Jumat 17 Oct 2014 14:08 WIB

Lupakan Saja Armada Garuda Muda

Arif Supriyono
Foto: doc.pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh: Arif Supriyono

Harapan tinggi jutaan masyarakat Indonesia yang dititipkan di pundak penggawa timnas sepak bola U-19 sirna sudah. Torehan prestasi tim berjuluk Garuda Muda pada kejuaraan sepak bola Asia (Piala AFC) U-19 di Myanmar sungguh di luar dugaan.

Berada di grup B, armada besutan pelatih Indra Sjafrie ini menduduki posisis juru kunci. Mereka dipencundangi tiga tim lainya: Uzbekistan (1-3), Australia (0-1), dan Uni Emirat Arab (1-4). Padahal, saat laga uji coba di melawan UEA di negaranya, Evan Dimas dkk sempat menang 4-1 dan 2-1.

Optimisme begitu membuncah di dada Garuda Muda dan hampir seluruh penggemar bola di tanah air. Keberhasilan menjuarai Piala ASEAN Football Federation (AFF) --dan lolos ke Piala AFC dengan antara lain menggulung juara bertahan Korea Selatan 3-2 di Jakarta-- seolah menjadi jaminan, bahwa Garuda Muda bakal berjaya. Karena itu, target melaju ke Piala Dunia U-20 atau masuk semifinal Piala AFC 2014 merupakan hal yang realistis.

Apa hendak dikata, asa itu tak terwujud. Lepas dari siapa pihak yang paling bertanggung jawab, kala itu harapan masyarakat terhadap Garuda Muda memang membubung begitu tinggi.

Usai menekuk Korea Selatan, puja-puji menggema di mana-mana, layaknya mereka telah benar-benar menjadi juara Asia. Sosok pasukan Garuda Muda pun tampil menghiasa halaman media dan layar kaca. Tentu saja ini disertai bumbu penyedap yang kian menambah semerbak nama mereka.

Beberapa media menampilkan profil anggota Garuda Muda. Tatkala latihan, anak-anak muda gagah perkasa ini sering dikerubuti para penggemarnya, tak terkecuali remaja putri. Bak artis, anak-anak Garuda Jaya diburu untuk berfoto bersama atau diminta tanda tangannya.

Profil sang pelatih juga tak luput dari sorotan media. Indra Sjafrie dianggap telah melakukan revolusi dalam menangani tim nasional sepak bola, terutama untuk usia muda. Ketenaran pelatih asal Sumatra Barat ini seketika ikut mencuat dan bahkan bisa disejajarkan dengan tokoh penting nasional lainnya.

Untuk ukuran sepak bola junior, bukan kali ini saja kita memiliki tim tangguh. Saat tahun 1961, timnas junior U-19 kita malah sempat menapaki tangga tertinggi Piala Konfederasi Sepak Bola Asia di Thailand. Saat itu tulang punggung timnas U-19 antara lain: Bob Hippy, Andjiek Alinurdin, Ipong Silalahi, Hardi Purnomo, Suwardjo, Idris Mappakaya, Faisal Jusuf, Djumadio, dan lain-lain.

Pada babak penyisihan, kita menjadi juara grup. Garuda Muda kala itu unggul atas Vietnam Selatan 2-0, Jepang 2-1, dan seri melawan Korea Selatan 2-2 serta Singapura 1-1. Bob Hippy pun menjadi juara grup dan bertemu di final melawan Myanmar (saat itu bernama Burma). Lantaran seri 0-0 dan tak ada perpanjangan waktu serta adu penalti, Indonesia dan Myanmar ditetapkan sebagai juara bersama.

Urusan Piala Dunia (junior), kita pun pernah mencicipi sebagai peserta pada tahun 1979 di Jepang.  Armada kita waktu itu dihuni oleh anak-anak muda yang telah malang-melintang di kancah Liga Sepak Bola Utama (Galatama), kompetisi sepak bola semiprofesional saat itu.

Ada Bambang Nurdiansyah, Endang Tirtana, Nus Lengkoan, Mundari Karya, Tommy Latuperissa, David Sulaksmono, Arief Hidayat, Pepen Rubianto, Eddy Sudarnoto, Didik Darmadi, Subangkit, Bambang Sunarto, Syamsul Suryono, dan lain-lain. Mereka maju ke putaran final Piala Dunia U-19 menggantikan Korea Utara.

Korut mundur dari arena lantaran menolak keberadaan Coca Cola yang menjadi penaja/sponsor. Keterlibatan produsen minuman ringan sebagai penaja dianggap sebagai simbol kapitalisme dunia yang mereka benci setengah mati, sehingga petinggi Korut pun tak sudi mengirimkan timnya. Indonesia yang saat kejuaraan junior Asia berada di perempat final, bak mendapat durian runtuh, karena dipilih AFC untuk mendampingi tuang rumah Jepang dan Korea Selatan.

Sayangnnya, prestasi tim kita tak bersinar di Tokyo. Kita masih kalah kelas dan berada di posisi buncit  di antara Argentina, Yugoslavia, serta Polandia yang berada satu grup.

Menghadapi Argentina yang diperkuat mahabintang Diego Maradona, Ramon Diaz, dan Juan Barbas --ketiganya kemudian bergabung dengan timnas senior-- Indonesia dijadikan bulan-bulanan dan dibantai 0-5. Skor sama didapat saat menghadapi Polandia. Bahkan di laga terakhir, Arief Hidayat dkk digunduli 0-6 oleh Yugoslavia.

Pulang tanpa meraih angka dan defisit 16 gol tentu bukan prestasi membanggakan. Argentina akhirnya menjadi juara dengan membabat Rusia 3-1 di final.

Membandingkan prestasi timnas junior U-19 tahun 1961, 1979, dan 2014 tentu tak bijak. Ketiga tim memiliki plus dan minus. Apalagi, eranya pun berbeda jauh.

Meski gagal lolos ke putaran Piala Dunia U-20, apa yang diperlihatkan Evan Dimas dkk memang sempat menjanjikan dan perlu mendapat apresiasi. Akan tetapi, meratapi kegagalan dan terus berupaya untuk mempertahankan atau menjaga kebersamaan mereka dalam satu tim juga langkah yang sangat  tidak perlu.

Tiada guna lagi menyatukan mereka dalam satu tim hingga senior nanti. Rasanya hampir tak  pernah ada dalam sejarah, bahwa sebuah kesebelasan bisa berprestasi tinggi tanpa pemainnya terlibat dalam ajang kompetisi resmi. Hal ini karena kompetisilah atau persainganlah yang akan membuat mereka meningkat keterampilannya, terasah, matang, dan makin tangguh.

Lupakan saja keberadaan Garuda Muda kita ini. Setahun merajut kebersamaan untuk menorehkan prestasi, rasanya sudah cukup. Saya sama sekali tak antipaati pada mereka.

Biarkan anak-anak Garuda Muda terbang memilih kehidupan mereka sendiri. Kalau memang di antara mereka ada yang kelak makin berprestasi, sudah pada tempatnyalah bila kita memanggil mereka lagi di tim nasional untuk berkiprah pada tingkatan yang lebih tinggi.

Sekarang ini yang perlu mendapat perhatian adalah membentuk tim Garuda Muda lainnya sejak usia dini. Pasokan pemain muda berbakat akan sangat diperlukan untuk mendongkrak tingkat persaingan dan kualitas tim nasional sepak bola kita. Di sinilah tangan dingin Indra Sjafrie dan kawan-kawan sangat kita perlukan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement