REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi
Marah, sedih, malu, dan jijik. Minimal empat kata itulah yang mewakili perasaan sejumlah suporter klub sepak bola Indonesia yang saya temui beberapa hari terakhir ini. Tak lain penyebabnya adalah peristiwa 'sepak bola gajah' yang terjadi antara tuan rumah PSS Sleman melawan PSIS Semarang di Sasana Krida AAU, Berbah, Sleman, Ahad (26/10) lalu.
Sebut saja Adit (28 tahun). Pria asal Semarang itu agaknya kaget bukan kepalang klub kebanggaan kotanya akan melakukan tindakan tak sportif pada pertandingan terakhir delapan besar Divisi Utama 2014 tersebut. Seperti diketahui, lima gol yang tercipta pada laga itu dihasilkan melalui proses bunuh diri.
"Aku ra nyongko manajemen karo tim pelatihe koyo ngono...Antiklimakse njijiki n ngisin-ngisini...rasane pingin tak bubarke wae....(Saya tak menyangka manajemen dan pelatihnya bisa seperti itu. Antiklimaksnya menjijikkan dan memalukan. Rasanya ingin saya bubarkan saja) " itulah sekelumit keluh-kesah Adit yang mampir via Blackberry Messenger saya, Senin (27/10) pagi.
Sementara itu, Bani, suporter PSIS lainnya memilih menulis status di facebook. "Klub yang aku banggakan selama ini...Jersey-jersey yang aku buru tanpa nilai...Hari tanggal 26 Oktober 2014 akan selalu kuingat...Dimana kebanggaanku telah melukai hati nuraniku...Semua telah rusak demi sebuah kata: ISL (Liga Super Indonesia).
Hal yang sama juga diungkapkan suporter PSS Sleman. Sebut saja Seno (30 tahun), yang mengaku sudah mendukung klub berjuluk Super Elang Jawa itu sejak awal 2000-an. Ia merasa terluka melihat rekaman video yang mempertontonkan para pemain klub kesayangannya dengan sengaja memasukkan dua gol ke gawang sendiri.
"Benar-benar mengerikan! Yang saya tak bisa terima adalah yang ada pada pikiran pemain. Bagaimana bisa mereka berkhianat terhadap pekerjaan yang mengangkat harkat keluarga, menafkahi anak-istri, mendapatkan pengakuan, eksistensi, dan sebagainya?" kata karyawan sebuah perusahan tambang itu.
Sebagai anak yang dibesarkan di Sleman, maka keberadaan PSS cukup akrab di telinga saya. Meskipun tak seperti teman-teman saya yang masuk kategori suporter fanatik, saya cukup bangga mengingat klub yang identik dengan kostum hijau-hijau itu cukup disegani di level nasional.
Pada tahun 2003 dan 2004, klub yang saat itu masih bermarkas di Stadion Tridadi itu mampu menembus peringkat empat Divisi Utama, kompetisi kasta tertinggi di Indonesia saat itu sebelum direstrukturisasi menjadi Liga Super Indonesia (ISL).
Setelah cukup lama berkutat di kompetisi kasta kedua, tahun-tahun terakhir ini nama PSS kembali berkibar. Selain menjadi juara Divisi Utama LPIS musim lalu, nama PSS juga mendunia berkat megahnya kandang baru Stadion Maguwoharjo serta aksi koreografi para suporternya saat menyaksikan tim kesayangannya bertanding.
Sama seperti PSS, PSIS Semarang juga tak kalah membanggakan buat saya. Meskipun secara geografis berjarak 2-3 jam perjalanan darat dari Sleman, namun saya cukup memiliki banyak teman yang merupakan suporter sejati klub berjuluk Laskar Mahesa Jenar itu.
Untuk urusan prestasi, PSIS lebih mentereng karena pernah menjuarai kasta tertinggi Liga Indonesia V pada musim 1998/1999. Saya saat itu ikut merayakan gol tunggal yang dicetak Tugiyo, pemain berjuluk Maradona dari Purwodadi, ke gawang Persebaya Surabaya pada partai final.
Klub ini juga termasuk ahli untuk urusan mencetak bintang. Sejumlah pemain tim nasional Indonesia adalah jebolan klub ini. sebut saja Khair Rifo, Maman Abdurrahman, dan Eko Purjianto.
Oleh karena itu, saya sangat kaget begitu kedua tim memilih memainkan 'sepak bola gajah' untuk menghindari tim Borneo FC pada babak semifinal Divisi Utama. Bagaimana mungkin dua klub dengan sejarah panjang seperti PSS dan PSIS takut menghadapi klub 'kemarin sore' yang baru dibentuk delapan bulan lalu!
Di sini saya melihat kejanggalan bagaimana klub seperti Borneo FC bisa ditakuti dua klub tersebut. Apakah klub Samarinda itu memang sudah mendapatkan 'jatah' ke ISL musim depan sehingga membuat PSS dan PSIS enggan bertemu dengan klub yang sebelumnya bernama Perseba Bangkalan itu?
Sekali lagi, saya mendukung fair play dalam sepak bola. PSSI juga sudah tepat dengan memberikan sanksi berupa diskualifikasi kepada PSS dan PSIS. Akan tetapi akan lebih adil seandainya badan tertinggi sepak bola nasional itu juga mengusut lebih dalam kasus ini dan menemukan benang merah yang menjadi penghubung peristiwa 'sepak bola gajah' kemarin.
Bagi klub sepak bola di Indonesia, peristiwa kemarin sekaligus merupakan ajang pendewasaan. Jika selama ini mereka selalu menginginkan kemenangan dengan segala cara, maka suporter akan dengan mudah meninggalkan mereka seandainya kemenangan diraih melalui cara-cara kotor yang mencederai semangat fair play.