REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Bayu Hermawan
Masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memasuki hari-hari terakhir, setelah selama 10 tahun memimpin Republik Indonesia. Pria yang akrab disapa SBY itu, akan menyerahkan tongkat kepemimpin ke Presiden terpilih selanjutnya, Joko Widodo.
Sebagai manusia biasa, tentu ada kelebihan dan kekurangan selama dua periode kepemimpinan SBY. Kita pun tidak bisa menutup mata dengan sepenuhnya mengatakan SBY gagal memimpin negeri, atau secara buta menyanjungnya sebagai pemimpin sempurna.
Karir politik pria lulusanAkademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri) tahun 1973 itu, dimulai saat ia menjadi wakil ketua fraksi ABRI di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1998. Di tahun yang sama, SBY kemudian diangkat menjadi ketua fraksi ABRI MPR.
Jatuhnya Orde Baru, tidak membuat karir SBY meredup. Justru di pemerintahan transisi yang dipimpin oleh BJ Habibie, SBY dipercaya menjadi menteri Pertambangan dan Energi, meski ia harus melepaskan karirnya di TNI yang terbilang cukup cemerlang.
SBY kembali mampu bertahan setelah masa jabatan BJ Habibie harus berakhir dengan singkat. Ia pun ditunjuk menjadi menteri koordinator Politik Sosial Keamanan dalam kabinet Pemerintahan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Wapres Megawati Soekarnoputri.
Kondisi politik Indonesia yang belum stabil saat itu, akhirnya membuat Gus Dur harus meninggalkan kursi kekuasaan lebih cepat, dan selanjutnya kursi orang nomor 1 Indonesia di duduki oleh Megawati Soekarnoputri. Di era kepemimpinan trah Sukarno inilah, justru SBY meraih ‘wahyu keprabon’.
Masyarakat tentu masih ingat, bagaimana SBY yang menjabat sebagai menteri koordinator Politik Keamanan terlibat ‘perang dingin’ dengan sang presiden, Megawati, yang berujung dengan pengunduran dirinya pada 11 Maret 2004.
Mundur dari pemerintah, tak membuat SBY kembali ke barak. Ia pun menempuh perjuangan lewat jalan parlemen dengan mendirikan Partai Demokrat, satu dari sekian partai politik yang tumbuh di era reformasi. Sikap dan ketegasan yang ditunjukan SBY saat melawan Megawati, menumbuhkan simpati dan membuat masyarakat terpicut.
Hal itu yang menjadi roket pendorong, hingga Partai Demokrat yang notabenenya baru muncul langsung melesat dan bertengger di posisi kelima dari 24 partai yang ikut Pemilu 2004, dengan perolehan suara 10 persen.
Sejarah mencatat Pemilu 2004 menjadi pemilu yang pertama kali rakyat Indonesia dapat memilih pemimpinnya secara langsung. Dan Pemilu bersejarah itu tercatat dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Periode pertama masa kepemimpin SBY yang berduet dengan JK bisa dikatakan berjalan lancar. Badai baru menerpa saat ia kembali berhasil terpilih sebagai presiden dalam Pemiu 2009, dengan mengandeng Boediono, sebagai Wapresnya.
“Saya adalah anak orang biasa dan anak biasa dari Pacitan, yang kemudian menjadi tentara, menteri, dan kemudian dipilih sejarah untuk memimpin bangsa Indonesia,” ujar SBY pada 15 Agustus lalu.
Ya, sebagai manusia biasa selama 10 tahun masa kepemimpinannya, rapor SBY tidak selalu mendapat nilai bagus. Salah satu rapor merah yang hingga sekarang belum juga diselesaikan adalah kasus bailout Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun.
Kasus yang awalnya masuk ke dalam ranah hukum, justru bergulir menjadi polemik politik, dua orang lingkaran Presiden SBY yakni Sri Mulyani yang merupakan mantan Menteri Keuangan dan Boediono yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia disebut-sebut paling bertanggung jawab dalam kasus itu.
Bahkan, bola panas terus bergulir dan menghantam SBY, dengan menyebutkan adanya aliran dana kasus Bank Century untuk biaya kampanye SBY.
