REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Esthi Maharani
twitter: @sssthi
Kisaran akhir 2012, kabar mengejutkan datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk pertama kalinya, KPK menetapkan seorang menteri aktif di pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tersangka. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alfian Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dugaan korupsi Hambalang.
Kala itu, saya sedang bertugas di istana kepresidenan. Saya ingat betul wajah gugup Andi ketika pagi-pagi sekali mendatangi istana presiden untuk bertemu SBY. Ia secara langsung menyerahkan jabatannya kepada presiden.
Siang harinya, Ketua KPK, Abraham Samad dan beberapa pimpinan KPK dengan muka gugup pula datang ke kantor presiden. Samad mengakui memberikan laporan tentang penetapan tersangka kepada salah satu pembantu presiden.
Dua tahun kemudian, lagi-lagi menteri aktif yakni Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA) juga ikut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK untuk dalam dugaan korupsi penyelenggaraan haji.
Saya juga masih ingat wajah ‘tak mau’ dan ‘tak rela’ SDA ketika dipaksa untuk menyerahkan jabatannya kepada SBY. Dengan muka memerah dan tertunduk, SDA menyalami presiden. Wakil Presiden, Boediono bahkan sempat memeluk dan menenangkannya.
Selang beberapa bulan, giliran Menteri ESDM, Jero Wacik yang menjadi menteri aktif ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Jero Wacik diduga melakukan korupsi terkait pengadaan proyek di kementerian ESDM pada 2011-2013. Selain itu, ia juga diduga melakukan pemerasan.
Proses Jero Wacik menghadap SBY tak terekam secara utuh di media. Tetapi, dengan dua pengalaman sebelumnya, Wacik tahu harus segera meletakan jabatannya dan konsentrasi pada proses hukum yang menjeratnya.
Sekarang, di pemerintahan baru, peristiwa yang terjadi berbeda. Seseorang yang baru mau dan baru akan menjabat sebagai pucuk pimpinan kepolisian yang disangkakan melakukan korupsi oleh KPK.
Hal ini berawal dari surat bernomor R-01/Pres/01/2015 yang bocor di dunia maya. Surat tertanggal 9 Januari 2015 dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu ditujukan kepada DPR dengan tujuan mendapatkan persetujuan untuk pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri.
Nama Budi Gunawan sebagai pengganti Jenderal Pol Sutarman nyatanya menuai reaksi negatif dari masyarakat. Karena, ia beberapa kali dikaitkan dengan kepemilikan rekening mencurigakan yang melibatkan jajaran Polri. Apalagi kasus tersebut sudah pernah dilaporkan ke KPK meski waktu itu belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Namun, dengan pengajuan Budi Gunawan sebagai kapolri, bisa jadi memicu KPK untuk mempercepat proses penyelidikan. Apalagi, pemerintah meminta agar proses persetujuan penetapan cakapolri dilakukan dalam waktu yang cepat, seperti yang tertera pada alinea keempat surat tersebut.
"Kami berharap Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberikan persetujuannya dalam waktu yang tidak terlalu lama," tulis surat dengan tanda tangan Jokowi tersebut.
Saya jadi membayangkan, pencalonan Budi Gunawan seperti sebuah perlombaan. KPK sedang berlomba dengan pemerintah untuk mengegolkan atau menggagalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri baru.
Nyatanya, empat hari setelah surat tersebut mucul, KPK mengumumkan penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan. Jenderal bintang tiga itu diduga melakukan tindak pidana korupsi penerimaan janji saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.
"KPK telah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014. Sudah setengah tahun lebih kita lakukan penyelidikan terhadap kasus transaksi mencurigakan atau tidak wajar terhadap pejabat negara," ungkap Abraham, Selasa (13/1).
KPK pun mengatakan Budi Gunawan sebagai salah satu orang yang mendapatkan rapor merah dari KPK saat seleksi calon menteri, pada Oktober lalu. Rapor merah itu pada dasarnya peringatan bagi pemerintah untuk tak memilih orang yang berpotensi bermasalah di kemudian hari. Bisa dibilang hanya tinggal tunggu waktu sebelum KPK menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
Meski penetapan tersangka dinilai melangkahi Jokowi dan sarat unsur politis, saya sendiri berterima kasih kepada langkah berani KPK. Bagi saya, momentum penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK bukan hal yang seharusnya dipusingkan. Justru hal itu menjadi benteng terakhir agar cita-cita membangun aparat pemerintah dan penegak hukum bersih masih bisa digantungkan.
Saya juga berpendapat, peringatan sekaligus penetapan tersangka oleh KPK adalah kesempatan emas untuk Jokowi membuktikan ia bisa menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara benar dan tanpa intervensi. Ia punya peluang untuk mencegah tercorengnya wajah hukum Indonesia.
Sayangnya, respons yang diharapkan tak terjadi. Untuk hal ini, kerja cepat yang jadi jargon malah melempem. Jokowi memilih menunggu hasil paripurna DPR. Bahkan, permintaan KPK untuk bertemu Jokowi usai penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka terus ditunda dan tak kunjung terjadi.
Saya jadi membayangkan, apa jadinya jika Jokowi tetap bersikeras melantik Komjen Budi Gunawan yang telah disetujui DPR sebagai kapolri baru?
Kapolri yang berstatus tersangka, saya rasa dampaknya akan cukup besar bagi hukum Indonesia. Kasarnya, bagaimana mau menegakan hukum kalau pucuk pimpinannya saja sudah bermasalah?
Jika dulu menteri aktif saja bisa diberhentikan, seharusnya orang yang baru akan menjabat lebih mudah ditentukan nasibnya. Tapi ya sudah, biarlah Jokowi memutuskan, tetap melantik tersangka korupsi atau menyuruh yang bersangkutan fokus pada proses hukum dan mencari orang yang catatannya lebih bersih.
Yang jelas, sejarah yang akan mencatat, akan dibawa ke mana hukum Indonesia oleh presiden ketujuh RI.