REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami
Sejak mula peluit pertama berbunyi mengawali perjalanan Timnas Indonesia, sebelum bola pertama ditendang, saya punya firasat buruk. Saya bukan ahli taktik sepakbola, tapi nampaknya ada yang tak beres dengan para pemain yang dibawa pelatih Alfred Riedl ke Vietnam.
Tapi saya masih menahan kekecewaan. Karena siapa tahu, Riedl yang jauh lebih lama berkutat di dalam dan tepi lapangan hijau itu punya pertimbangan yang nantinya terbukti ampuh. Dua pertandingan selepas peluit pertama Piala AFF 2014 untuk Indonesia, ternyata harapan saya semu.
Yang membuat kekecewaan saya, dan saya kira ratusan juta lainnya membuncah, bukan sekadar bahwa timnas tak bisa jauh melaju. Tapi tim yang bermain di Vietnam sama sekali bukan tim terbaik Indonesia.
Sebelum pertandingan melawan Filipina, di mana Timnas dipermalukan dengan kekalahan 4-0, Riedl berkomentar soal buruknya kualitas Liga Indonesia. Sementara pilihan pemain yang ia bawa sama sekali tak mencerminkan ia pernah menyaksikan dengan cermat laga-laga di liga tersebut.
Di barisan depan, Ferdinand Sinaga absen. Mau bilang apapun soal pemain itu, dia pemegang gelar Pemain Terbaik Liga Indonesia. Riedl juga seperti abai bahwa yang bersangkutan adalah pencetak gol terbanyak di Asian Games lalu saat membela Timnas U-23.
Bicara soal Timnas U-23, sosok-sosok menonjol dari tim itu seperti full back Alfin Tuassalamony dan penyerang Ramdani Lestaluhu tak juga dihadirkan.
Kita juga tak melihat mesin Arema Cronus, Hasyim Kipu, full back yang membawa tim tersebut melaju jauh di Liga Indonesia. Tak ada juga full back Persipura Ruben Sanadi yang visinya sudah terbukti tajam setahun belakangan.
Sementara di tengah, bintang Timnas U-19, Evan Dimas tak dimainkan pada dua pertandingan awal. Riedl tentu paham bahwa Evan bukan hanya sensasi karena sudah melihat dia bermain ciamik melawan Timor Leste. Gelandang-gelandang beroktan tinggi dari Timnas U-19 seperti Ilham Udin Armayn dan Paolo Sitanggang juga tak dipanggil.
Absen juga pemain naturalisasi mumpuni, Stefano Lilipaly, di lini tengah. Sementara Firman Utina, pemain tengah terbaik di Timnas Senior, harus menunggu hingga menit akhir pada pertandingan perdana sebelum dimainkan.
Para pemain yang dipanggil Riedl sebagian adalah anak-anak asuhanya pada Piala AFF 2010 lalu. Siapapun yang menyaksikan sepakbola tentu paham bahwa empat tahun adalah waktu yang terlampau lama untuk mengulangi dan berharap resep yang sama bisa berhasil.
Tak hanya soal pemanggilan, soal penempatan pemain juga terbilang ganjil pada laga perdana melawan Vietnam. Pemain bertahan Manahati Lestusen yang bermain ciamik pada pertandingan-pertandingan awal di Asian Games tak berkutik karena ditarik maju jadi gelandang bertahan. Sedangkan penyerang maut Boaz Salossa mati kutu saat dijadikan Riedl pemain tengah.
Kilah apapun yang sekiranya diajukan Riedl terhadap keberatan kita atas pilihan pemainnya tak punya taji sekarang. Tim yang ia bawa terbukti tak mampu memainkan gaya sepakbola apapun. Tak jelas betul apakah tim yang dibawa Riedl dimaksudkan untuk memainkan taktik sepakbola tertentu.
Bertahan tak dilakukan dengan baik, menyerang juga tak jitu. Dua gol yang diciptakan Timnas pada petandingan melawan Vietnam bisa dikatakan bukan hasil strategi permainan yang cermat dirancang.
Tapi Riedl tak hadir dari ruang kosong. Ia adalah pilihan, kendati tak bisa dibilang pilihan yang baik. Yang mengambil itu pilihan adalah sebuah organisasi bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Organisasi yang berulang kali jatuh pada lubang ketakbecusan yang sama. Hanya satu kata untuk menggambarkan kelakuan tersebut: bebal.