SBY pun menegaskan bahwa hal itu adalah fitnah dan mengatakan akan mendukung pengusutan kasus tersebut hingga tuntas. Namun hingga akhir masa jabatannya, kasus ini pun masih belum terang benderang.
Jika kita membahas kasus-kasus lain yang terjadi di masa kepemimpinan SBY, mungkin kita akan mendapat buku setebal bantal. Karena memang banyak kasus yang menerpa pemerintahan SBY selama 10 tahun, mulai dari perpecahan internal di tubuh Partai Demokrat dengan mantan Ketua Umum Anas Urbaningrum, korupsi yang melibatkan politikus-politikus Demokrat, hingga masalah rangkap jabatan SBY sebagai ketua umum partai tersebut, yang membuat masyarakat berpendapat SBY tak fokus dalam mengurus pemerintahannya.
Belum lagi masalah dengan Parpol-Parpol Koalisi di Kabinet Indonesia bersatu jilid 2. Selain itu, SBY juga dianggap lemah dalam melindungi TKI hingga kasus-kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru yang belum juga selesai seperti Kasus pembunuhan Munir. Belum lagi rapor merah di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Tidak sedikit publik yang menilai jika SBY hanya mementingkan pencitraan semata, meski secara tegas ia pernah mengatakan “I don’t care with my popularity,”. Namun pada kenyataannya memang banyak keputusan yang diambil oleh SBY hanya sekedar ‘cari aman’. Hal itu terlihat dalam masalah RUU Pilkada, beberapa waktu lalu. SBY tidak tegas sejak awal untuk mencabut pembahasan RUU Pilkada di DPR.
Ia baru mengambil sikap setelah muncul penolakan dari masyarakat melalui gerakan //@Shame On You SBY. Ia pun mengeluarkan Perppu Pilkada yang untuk sementara membuat UU Pilkada yang sudah disahkan tidak bisa berlaku. Namun apakah semua kasus dan masalah yang muncul selama ini bisa disimpulkan jika SBY tidak ‘khusnul khotimah’ dalam mengakhiri masa pengabdiannya? Tidak juga.
Sekali lagi, dibalik kekurangan tentu ada kelebihan dicapai oleh SBY. Kita harus mengakui jika SBY berhasil menjalankan konsep trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif). Sebelum polemik RUU Pilkada muncul, untuk pertama kalinya rakyat Indonesia bisa memilih secara langsung pemimpin mereka hingga ketingkat daerah.
Demokrasi dan politik pun terasa tumbuh dan bebas di masa kepemimpinan SBY, mulai dari tingkat DPR yang tidak lagi seperti paduan suara seperti masa Orba, hingga kebebasan penyatakan pendapat di masyarakat.
Pers mengalami masa kebebasan yang luas dalam bekerja tanpa takut terhadap rezim penguasa. Masyarakat pun bebas mengkritik pemerintah mulai dari beropini di media massa resmi, hingga melalui jejaring sosial. Tak ada ketakutan dalam berekpresi dan menyampaikan pendapat. Banyak lagi hal positif yang secara jujur harus diakui telah tercapai di masa Pemerintahan SBY.
“These too shall pass” kutipan singkat itu mungkin bisa merangkum semua hal selama 10 tahun masa pemerintahan SBY. Ya, setelah melalui banyak polemik, goncangan politik, ekonomi, sosial dan budaya, pada akhirnya semua harus berakhir.
Mungkin di waktu mendatang kita akan rindu pernyataan “Saya prihatin,” yang biasa diucapkan SBY dalam menghadapi masalah. Atau mungkin kita akan berpikir lebih enak hidup di jaman SBY. Bahkan mungkin suatu hari kita akan tersenyum saat melihat CD album musik atau mendengar lagu karangan SBY diputar.
Tapi apapun itu, seperti salah satu judul lagunya “Ku Yakin Sampai Disana”, SBY telah membuktikan jika ia mampu menjalani pemerintahan hingga akhir masa jabatannya, tanpa di warnai “kudeta terselubung” seperti pemimpin Indonesia sebelumnya.
Ya, SBY sudah berhasil mengantar bangsa Indonesia melewati masa transisi kepemimpinan dengan damai. Tak berlebihan jika kini kita mengucapkan terima kasih kepada beliau dan memberikan penghormatan yang tinggi untuk semua yang pernah dilakukan untuk Indonesia.