REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mansyur Faqih
Twitter: @m_faqih
Pada Orde Baru, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto melakukan kontrol yang ketat terhadap kekuatan politik yang ada. Bahkan, tak jarang sampai campur tangan dalam urusan dapur partai politik yang ada.
Kontrol tersebut, misalnya terlihat dari UU Nomor 3/1975 tentang Partai Politik dan Golkar yang mengharuskan setiap partai yang ada untuk bergabung menjadi tiga institusi. Yaitu, dua partai politik (Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta Golongan Karya (Golkar).
Kontrol itu juga yang membuat Golkar selalu memenangkan pemilu dalam setiap pemilu yang digelar sejak 1977-1997. Hasilnya, Soeharto sukses mengukuhkan kekuasaannya hingga tiga dekade.
Berkat campur tangan pemerintah juga akhirnya PDI mengalami perpecahan yang diwarnai dengan tragedi 27 Juli 1996. Yaitu, pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.
Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (ketua umum versi kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Kejadian itu meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta. Khususnya di kawasan sekitar kantor DPP PDI. Antara lain, di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Buntut dari perpecahan itu, antara lain, munculnya partai baru bernama PDI Perjuangan (PDIP) pada 2009 yang berada di bawah kepemimpinan Megawati.
Hampir dua dekade berselang, kondisi politik tampaknya berbalik. Megawati yang direpresentasikan dengan PDIP kini sukses menjadi partai penguasa. Ia juga sukses menempatkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden RI ketujuh.
Bagaimana dengan Golkar? Seusai Orde Baru runtuh, Golkar mendapat cobaan berat. Soeharto merupakan penasihat partai. Maka itu, Golkar dituntut untuk dibubarkan. Golkar pun dicerca di mana-mana.
Namun, partai beringin itu terbilang sukses bertahan dengan perolehan suara sebesar 22 persen pada Pemilu 1999. Memang, angka itu jauh dari perolehan pada pemilu-pemilu sebelumnya yang berada di kisaran 60-70 persen.
Saat ini Golkar masih menjadi 'bandul politik' di Tanah Air. Pada pemilu 2014, partai kuning itu menjadi juara runner up dengan perolehan suara 18.432.312 (14,75 persen) dan 19 kursi DPR (16 persen). Angka itu tak jauh berbeda dari perolehan PDIP sebagai pemenang pemilu yang mendapatkan 23.681.471 suara (18,95 persen) dan 95 kursi DPR (14,03).
Karena itu, tak heran jika kekuatan Golkar tetap diperhitungkan,termasuk ketika pemerintah mencoba membangun kekuatan politik pendukung bernama Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Alih-alih, Golkar malah ikut dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang menegaskan posisi sebagai kekuatan penyeimbang. Malah, KMP pada akhirnya menguasai suara mayoritas di parlemen. Pemerintah merasa terganjal.
Beberapa kali, terlihat kesan kalau pemerintah berupaya untuk menarik partai KMP agar beralih dukungan. Misalnya, ketika Menkumham Yassona H Laoly mengeluarkan surat keputusan bernomor: M.HH-07.AH.11.01 tahun 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP.
Ada lima keputusan, tetapi poin penting surat itu, yakni mengesahkan kepengurusan kubu yang selama ini diketahui mendukung pemerintah. Padahal, posisi partai ketika itu berada di barisan KMP.
Kemunculan surat itu dianggap aneh karena baru diketahui saat sidang paripurna DPR pada Selasa 28 Oktober malam. Padahal, ia baru resmi dilantik sebagai menteri sehari sebelumnya.
Banyak yang menduga, setelah PPP giliran Golkar yang mendapat 'perhatian khusus' dari pemerintah. Selasa (25/11), Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno melayangkan surat kepada Polri agar tidak memberikan izin kepada Golkar untuk menggelar munas di Bali pada 30 November mendatang. Alasannya, faktor keamanan.
Ini menyusul bentrok di antara anggota Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) terkait munas untuk menentukan kepemimpinan periode selanjutnya. Baik memang jika ingin mengingatkan mengenai faktor keamanan untuk ajang sebesar munas. Tapi, apakah cara menkopolhukam itu tepat?
Posisi ketua umum dianggap penting untuk menentukan arah politik partai ke depan. Apakah akan tetap berada di KMP seperti selama ini di bawah kekuasaan Aburizal Bakrie (Ical) atau akan beralih mendukung rezim Jokowi.
Sempat muncul dugaan, pemerintah khawatir kalau KMP tetap menguasai parlemen, akan muncul impeachment terhadap pemerintah. Karena itu, mereka akan berupaya untuk menambah barisan partai pendukung sehingga bisa mengamankan pemerintah dan program-program yang diusung.
Kalau dugaan itu benar, amat disayangkan. Semestinya pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan dapur partai politik. Biarlah parpol menyelesaikan dinamika yang terjadi di internalnya.
Apalagi, untuk partai sekaliber Golkar. Partai itu memiliki rekam jejak cemerlang dalam mengatasi konflik internalnya, meskipun konflik tersebut tak pernah sampai sebesar seperti saat ini.
Tak hanya itu, tindakan tersebut juga akan menjadi catatan buruk bagi PDIP yang kini menjadi penguasa. Karena, partai moncong putih pernah merasakan pengalaman korban dari campur tangan pemerintah pada masa Orde Baru yang berujung Sabtu kelabu, 27 Juli 1996.