REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Email: [email protected]
Jakarta menyandang predikat buruk. Sebagai ibu kota negara, Jakarta mendapat anugerah sebagai kota paling macet di dunia.
Parahnya tingkat kemacetan Jakarta melebihi seluruh kota besar di dunia lainnya. Anugerah ini didapat Jakarta dari hasil survei yang dilakukan Castrol Magnetec.
Lembaga ini menghitung waktu mobil berhenti dan berjalan per kilometer setiap tahunnya. Hasilnya, dalam setiap tahun, mobil di Jakarta rata-rata berhenti dan berjalan 33.240 kali.
Urutan kedua adalah Istanbul (Turki) dengan angka rata-rata mobil berhenti dan berjalan dalam setahun 32.622 kali. Berikutnya Mexico City (30.840 kali), Surabaya (29.880 kali), dan Saint Petersburg (Rusia, 29.040 kali).
Kita memang tak tahu persis metode survei yang dilakukan lembaga tersebut. Apakah mereka memasang alat pada beberapa mobil yang menjadi sampel secara acak selama setahun, kemudian diambil rata-ratanya? Sebaliknya, apakah mereka melakukan dengan memasang alat satu mobil yang mereka pilih dan dipantau selama satu bulan, lalu hasilnya dikalikan 12 (jumlah bulan dalam setahun). Atau, bisa jadi, ada cara lain lagi yang dipakai.
Lepas dari metodologi yang mereka pakai, hasil survei itu sungguh amat mengejutkan. Sudah pasti terkejut bukan dalam arti mengggembirakan, tetapi sebaliknya, justru memprihatinkan.
Selama ini masih banyak yang berpandangan, kemacetan Jakarta bukan yang terburuk. Masih ada kota lain yang dianggap lebih parah tingkat kemacetan lalu lintasnya.
Salah satu yang dianggap lebih buruk tingkat kemacetannya adalah Bangkok. Nyatanya, dari survei lembaga tersebut, Bangkok hanya berada di posisi kedelapan. Posisi ini jauh lebih baik dari Jakarta yang menjadi juara pertama.
Kabar buruk ini merupakan tamparan bagi warga Jakarta dan persembahan tak mengenakkan, terutama Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan jajarannya. Mereka tak bisa lepas tangan dari masalah kronis yang menghinggapi warga Jakarta sejak bertahun-tahun lalu itu.
Kita tak menutup mata atas berbagai upaya Ahok untuk membenahi Jakarta yang sangat sarat dengan masalah ini. Upayanya untuk meningkatkan pelayanan aparat, menertibkan pedagang kaki lima, dan memerangi korupsi memang layak mendapat apresiasi meski belum maksimal.
Namun hal utama yang terlihat di mata masyarakat dan akrab dengan kehidupan keseharian warga tak boleh dinomorduakan. Itu harus menjadi prioritas utama. Sudah 2,5 tahun Ahok menjabat, namun problem utama yang dihadapi masyarakat Jakarta belum juga ada perubahan mencolok.
Kemacetan lalu lintas merupakan salah satunya. Ahok dan jajarannya tentu ikut andil membuat Jakarta kian macet. Pembenahan kondisi lalu lintas sepertinya sama sekali belum terasa. Satu-satunya harapan kita tentu pembangunan MRT (mass rapid transportation) yang akan berada di bawah tanah. Namun, itu pun untuk tahap satu (rute Lebakbulus-Bundaran Hotel Indonesia) baru akan selesai pada 2018. Apalagi rencana pembangunan Jakarta monorel, yang dicanangkan kembali oleh Jokowi saat menjabat gubernur Jakarta, ternyata tak berlanjut.
Rencana kebijakan yang terkait lalu lintas juga tak berjalan mulus. Ide membatasi nomor genap-ganjil pada hari-hari tertentu, setelah ada beberpa pihak yang keberatan, tak ada kabarnya lagi. Padahal, kala itu Jokowi sudah menegaskan bahwa rencana tersebut sudah dikaji bersama kepolisian.
Keputusan menerapkan ERP (electronic road pricing)--pemberlakuan tarif bagi mobil yang melintasi jalan tertentu--juga belum banyak membantu. Kemacetan masih saja terjadi, meski kendaraan roda dua tak boleh melintasi jalur ERP.
Kebijakan ini juga sebenarnya juga tak adil dan cenderung fasis. Bagaimana tidak? Hanya mobil yang mampu membayar saja yang boleh melintasi jalan tersebut, padahal itu jalan raya biasa alias nontol.
Penerapan sistem ERP juga diskriminatif dan tak memihak masyarakat kecil. Ini lantaran motor atau kendaraan roda dua tak boleh melintasi jalur tersebut. Untuk melintas di jalan umum, semua kendaraan juga memiliki hak yang sama. Bahkan di pelbagai negara maju, tersedia jalur khusus untuk kendaraan roda dua atau sepeda.
Ada yang menyebutkan, larangan roda dua untuk melintas di jalur ERP lantaran kendaraan itu tak terpantau alat atau sistem yang ada. Anehnya, kalau itu benar, karena keterbatasan alat justru kendaraan roda dua dan masyarakat kecil yang menjadi korban.
Sembari menunggu selesainya MRT tahap I yang akan rampung tiga tahun lagi, Pemprov DKI harus mengoptimalkan sarana transportasi yang ada. Penataan dan peremajaan total atas angkutan umum yang ada saat ini mutlak dilakukan, termasuk keberadaan bus Transjakarta yang sudah banyak yang bobrok, agar menjadi nyaman.
Daya tampung serta kualitas armada juga harus ditambah secara memadai. Pembangunan MRT tak boleh jadi alasan dan mengabaikan penataan transportasi yang ada saat ini.
Itu hanya untuk urusan transportasi. Belum lagi sektor lain yang selalu menghantui warga Jakarta, yakni soal banjir, keamanan, dan pelayanan kesehatan.
Lembaga safecities.economics.com juga menempatkan Jakarta pada urutan terbawah dari sisi keamanan kota di dunia. Artinya, Jakarta dianggap sebagai kota paling tidak aman. Kalau sudah begini, apa yang bisa dibanggakan oleh warga Jakarta?
Soal layanan kesehatan, saya teringat teman saya yang menderita sakit serius dan masuk di sebuah rumah sakit di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Meski sudah masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan, teman saya itu disuruh pulang lagi karena ada prosedur yang belum terpenuhi.
Setelah pulang sehari untuk mengurus prosedur, teman saya itu lalu dirawat lagi di rumah sakit tersebut. Sayangnya, beberapa hari kemudian teman saya itu wafat. Saya tak mempersoalkan wafatnya teman saya. Akan tetapi kejadian ini memperlihatkan betapa masih buruknya pelayanan kesehatan di Jakarta untuk masyarakat kelas bawah.
Karena itu, wajar kalau kita meminta agar Pemprov DKI lebih serius memperhatikan persoalan sehari-hari warga Jakarta, yakni lalu lintas, banjir, keamanan, dan layanan kesehatan. Ini merupakan persoalan riil yang karib dengan kehidupan keseharian masyarakat ibu kota. Jakarta adalah miniatur wajah negara kita.
Jika itu juga tak mampu dipenuhi oleh gubernur dan jajarannya dalam 2,5 tahun mendatang, mungkin ada baiknya Ahok memikirkan ulang hasratnya untuk maju lagi sebagai gubernur. Mari kita kita tunggu gebrakan atau langkah Ahok selanjutnya.