REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Akbar
Janji adalah utang. Ketika janji telah terucap tapi tak terpenuhi, sekiranya masih pantaskah memberikan kepercayaan kepada pihak yang telah mengingkari janjinya tersebut? Sebuah pertanyaan sederhana yang sesungguhnya sangat sulit untuk diwujudkan. Tapi inilah persoalan paling serius yang tengah membelit anak bangsa ini.
Saat kekuasaan belum tergenggam, beribu janji manis terucap lancar. Ketika telah berkuasa lalu mengabaikan janjinya, beribu satu alasan diumbar untuk dijadikan pembenaran. Ah, anggaplah semua itu hanya bagian dari dagelan kehidupan saja. Toh, mengingkari janji itu kan hanya sebatas persoalan etika saja. Tak lebih!
Empat tahun silam, sebuah janji juga pernah terucap dari mulut ketua umum PSSI terpilih, Djohar Arifin Husin. Djohar mengumbar janjinya usai mengalahkan Agusman Effendi dalam perebutan kursi untuk menjadi orang nomor satu dalam induk organisasi sepak bola di negeri ini.
Paling tidak, ada lima program besar yang dijanjikan oleh Djohar bersama pengurusnya. Mulai dari pengaturan organisasi, pelaksanaan kompetisi yang bersih, pembenahan insfratruktur, pembinaan usia dini, dan pembenahan tim nasional. Kelimanya menjadi indikator paling nyata dan paling mudah untuk mengukur pencapaian kinerja Djohar bersama para pengurusnya.
Mengapa ukuran itu perlu dikemukakan lagi? Biarlah, mungkin dengan menuliskan ulang dalam medium semacam ini akan bisa mengingatkan kita semua, tentunya tertuju kepada Djohar dan para pengurusnya. Lalu lebih khusus lagi, ingatan ini perlu diletupkan ulang kepada para pihak yang akan mengikuti kongres memilih calon ketua umum PSSI pada 19 April mendatang di Surabaya.
Tahun ini memang akan menjadi akhir dari perjalanan kepengurusan Djohar. Tapi berdasarkan penetapan dari Komite Pemilihan PSSI yang disampaikan pada Januari lalu, telah diumumkan 11 nama yang siap maju menjadi calon ketum PSSI 2015-2019.
Sayangnya, ada kegelisihan yang menyelimuti ketika melihat daftar 11 nama calon ketum PSSI mendatang. Mereka semua ternyata hanyalah wajah-wajah lama yang telah berkecimpung dalam organisasi PSSI.
Dari deretan kubu status quo, terdapat lebih dari separuh nama yang menghiasi daftar calon ketua umum PSSI. Lainnya adalah orang-orang yang dulu pernah masuk dalam kepengurusan Nurdin Halid tapi tak lagi nangkring namanya dalam kepengurusan Djohar. Dari jejeran 'orang lama' itu ada sosok semacam Achsanul Qosasi, Subardi, dan Muhammad Zein.
Inilah kegelisahan yang sesungguhnya terjadi. Melihat komposisi semacam ini, tentunya sudah bisa terbayang seperti apa sepak bola negeri ini dalam empat tahun ke depan. Persoalan-persoalan krusial semacam pengaturan skor serta melempemnya prestasi tim nasional sebenarnya masih saja menjadi masalah klasik yang tak pernah terentaskan dalam setiap kepengurusan PSSI, baik di masa Nurdin maupun Djohar.
Sejarah telah mencatat bagaimana janji menghadirkan kompetisi yang bersih dari dua kepengurusan, Nurdin dan Djohar, seperti pepatah jauh panggang dari api. Pada masa Nurdin, pergunjingan 'penyelamatan degradasi' Pelita Jaya pada kompetisi 2009/2010 menjadi salah satu rapor merah yang tersisa.
Lalu yang teranyar, kita melihat bagaimana akhirnya FIFA harus 'menyemprit' PSSI gara-gara ulah sepak bola gajah yang dipertontonkan PSS Sleman dan PSIS Semarang pada laga delapan besar Divisi Utama tahun lalu. Sudah tuntaskah penyelesaiannya? Sungguh rumit menjawabnya meski gunjingan di selasar Senayan atau tebaran informasi di sosial media kerap terdengar pembicaraan tak sedap. Gunjingan itu menyebut sesungguhnya para aktor utama praktek pengaturan skor sepak bola negeri ini sebenarnya masih hidup tenteram seperti tak bisa tersentuh hukuman.
Begitu juga dengan harapan untuk mendorong terwujudnya klub-klub profesional. Rasanya, janji ini menjadi semacam guyonan saja. Tengoklah betapa nyamannya klub-klub yang berlaga di kompetisi di negeri ini menyusu anggarannya dari uang pajak rakyat yang terhimpun ke dalam APBD. Lantas bagaimana dengan urusan transparansinya? Ah, lupakan saja karena itu hanya membuat tensi darah meningkat.
Nah, kalau presiden Jokowi begitu lantang mengkampanyekan slogan revolusi mental buat pembenahan negeri ini, rasanya kita juga perlu menanti hadirnya revolusi bagi PSSI. Inilah sebuah jawaban mutlak jika ingin membuat sepak bola negeri ini menjadi lebih baik dan bermartabat.