REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Email: [email protected]
Percikan api ’perseteruan’ itu kian meluas. Adalah rapat paripurna DPR yang ikut membesarkannya.
Dalam rapat paripurna Kamis (15/1) siang, DPR memberikan persetujuan atas penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman. Sehari sebelumnya, Komisi III DPR juga menyatakan bahwa Budi Gunawan lulus dalam uji kepatutan dan kelayakan sebagai kapolri.
Keputusan DPR itu tentu saja melawan arus besar kehendak masyarakat yang menganggap Budi Gunawan tak layak menjadi pimpinan Polri. Karena Budi Gunawan yang menjabat sebagai kepala Lembaga Pendidikan Polri ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat yang bersangkutan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Ada kesan memang, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka seolah wujud atas ketidakpuasan KPK dalam proses seleksi calon kapolri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). KPK sudah pernah menyampaikan catatan ke presiden perihal kasus rekening gendut dan mencurigakan yang dimiliki Budi Gunawan.
Toh Jokowi tetap bergeming dan menetapkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri. Keanehan dalam transaksi keuangan (dana pinjaman) di rekening Budi Gunawan tak membuat Jokowi goyah. Transaksi senilai Rp 57 miliar di rekening anak Budi Gunawan tak juga punya pengaruh. Padahal, saat itu --pada 2005-- anak Budi Gunawan baru berusia 19 tahun.
Bisnis apa yang akan dijalani anak berusia 19 tahun --dan bukan dari kalangan pengusaha-- dengan dana sebesar itu? Apalagi, lembaga yang memberi pinjaman itu pun saat ini sudah tutup alias tak beroperasi.
Beberapa pimpinan KPK pun sempat mengutarakan, proses pencalonan kapolri jauh lebih baik saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketimbang sekarang ini. Ini karena SBY menggunakan institusi KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memeriksa rekening dan rekam jejak calon.
Isu lantas merebak. Ketidakberdayaan Jokowi menolak pencalonan Budi Gunawan diduga kuat karena faktor Megawati Soekarnoputri, sosok yang membuat Jokowi patuh dan tak berkutik. Budi memang dikenal dekat dan pernah menjadi ajudan Megawati, saat ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menjabat presiden.
Lemahnya Jokowi di hadapan Megawati membuat saya teringat tulisan saya di rubrik Fokus pada Juni 2014. Berikut ini penggalan kutipannya.
Beda lagi cerita yang disampaikan oleh salah satu petinggi parpol lain (bukan partai X) terhadap seorang capres beserta timnya. Mereka sama sekali tak bisa menjawab tegas tatkala ditanya bentuk koalisi yang akan dibangun nanti. Bukan calon presiden yang akan menentukan hal ini namun petinggi partailah yang akan memukul gongnya. Mereka masih menunggu arahan ‘penguasa sesungguhnya’.
Penjelasan yang hampir sama juga dikemukakan saat diskusi berbelok ke arah pembentukan pemerintahan. Mereka tak bisa memberikan jawaban pasti kecuali satu hal: itu nanti akan ditentukan oleh pimpinan tertinggi partai. Ini bermakna, sang capres nanti --jikalau berkuasa-- tetap sulit melepaskan diri dari bayang-bayang pimpinan tertinggi partai.
Mestinya Jokowi tak bisa lagi bersikap seperti ini. Kalau Jokowi mengutamakan kepentingan rakyat dalam menjalankan pemerintahan, tentu ia tak akan mengorbankan hal paling mendasar dalam membuat kebijakan dan rekrutmen politik untuk posisi penting. Bagaimana mungkin calon pemimpin yang akan bertugas memberantas kejahatan (dan korupsi) malah terindikasi melakukan tindakan korupsi.
Keputusan terbaik pasti akan diambilnya untuk keselamatan negara dan rakyatnya. Bagaimanapun, Jokowilah presiden kita dan bukan yang lain. Tak elok bila kemudian dia juga berdalih, bahwa calon kapolri itu semata-mata usulan Komisi Kepolisian Nasional.
Mega pun tak semestinya untuk terus mendesakkan kepentingannya pada presiden. Dengan senantiasa memohon restu atau berkomunikasi dengan Mega atas kebijakan dan pilihan yang akan diambil, itu sudah menunjukkan sikap tawadhu Jokowi pada mantan atasannya tersebut. Hal itu sekaligus menempatkan Mega pada posisi sangat terhormat sebagai negarawan.
Saya tak yakin kabar yang menyebutkan, bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri merupakan upaya Jokowi untuk ’membantah’ Mega. Tak ada rekam jejak Jokowi berani bersikap seperti itu terhadap Mega. Kalau informasi itu benar, justru akan menjadi bumerang buat Jokowi di kemudin kelak.
Persoalan sekarang memang kian melebar, tak hanya urusan Mega-Jokowi semata, setelah paripurna DPR menyetujui Budi Gunawan sebagai kapolri. Saat Budi lulus uji kelayakan dan kepatutan, sempat berembus kabar bahwa anggota Komisi III DPR sudah mendapat asupan gizi untuk memuluskan skenario itu. Namun, isu itu agaknya terbantah setelah paripurna DPR juga menyetujuinya.
Sikap dan keputusan anggota DPR ini sungguh di luar nalar. Orang menjadi tersangka, dengan beragam kejanggalan yang terkait masalah keuangan, masih saja didukung. Di mana letak nurani anggota dewan ini? Masih layakkah kita menaruh harapan pada mereka?
Salah satu kemungkinan adanya sikap ganjil DPR ini adalah upaya bersama untuk memusuhi KPK. Beberapa waktu lalu santer dan nyata terlihat adanya sikap antipati terhadap KPK. Ada petinggi partai yang mempelopori agar KPK dibubarkan. Sebagian besar partai lainnya minta agar kewenangan KPK dikurangi, melalui revisi undang-undang. Untung saja upaya ini terganjal.
Setelah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka, seolah mereka bersatu melawan musuh bersama (KPK) yang masih mendapat hati di tengah masyarakat. Hampir mirip dengan kisah permusuhan KPK-polisi (cicak-buaya). Saat itu KPK menjadikan petinggi polisi sebagai tersangka. Maka, kantor KPK pun sempat dikepung polisi (digambarkan sebagai buaya), sebelum akhirnya presiden menengahinya setelah adanya dukungan masyarakat terhadap KPK.
Kali ini, polisi memiliki dukungan berbeda. Kalangan DPR sepertinya sengaja membuat bola liar dengan sasaran mengarah ke KPK. Mereka seolah berkolaborasi dengan kepolisian dan partai-partai politik. Dorongan agar presiden segera melantik kapolri baru pun didengungkan sebagian kalangan.
Tinggal Jokowi-lah yang akan menjadi penentunya. Semua keputusan pasti berisiko. Jika Jokowi membuat keputusan dengan menggunakan nurani, rakyat tentu akan terus bersamanya. Bila sebaliknya yang terjadi, dukungan rakyat itu perlahan akan luruh dan sirna.
Kita semua berharap, Jokowi tak salah membuat pilihan. Jokowi tinggal memilih, mau terus bersama rakyat atau menjauhinya. Tak keliru jika kita bertanya: Jokowi, kau mau ke mana?