mereka, mengapa saya lebih setuju pilkada langsung. Bagi saya, pemilihan kepala daerah atau presiden, di alam demokrasi, adalah hak rakyat.
Nasib dan masa depan rakyat sangat ditentukan oleh kebijakan dan keputusan pemimpin atau kepala pemerintahan/presiden selama menjabat. Itu sebabnya, rakyatlah satu-satunya yang punya hak untuk menentukan, kepada siapa nasib dan masa depannya itu dia gantungkan. Sangat tidak masuk nalar dan akal bila pemimpin itu ditunjuk oleh kelompok lain (DPRD), padahal yang dipertaruhkan adalah masa depan rakyat dan bukan masa depan DPRD.
Kalaupun ada pihak yang ingin mengambil hak milik rakyat tersebut, hanya ada satu cara: mintalah persetujuan lebih dahulu kepada rakyat. Cara ini bisa dilakukan dengan mengadakan referendum atau jajak pendapat. Jika memang rakyat sudah memberikan mandat itu, tak ada salahnya hak itu diambil alih oleh DPRD. Itu pun harus ada batasan, sampai kapan hak rakyat itu ‘dipinjam’ oleh DPRD.
Inilah esensi demokrasi dalam pemilihan pemimpin. Jika kemudian ada yang berpendapat soal pelbagai bentuk keburukan atau dampak pemilihan langsung oleh rakyat, maka keburukan dan kebrobrokan itulah yang harus kita basmi dan bukan sistemnya yang kita cabut.
Saat itu pula ada teman yang mengatakan, bahwa saya mendukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pendapat teman itu pun saya bantah. Saya paparkan beberapa fakta berikut Sikap awal PDIP soal pilkada sempat diwakili oleh politisi mereka, Arif Wibowo, yang menegaskan keseriusannya untuk penghapusan pilkada langsung. Ungkapan itu disampaikan pada 28 November 2013, jauh sebelum voting RUU Pilkada pada 26 September 2014.
Salah satu tokoh utama PDIP, Guruh Soekarnoputro, juga menyebut pilkada langsung sebagai pengingkaran atas Demokrasi Pancasila. Karenanya, saat berbicara pada pertengahan Agustus 2014 itu, Guruh lebih memilih pilkada oleh DPRD.
Dukungan pilkada oleh DPRD juga disuarakan Jusuf Kalla pada 2 Oktober 2011. Alasan Kalla
saat itu, jenjang pilkada langsung terlalu panjang sehingga pilkada oleh DPRD dianggap lebih
Tak hanya sampai di situ, materi debat kampanye Joko Widodo dan Jusuf Kalla pun memberi dukungan pilkada oleh DPRD.
Pada visi dan misinya, Jokowi-JK menyebutkan bahwa dalam merosotnya kewibawaan negara, maka pilkada langsung jelas ikut mendorong pelemahan institusi negara. Mereka pun mempersoalkan lemahnya kader di parlemen. Menurut keduanya, lemahnya kader karena pemilihan legislatif dengan suara terbanyak yang tidak dalam kriteria unggulan partai politik.
Jokowi-JK menambahkan, banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi setelah adanya pilkada langsung adalah salah satu alasan mengapa kewibawaan negara merosot. Karena itu, Jokowi-JK melanjutkan, pilkada dengan cara pemilihan oleh DPRD adalah cara untuk meningkatkan peran partai politik dan bisa jadi akan meningkatkan kewibawaan negara.
Pendukung Jokowi-JK dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Nasional Demokrat juga idem ditto. Ketua Fraksi PKB, Marwan Ja’far, secara tegas pada 15 Oktober 2013 mendukung pilkada oleh DPRD. Hal serupa disampaikan pendiri dan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, pada 29 September 2012.
Dukungan untuk terus menjalankan hak rakyat atau pilkada langsung dalam memilih pemimpin justru semula digaungkan oleh kelompok yang sekarang berada di Koalisi Merah Putih. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, pada 21 Januari 2003, malah menyebut bahwa sampai kiamat pun pilkada langsung harus tetap dilakukan.
Tak beda dengan Amien, ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan mantan presiden partai, Hidayat Nur Wahid, pun kala itu kukuh untuk mendukung pilkada langsung. Secara lantang, pada 2 April 2013, Hidayat bahkan menegaskan agar jangan ada yang menghalangi kedaulatan rakyat.
Kala itu, saya sungguh bangga mengikuti alur pikiran Amien Rais dan Hidayat Nur Wahid. Konsistensi sikap mereka, untuk mendukung demokrasi, layak mendapat acungan jempol. Ketika kemudian sikap serta pandangan politik Amien dan Hidayat berubah, saya tak bisa lagi menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, kecuali adanya kepentingan politik dalam koalisi mereka.
Koalisi Merah Putih yang semula condong untuk mendukung pilkada langsung, kini justru berballik arah dan mengebiri hak rakyat. Saya setuju pendapat rekan saya yang menyebut, bahwa motif utama koalisi ini adalah menguasai pemerintahan daerah.
Sebaliknya, saya tak sepakat pula bila ada yang mengatakan, bahwa pendukung Jokowi-JK merupakan kelompok yang murni berkomitmen tinggi untuk mendukung demokrasi. Nyatanya, mereka semula menolak mentah-mentah untuk mempertahankan pilkada langsung.
Setelah lahirnya Koalisi Merah Putih, mendadak mereka seolah menjadi pilar utama pendukung demokrasi sejati karena khawatir kekuasaannya digerogoti pihak lain. Andai tak ada koalisi Merah Putih, saya tak yakin sikap partai pendukung Jokowi-JK ini akan tetap loyal pada pilkada langsung.
Saat pikiran sedang merenung, seorang teman bertanya: jadi, kelompok siapa yang kamu dukung? Seketika saya menjawab: untuk urusan pilkada, saya mendukung praktik dan esensi demokrasi yang benar, tanpa peduli siapa yang ada di belakangnya.