Senin 08 Dec 2014 19:07 WIB

Blusukan, Cara Jokowi Mendorong Revolusi Mental?

Taufik rachman
Taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Taufik Rachman

[email protected]

Blusukan makin populer saja. Kalangan elite negeri ini seperti berlomba-lomba melakukan blusukan. Blusukan sendiri dipopulerkan Joko Widodo saat menjabat sebagai Wali Kota Solo dan gubernur DKI. Model ini berlanjut saat Joko Widodo menjabat sebagai orang nomor satu negeri ini.

Tak hanya melakukan peninjauan langsung ke lapangan, Jokowi juga melakukan eblusukan, blusukan secara elektronik menggunakan video conference. eBlusukan dilakukan saat Jokowi berdialog dengan TKI di delapan negara.

Seperti blusukan yang dilakukan selama ini, banyak masukan yang didapatkan Jokowi saat melakukan eblusukan. Dari eBlusukan yang dilakukan dengan kalangan TKI, misalnya, presiden mendapatkan banyak input di lapangan, yang boleh jadi tidak didapatkan dari laporan yang sampai ke meja presiden. Input dari kalangan TKI memberikan gambaran bagaimana karut marut TKI selama ini.

Presiden pun merespon masukan itu. Antara lain memutuskan untuk membatalkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang memberatkan kalangan TKI, karena mereka harus membayar lebih mahal dari biaya yang ditetapkan. KTKLN patut diduga juga menjadi salah satu pemicu praktik KKN, yang lagi-lagi merugikan TKI. Karena KTKLN pula TKI harus bekerja ekstra keras, melebihi masa kontraknya, bahkan rela tak menerima bayaran selama sekian bulan.

Dari serangkaian blusukan Jokowi, memang didapatkan banyak informasi menarik yang seperti tenggelam di permukaan. Saat melakukan sidak ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jokowi mendapatkan fakta bahwa proses perizinan sangat lambat sekali. Izin listrik, misalnya, sampai enam tahun tidak selesai.

Saat menemui petani gula di Jawa Timur, presiden mendapatkan informasi langsung dari petani persoalan yang dihadapi. Mulai dari sarana produksi pertanian, penjualan hasil pertanian, perlakukan manajemen BTPN, hingga mafia pangan yang membayangi mereka.

Tatkala berdialog dengan para pengungsi Sinabung, presiden mendapatkan fakta menarik soal pembangunan pemukiman yang tak segera bisa direalisasikan karena soal alih fungsi tanah. Tanah yang dicadangkan untuk relokasi korban bencana tak bisa dimanfaatkan, karena soal administrasi. Demikian pula dengan akses jalan. Padahal dana telah tersedia, warga pengungsi berharap bisa segera direlokasi.

Ketika presiden turun tangan, persoalan bisa selesai dalam dua hari. Mengapa harus presiden yang melakukan intervensi untuk hal seperti ini. Bagaimana dengan instansi terkait lainnnya, bukankah rencana relokasi telah disiapkan berbulan-bulan sebelumnya.

Kasus menarik lain adalah ketika presiden melakukan blusukan ke Lampung. Di luar agenda, Jokowi mengunjungi PLTU Sebalang. Banyak yang kaget presiden mengunjungi PLTU ini. Boleh jadi ada masalah di PLTU ini. Sebuah dermaga megah yang dibangun untuk bongkar muat batubara, ternyata tak berfungsi. Bongkar muat menggunakan angkutan umum melintasi jalan di kawasan pantai. Untuk melintasi kawasan itu truk dikutip Rp 10,- tiap kilogram batubara.

Kawasan pantai itu yang konon akan dikembangkan menjadi kawasan wisata pantai, tak digarap serius oleh pengembang. Uniknya hak guna usaha yang diajukan sangat luas sekali dan mencakup sebuah kawasan yang potensial batu alam. Ada masalah memang di kawasan itu. Cukup beralasan apabila Jokowi diluar agenda masuk ke kawasan Sebalang.

Blusukan, tampaknya, akan menjadi sebuah gaya memimpin Jokowi. Melalui blusukan Jokowi berharap bisa menyerap langsung aspirasi publik, melihat kondisi real yang ada ditengah masyarakat, berinteraksi langsung dengan publik papan bawah, sekaligus melakukan kontrol atau cross check terhadap laporan yang masuk. Dalam banyak kasus, Jokowi juga memberikan respon terhadap persoalan krusial yang membutuhkan penanganan segera.

Memperhatikan apa yang telah dilakukan presiden, kita menangkap suatu kesan bahwa apa yang dilakukan Jokowi bukanlah suatu pencitraan. Jokowi ingin memberi contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin bekerja. Jokowi juga mengajak para elite bangsa ini untuk lebih berempati pada persoalan-persoalan yang dihadapi--ketimbang berdebat tanpa ujung, sekaligus cepat mengambil keputusan.

Pada sisi lain, kita juga menangkap kesan bahwa dalam batas batas tertentu memang dibutuhkan gaya kepemimpinan one man show. Dalam kasus-kasus tertentu, kita butuh intervensi seorang presiden, demi kemaslahatan bersama. Kita butuh ketegasan seorang pemimpin.

Perintah penenggelaman kapal ikan, contohnya. Perintah itu pada dasarnya adalah sebuah warning, baik bagi para pelaku pencurian ikan maupun pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Bukankah sasaran pencuri ikan hanya 18 titik. Kita memiliki sumber daya memadai mengatasi soal itu. Mengapa kasus itu seperti ada pembiaran?

Blusukan, boleh jadi sebuah cara untuk mengurai benang kusut yang melilit bangsa ini. Ia sekaligus sebuah cara mengubah pola berpikir, pola bersikap dan pola bertindak bangsa ini secara cepat. Ia adalah sebuah sisi lain dari revolusi mental. Presiden telah mulai mendorong revolusi mental. Siapa lagi menyusul?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement