Jumat 30 Jan 2015 18:29 WIB

Di Balik ’Jurus Silat’ Prabowo-Jokowi

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Email: arifspyn@gmail.com 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat langkah mengejutkan. Tanpa agenda pemberitaan sebelumnya, pada Kamis (29/1) siang, Jokowi menerima mantan pesaingnya dalam pemilihan presiden, Prabowo Subianto, di Istana Bogor. 

Banyak pihak yang tak tahu rencana pertemuan tersebut. Media pun baru mengetahui akan adanya pertemuan itu hanya beberapa jam menjelang kedatangan Prabowo. 

Ada yang menyebutkan, pertemuan itu sebenarnya inisiatif Jokowi untuk mengundang Prabowo. Namun, pada awak media, putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo itu mengaku sengaja bersilaturahim dengan presiden sekaligus melaporkan terpilihnya dia sebagai ketua asosiasi pencak silat dunia. 

Siapa yang berinisiatif mengundang, sesungguhnya bukan hal utama. Justru isi pembicaraan satu jam itu yang ingin diketahui banyak pihak. 

Prabowo memang mengutarakan keinginannya agar Jokowi mau menerima Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di istana sekaligus bersedia dinobatkan sebagai pendekar pencak silat. Sebagaimana dikatakan Prabowo, setiap presiden Indonesia selalu dinobatkan sebagai pendekar pencak silat. 

Pertemuan dua orang penting itu tentu menyedot perhatian besar khalayak. Keduanya menunjukkan kebesaran jiwa sebagai negarawan dengan menghapus tinta perseteruan, setelah persaingan menuju RI-1 yang sangat menguras waktu, pikiran, tenaga, dan emosi. Bahkan hingga kini banyak di antara pendukung kedua belah pihak --baik mereka yang di legislatif maupun para relawan-- yang belum bisa akur serta tetap saja saling olok. 

Secara sekilas, pertemuan keduanya seolah seperti mengalihkan perhatian banyak pihak terhadap polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Mungkin ada yang menilai, dengan menerima Prabowo, Jokowi hendak mengesampingkan sejenak masalah rumit yang terjadi antara dua institusi penegakan hukum tersebut dengan membahas soal dunia persilatan dengan segala jurusnya.

Namun tafsir lain dari pertemuan itu justru menyimpulkan, Jokowi sedang mencari sandaran baru soal kemelut KPK-Polri yang terus bergerak ke segala arah. Ya, posisi Jokowi memang dilematis. 

Di satu sisi, dia mendapat suntikan tenaga dari Tim Independen. Tim yang beranggotakan sembilan orang --A Syafii Maarif, Jilmy Asshidiqie, Tumpak H Panggabean, Ery Riyana H, Komjen (Pur) Oegroseno, Jenderal Pol (Pur) Sutanto, Bambang Widodo Umar,  Imam Prasodjo, dan Hikmahanto Juwana-- itu menyarankan agar Komjen Budi Gunawan (yang diduga memiliki rekening gendut) tak dilantik sebagai kapolri. 

Tentu saja rekomendasi Tim Independen ini bisa menjadi tambahan amunisi bagi Jokowi untuk melawan arus kuat dari PDIP dan fraksi-fraksi DPR. Mereka --termasuk tokoh AM Hendropriyono dan Surya Paloh-- masih memberikan dukungan agar Budi Gunawan yang merupakan orang dekat dan mantan ajudan Megawati itu segera dilantik sebagai kapolri.  

Tekanan tak hanya sampai di situ saja. Penyokong Koalisi Indonesia Hebat atau KIH (PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI-nonparlemen) pun kabarnya menebar ancaman. Sudah pasti PDIP yang menjadi motornya. Santer terdengar kabar, bukan tidak mungkin parleman melakukan pemakzulan terhadap presiden jika tak segera melantik Budi Gunawan sebagai kapolri. 

Sebaliknya, Jokowi juga menghadapi tekanan masyarakat luas dan  --menurut Menko Polhukam Tedjo Edy Purdijatno-- dari rakyat yang nggak jelas. Para relawan siap pula bergerak jika Jokowi menafikan aspirasi mereka. 

Sudah barang tentu Jokowi tak bisa mengabaikan begitu saja desakan PDIP dan partai lain yang memang memiliki semangat luar biasa untuk mengebiri KPK. Jalan melingkar pun ditempuh Jokowi. 

Jokowi tak langsung menantang untuk berhadap-hadapan secara diametral dengan partai dan Ketua Umum PDIP, Megawati, yang senantiasa dia posisikan sebagai ibu. Tambahan sandaran pun ia rengkuh melalui Prabowo yang diharapkan bisa menggerakan Koalisi Merah Putih atau KMP (terdiri atas Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB-nonparlemen) untuk mendukung langkah Jokowi. 

Prabowo kini menjadi salah satu kartu as bagi sikap Jokowi selanjutnya dalam menghadapi problem KPK-Polri. Kendali yang dihela Prabowo akan sangat menentukan posisi Jokowi lantaran KIH tak sepenuhnya sejalan dengan kebijakannya.

Sikap Prabowo sepertinya terlihat dari pernyataannya di depan wartawan. "Saya menyampaikan komitmen saya untuk mendukung usaha bersama kita sebagai eksekutif, kami di luar eksekutif, untuk sama-sama membangun bangsa menjaga keutuhan bangsa dan memerangi kemiskinan," kata Prabowo. 

Tentang sikap Jokowi atas kisruh penetapan kapolri, Prabowo pun seolah memberi arah ke mana presiden akan melabuhkan keputusannya. "Saya yakin beliau akan mengutamakan kepentingan rakyat," tutur Prabowo. 

Dukungan terhadap Jokowi kian menguat saat sore harinya di Istana Negara menerima kedatangan mantan presiden BJ Habibie. Tanpa bermaksud memberi nasihat, Habibie mengutarakan pandangannya seputar kebijakan yang diambil presiden dalam setiap masalah penting.

Habibie berdalih, karena dipilih rakyat, maka presiden memihak 100 persen kepentingan rakyat. Produk hukum yang dihasilkan presiden pun, sambung Habibie, akan sepenuhnya untuk rakyat. 

Pernyataan dari Prabowo dan Habibie itu seolah menjadi sinyal kuat bagi Jokowi untuk bertindak dan membuat keputusan dengan mendengarkan suara rakyat. Pandangan Habibie mungkin lebih bersifat dukungan moral. Akan tetapi pernyataan Prabowo jelas memiliki bobot lebih riil lantaran bisa membelokkan arah perjalanan rangkaian gerbong di KMP. 

Sekarang ini tinggal kita tunggu dalam beberapa hari mendatang, seperti apa keputusan yang akan dibuat Jokowi terhadap Budi Gunawan? Sinyalnya sudah kuat karena Budi Gunawan bukan merupakan pilihan Jokowi. Namun, mungkin persoalannya tak sesederhana itu. 

Harus diakui, akar masalahnya bermula dari sikap Jokowi yang tak kuasa menolak pencalonan Budi Gunawan. Jokowi terjerat pada kepentingan segelintir elite partai yang menghendaki naiknya Budi Gunawan sebagai kapolri.

Harapan kita, Jokowi bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan dengan tepat. Sejatinya, ini bukan sengketa antara institusi KPK dengan Polri. Akan tetapi, lebih merupakan perang antara mereka yang menolak keras dan yang mendukung korupsi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement