Jumat 09 Jan 2015 17:08 WIB

Larangan Bagi Guru Agama Asing

Arif Supriyono
Foto: doc.pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Email: [email protected]

 

Menteri Ketenagakerjaan, Muhammad Hanif Dhakiri, membuat keputusan mengejutkan. Ia melarang tenaga kerja asing (TKA) yang berprofesi sebagai guru agama dan teologia dari semua agama yang ada di sini untuk bekerja di Indonesia. 

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 20 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan yang Tertutup bagi Tenaga Kerja Asing akan segera direvisi. Sang menteri berdalih, tak ingin lembaga-lembaga pendidikan menjadi penyemai benih radikalisasi di kelompok agama mana pun.

Larangan atau pembatasan terhadap TKA sejatinya merupakan sesuatu yang lazim dilakukan oleh sebuah negara. Hal yang membedakan barangkali adalah alasan atau dalih yang menjadi pertimbangan untuk membuat keputusan tersebut. 

Karena ini menyangkut keberadan kementerian lain, semestinya menaker juga melakukan koordinasi dengan kementerian terkait. Selama ini keran impor (permintaan) untuk membuka hadirnya guru agama asing datang dari Kementerian Agama. Sudah seharusnya pula menaker berdiskusi dengan Kemenag sebelum membuat keputusan tersebut. 

Bukankah salah satu tugas menteri adalah melakukan koordinasi? Rasanya tak ada yang sulit untuk sekadar berdiskusi atau menugaskan jajarannya agar membahas masalah yang akan terkait dengan kebijakan yang bal dibuat tersebut dengan instansi lain di luar kementeriannya. 

Sepenuhnya saya setuju upaya menaker untuk memagari pikiran anak muda Indonesia dari bahaya radikalisme agama. Namun, perlu pula diperhatikan fakta yang ada saat ini. 

Berdasarkan data yang ada di Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Bina Penta) Kemenaker tahun 2014, jumlah guru agama/teologia asing di Indonesia  hanya mencapai 22 orang. Dari angka itu, 17 orang merupakan guru/dosen teologi dan lima lainnya adalah guru agama. 

Para dosen teologi itu tentu tak semuanya mengajarkan pemikiran agama Islam. Bisa jadi mereka juga berasal dari pemeluk agama lain. Dengan begitu, kekhawatiran penyebaran ajaran radikal menjadi tak beralasan karena akhir-akhir ini gerakan ekstrem menyembul dari kelompok-kelompok yang membawa-bawa nama Islam.

Melihat jumlah guru/dosen agama dari asing itu, dibanding sekitar 250 juta warga Indonesia, kekhawatiran akan kian merebaknya ajaran radikalisme agama tampaknya tak relevan. Jika memang ajaran radikal semacam ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang banyak dikecam dunia dan berbagai elemen Islam di Indonesia itu yang dikhawatirkan bisa masuk ke sini, seharusnya pemerintah langsung saja membuat keputusan untuk melarang gerakan dan ajaran itu (atau kelompok radikal lainnya) untuk masuk ke Indonesia. Untuk urusan ini, tentu saja harus melibatkan kementerian lain dan bukan hanya ranah Kemenaker. 

Di samping itu, karena tercatat resmi, para guru agama asing tersebut tentu jelas identitasnya. Lebih mudah bagi pemerintah untuk mengawasi transfer pengetahuan yang dilakukan oleh orang yang jelas jati dirinya ketimbang mereka yang tak terekam identitasnya. Lagi pula, karena sudah teridentifikasi, tentu para guru asing itu tak akan mudah untuk menyebarkan ilmu ‘terlarang’ tersebut di Indonensia.

Lantaran menjadi guru resmi, pengajar agama/dosen teologia asing itu logikanya juga akan mengajar di institusi resmi. Kalau mereka mencekoki siswa/mahasiswa dengan paham ekstrem, apa bisa semudah itu para murid menerimanya tanpa koreksi? Kalaupun para murid itu menerima ilmu radikal tersebut, apakah cuma diam saja dan tak mendiskusikannya (melaporkannya) pada pihak lain?

Belakangan ini, label sebagai gerakan radikal banyak menempel di anasir-anasir organisasi yang menamakan diri dan seolah mewakili Islam. Lihat saja, misalnya, ada Alqaidah, Boko Haram, ISIS, dan sebagainya. 

Saya tidak yakin, guru/dosen resmi dari asing yang terdaftar di Kemenag memiliki kecenderungan untuk menyebarluaskan ajaran radikal tersebut. Justru saya menduga, penyebaran paham radikal dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lebih sulit untuk diidentifikasi secara kasat mata. Mereka biasanya melakukan penyusupan atau pelbagai penyamaran. 

Bila memang ditemukan guru/dosen agama asing yang mengajarkan paham radikal atau barangkali sang guru tersebut terindikasi berasal dari kelompok ekstrem di luar negeri, tinggal mengusir saja keberadaan mereka. Ini juga tak susah untuk dilakukan.

Menularkan ilmu radikal yang dimusuhi banyak orang melalui jalur resmi seorang guru, rasanya kecil kemungkinannya. Kalaupun itu yang dikhawatirkan bakal terjadi, Kemenag bisa membatasi dengan melarang penyebaran ajaran radikal dan bukan dengan tidak membolehkan guru agama asing masuk ke Indonesia. Langkah ini menjadi filter dalam upaya mencegah masuknya paham radikal atau ekstrem ke Indonesia.

Penularan ilmu radikal justru kerap terjadi dalam wadah pelatihan-pelatihan, baik yang digelar di dalam negeri maupun di luar negeri. Cara ini juga sering diterapkan oleh beberapa organisasi militan internasional dan cenderung lebih efektif atau mengena untuk proses kaderisasi dan pencucian otak seseorang. 

Kenyataan yang terjadi saat ini, kita tak hanya mendatangkan guru agama asing. Banyak pula dai dan guru agama Indonesia yang juga mengajar di luar negeri. Ini merupakan hal yang biasa terjadi di kalangan akademisi, tak hanya sebatas guru agama. 

Dengan kondisi seperti ini, maka tak perlulah menaker melarang guru agama asing untuk mengajar di Indonesia. Mungkin yang diperlukan sekadar pembatasan belaka. Bisa saja pembatasan dilakukan dalam hal jumlah maksimal tenaga kerja asing sebagai guru/dosen agama. Bisa pula pembatasan itu berupa larangan untuk membawa pemikiran tertentu yang tak sesuai dengan garis kebijakan pemerintah Indonesia, maupun pemahaman keagamaan masyarakat kita secara umum, yang selama ini sudah menjadi norma bersama. 

Kekhawatiran akan masuk dan berkembangnya paham radikal atau ekstrem di Indonesia memang harus dilakukan. Akan tetapi tak perlu kita menyikapi dengan berlebihan, sehingga sampai menutup pintu bagi masuknya pengajar agama asing yang jumlahnya tak seberapa. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement