REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy (Wartawan Republika)
Twitter: @sammy_republika
Beberapa tahun yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kawan mengenai eksistensi perusahaan minyak asing di Indonesia. Kawan saya itu membahas soal ekspansi perusahaan minyak asing yang membuka sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia.
Dengan harga jual yang saat itu lebih mahal tiga kali lipat dibanding harga premium milik Pertamina, banyak kalangan yang memprediksi usaha SPBU asing akan sia-sia. Terbukti salah satu perusahaan minyak asal negara tetangga mulai tarik diri dari Indonesia.
Namun kawan saya itu yakin, suatu saat usaha bisnis SPBU asing itu akan menuai untung. Saat yang bisa jadi SPBU yang kosong itu akan dipadati pengendara yang mulai beralih dari Pertamina.
Saya pun berkeyakinan harga premium di Indonesia perlahan tapi pasti akan dinaikkan pemerintah. Tapi obrolan saya dengan salah satu kawan itu berujung dengan sebuah perdebatan apakah perusahaan asing itu punya peran atau pengaruh untuk mendorong kenaikan harga BBM?
Saya pribadi tak punya keyakinan ke arah sana. Tapi kawan saya meyakini bahwa pihak asing tak akan begitu saja berani membuka usahanya tanpa pertimbangan dan strategi yang matang.
Sebab bisa dibayangkan apabila harga SPBU asing itu bersaing dengan harga Pertamina, maka ceruk keuntungan besar pun jadi bayaran yang bisa mereka terima. Jadi menurut kawan saya, mau tak mau harus ada pihak yang mendorong kenaikan harga BBM di Indonesia. Usaha yang menurutnya sangat mungkin dilakukan secara tertutup lewat perantara pengamat dan para agen ekonomi neoliberal.
Apa yang diperbincangkan lebih dari lima tahun lalu mulai terbukti kini. Sebulan setelah terjadinya perubahan pemerintahan di Indonesia, perusahaan minyak asing akhirnya bisa tersenyum untuk pertamakalinya. Sebab harga premium di SPBU Pertamina kini meroket dan hanya berselisih sekitar Rp 2000 sampai Rp 3000 dari harga BBM di SPBU asing. Jarak Rp 2000 yang bisa jadi menyentuh ambang psikologis konsumen di Indonesia untuk beralih menggunakan produk BBM asing.
Kini dengan strategi market yang menarik, SPBU asing itu bisa saja membuat masyarakat terpikat. Mungkin dengan tagline kualitas dan jaminan nama besar, perusahaan minyak asing bisa membuat masyarakat tak lagi berhitung selisih yang hanya Rp 2000 dari BBM lokal.
Sebab Rp 2000 faktanya kini menjadi salah satu alat bayar terkecil yang paling sering dikeluarkan masyarakat dari kantongnya. Mulai dari membayar parkir hingga toilet. Sehingga apapun barang yang memiliki jarak harga Rp 2000, maka sejatinya jarak ekonomisnya sangat tipis bagi konsumen.
Pekan ini, tepat beberapa hari setelah Presiden Jokowi pulang dari rangkaian pertemuan dengan pemimpin asing, BBM resmi dinaikkan. Kenaikan yang juga dengan selisih harga Rp 2000. Pihak yang dulunya menolak kenaikan BBM pada era SBY kini sibuk mencari alasan untuk menjilat ludahnya.
Media yang terkenal begitu galak berteriak semasa kenaikan BBM era SBY pun kini ramai-ramai jadi pembela. Sementara aktivis yang "lahir di jalan" akhirnya tertidur lelap di Senayan. Bersama kenaikan BBM, kemunafikan ditebar di mana-mana.
Publik pun jadi bertanya, ke manakah pihak, politisi, atau partai yang mengaku sebagai pejuang wong cilik? Faktanya politik memang selalu sama. Barisan kata bisa diotak-atik sesuai kepentingan. Kata cilik pun bisa berubah jadi licik.
Terlepas dari semua kritik dan perdebatan, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa kenaikan BBM bersubsidi tak lebih adalah demi menyelamatkan APBN yang disebutnya sudah dihamburkan. “Pemerintah butuh anggaran infrastruktur, pendidikan, kesehatan tapi anggaran tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsisi BBM,” begitu penjelasan Presiden Jokowi.
Percaya atau tidak dengan alasan itu, yang jelas rakyatlah yang kembali akan jadi korban dari kebijakan. Sebaliknya, ada pihak yang kini tersenyum lega melihat kenaikan Rp 2000 harga BBM di Indonesia. Selisih kini tinggal Rp 2000, bung!
Salam dua ribu......