REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Fakhruddin/wartawan Harian Republika
Twitter: @penareal2001
Sebuah panggung kecil lengkap dengan lighting dan sound system-nya sudah disiapkan di pinggir area terminal yang berbatasan dengan laut. Di atas meja panjang yang terletak di samping panggung dijejerkan helm proyek berwarna jingga sebanyak 33 buah.
Terminal III Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dipilih sebagai tempat untuk mengumumkan kabinet yang ditunggu-tunggu. Sejumlah skenario pun kemudian dirancang seperti euforia saat kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah putusan Mahkamah Konstitusi.
Rencananya, presiden ke-7 Joko Widodo bersama menteri terpilih akan menaiki Kapal Motor Mabohai dari Dermaga 106. Kapal tersebut akan berlayar menuju Terminal Operasi (TO-III) dan merapat di Dermaga 303 Pos Bitung. Selanjutnya, Presiden Jokowi akan menuju panggung untuk mengumumkan kabinetnya pada Rabu (22/10) malam.
Namun, hingga waktunya, pengumunan kabinet urung juga dilakukan dan akhirnya pegawai biro pers Sekretariat Kepresidenan mengumumkan pembatalan acara tersebut. Entah dari mana ide mengumumkan kabinet itu muncul hingga lembaga negara sekelas Sekretariat Kepresidenan manut mempersiapkan segala sesuatunya di sana. Sia-sia sudah segala persiapan seremoni yang lebih tepat jika dilakukan untuk pencitraan pada masa kampanye itu. Karena, rakyat menunggu Jokowi dan kebinetnya segera bekerja nyata dan bukan sekadar simbol semata.
Publik juga lebih berharap banyak jika kabinet yang diumumkan Jokowi-JK nantinya lebih menyentuh persoalan substansi sesuai dengan visi-misi dan janji-janji Jokowi sebelumnya ketimbang seremoni yang hanya tampak indah di permukaan saja. Masih terngiang sejumlah janji manis akan terbentuknya kabinet ramping, kabinet yang diisi orang-orang profesional, tidak rangkap jabatan parpol, bersih dari kasus korupsi, tidak melanggar HAM, tidak transaksional atau tanpa syarat, dan menjunjung tinggi ekonomi kerakyatan. Publik lebih menunggu itu.
Sayangnya, dari sejumlah kriteria itu, pupus sudah sejumlah kriteria yang dulu didengung-dengungkan, antara lain cita-cita kabinet ramping dan tanpa syarat. Bahkan, tarik ulur kursi kabinet dengan pimpinan partai politik semakin kentara jelang pengumuman kabinet.
Wacana bergabungnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ditengarai mengubah postur koalisi partai politik pendukung Jokowi-JK dari koalisi ramping ke koalisi gemuk. Perubahan koalisi dan desakan dari pimpinan parpol ditengarai juga berdampak pada perubahan postur kabinet.
Hanya saja, perubahan postur kabinet Jokowi tidak berdasarkan hasil kajian Tim Transisi Jokowi-JK. Bahkan, DPR pun belum membalas surat tertanggal 21 Oktober yang diterima pemimpin DPR, berisi pengajuan adanya penambahan dan perubahan dalam susunan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla.
Dalam surat itu disebutkan ada beberapa perubahan kementerian seperti Kementerian Pendidikan yang dipecah menjadi pendidikan dasar menengah dan pendidikan tinggi. DPR menyatakan, perubahan dan penambahan kementerian dan lembaga telah sesuai Pasal 17 Ayat 4 UUD 1945.
Pimpinan DPR mengungkapkan, dalam surat tersebut tidak disebutkan adanya Kementerian Koordinator Maritim seperti yang santer beredar, sesuai dengan tema pengumuman kabinet di atas kapal. Hal itu mengundang tanya, apakah perubahan postur kabinet untuk menyesuaikan visi-misi Jokowi-JK atau sekadar mengakomodasi gerbong koalisi ke dalam perahu pemerintahan.
Jokowi memang selalu menggunakan tempat-tempat simbolis untuk mengumumkan hal penting. Saat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, ia mengambil tempat di rumah pendekar asal Jakarta, si Pitung, di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Jokowi juga pernah menggunakan Gedung Joang 45 sebagai tempat memperkenalkan calon wakil presidennya, Jusuf Kalla.
Kemudian, Jokowi membacakan pidato kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa karena representasi dari program prioritas Jokowi di bidang maritim. Itu ide-ide genuine Jokowi.
Namun, batalnya pengumuman kabinet Jokowi di atas kapal menandakan keraguan Jokowi dalam mengumumkan siapa saja yang bakal membantunya di pemerintahan. Nama-nama yang sudah ada di kantong Presiden Jokowi kemungkinan masih harus dikomunikasikan dengan pimpinan parpol.
Sesuai Pasal 6 UU Nomor 39 Tahun 2008, pembentukan kabinet paling lambat dilakukan 14 hari setelah presiden diambil sumpahnya atau tanggal 3 November 2014. Masih cukup waktu bagi Jokowi dan porpol koalisi untuk menggodok kabinet. Namun, jangan sampai calon menteri yang tertinggal perahu menghambat kinerja Jokowi yang ingin segera kerja … kerja … kerja.
Sebagai presiden tentunya Jokowi punya hak prerogatif memilih sendiri menterinya. Karena itu, jangan ragu, Presiden Jokowi!