Senin 22 Dec 2014 15:54 WIB

Menanti Pecahnya Kekuatan Politik

Bilal Ramadhan
Foto: doc pri
Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Bilal Ramadhan

Dunia perpolitikan di Indonesia usai Pilpres 2014 masih terus menyisakan dua kubu berseberangan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Dalam Pilpres 2014, Baik KMP maupun KIH masing-masing menjagokan calon presiden dan wakil presidennya.

Dengan hanya munculnya dua pasang capres pada 2014, memang sudah diperkirakan perkembangan politik di Indonesia hanya akan seputar dua kubu pendukung ini saja. Pihak pendukung Jokowi akan masuk dalam pemerintahan.

Sedangkan kubu Prabowo akan berperan sebagai oposisi. Dalam pembahasan program-program pemerintah ke depan pun, masyarakat akan terus disuguhkan dengan ‘perkelahian’ kedua kubu ini.

Dan terpilih lah Joko ‘Jokowi’ Widodo menjadi Presiden RI ketujuh yang didampingi dengan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Kini, permasalahan politik pun tidak lepas dari kepentingan dua kubu koalisi tersebut.

Dari mulai pembentukan pimpinan DPR, alat kelengkapan DPR hingga pemilihan pimpinan partai periode baru. Saat ini sudah dua partai yang mengalami perpecahan yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perpecahan dua partai juga tidak lepas dari kepentingan dua kubu ini. Meski pada Pilpres 2014, dua partai ini menjadi bagian dalam KMP, akan tetapi ada pihak internal yang berpihak kepada Pemerintahan Jokowi.

Perpecahan kedua partai ini pun sudah menjadi hal yang pasti. PPP terbelah menjadi dua kubu yaitu kubu pimpinan Djan Faridz yang direstui mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sedangkan kubu lainnya adalah mantan Sekjen PPP Romahurmuziy yang juga mengklaim sebagai Ketua Umum partai berlambang Kabah ini. Kepentingan dua koalisi terhadap pecahnya PPP dapat dilihat dari dukungan KMP kepada kubu Djan Faridz. Kubu Romy merapat ke KIH.

Campur tangan KIH terlihat dari adanya surat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly terhadap PPP dengan Romy sebagai Ketua Umumnya. Konflik kedua kubu ini juga belum berakhir. Aksi rebut-rebutan kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat ini terjadi antara massa pendukung dua kubu ini.

Belum berakhir konflik internal di PPP, perpecahan juga terjadi di tubuh Partai Golkar. Unjuk kekuatan kedua kubu di Golkar pun dilakukan dengan menggelar Musyawarah Nasional (Munas). Munas di Bali menghasilkan terpilihnya kembali Aburizal ‘Ical’ Bakrie sebagai ketua umum. Munas yang digelar di Ancol setelah Munas Bali, mengangkat mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono sebagai ketua umum.

Kubu Ical dan Agung masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang paling sah. Dua kubu ini juga saling memberikan kelengkapan dokumen kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Konflik tak terselesaikan dengan keputusan Menkumham dengan tidak memilih salah satu kubu sebagai pihak yang sah seperti yang dilakukan terhadap PPP.

Menkumham Yasonna memutuskan dengan mengembalikan dua laporan dari kubu Ical dan Agung agar kedua kubu tersebut dapat menyelesaikan konflik internalnya. Langkah Menkumham ini dinilai baik bagi kepentingan KIH dan pemerintahan Jokowi.

Seperti diketahui Golkar memiliki massa yang besar, dan pada Pileg 2014 menjadi partai kedua yang meraih suara terbesar di bawah PDI Perjuangan. Dengan ‘membiarkan’ dan membuat konflik di Golkar terus berlarut, secara perlahan akan menggerus suara Golkar.

Partai lainnya yang akan melakukan pemilihan ketua umumnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Demokrat sangat mungkin untuk bergabung dengan KIH dan masuk dalam pemerintahan Jokowi.

Hal ini terlihat dari perpecahan suara di KMP terkait Perppu Pilkada Langsung yang ditandatangani SBY saat masih menjabat sebagai Presiden. KIH sendiri mendukung Perppu Pilkada. Belakangan Golkar, melalui Ical, juga menyatakan akan mendukung Perppu Pilkada.

Akan tetapi bukan tidak mungkin baik Demokrat dan juga PAN juga akan terjadi perpecahan dalam menyikapi posisi apakah di dalam atau di luar pemerintahan seperti yang terjadi pada PPP dan Golkar.

Posisi PDIP pun juga sangat mungkin mengalami perpecahan. Kondisi perpecahan yang akan terjadi di internal PDIP kemungkinan terjadi antara pendukung Jokowi atau Megawati dalam pemilihan Ketua Umum PDIP.

Perpecahan partai-partai ini tinggal menunggu waktu saja. Partai-partai baru pun kemungkinan akan berdiri dari pihak ‘sakit hati’. Kita sebagai masyarakat kecil hanya tinggal berharap partai-partai ini masih memiliki etika dalam menyelesaikan konflik internalnya.

Akan tetapi terasa naif jika membicarakan dunia politik saat ini yang seolah menganut politik ala Machiavelli yang memandang politik hanya dari segi bagaimana memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Perebutan kekuasaan pun akan dilakukan tanpa etika berpolitik. Karena akan banyak kepentingan yang bertemu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement