REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Angga Indrawan
Twitter: @indrawan_angga
Kebisingan PSSI belum tuntas, mulai dari cacat prestasi, bebal sebagai badan publik, hingga menolak transparan. Meski bising, tapi satu purnama lagi Kongres PSSI bakal digelar. Jangan berharap pembaharuan, kalau nyatanya kandidat penerus Djohar Arifin adalah orang-orang lama. Tengoklah sebelas nama calon kandidatnya. Rasanya, Kongres PSSI yang akan digelar 18 April di Surabaya tetap berjalan sesuai rencana rezim lama.
Membuka borok PSSI begitu mudah, semudah menangkap alasan mengapa hak siar timnas U-19, yang dijadikan 'tur sirkus' kota beberapa waktu lalu, tidak dibuka kepada publik dan nyangkut di Pengadilan Negeri dalam sengketa dengan Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI).
Menulis kejelekan memang mudah, tapi memang saya tak ingin. Saya cuma mengajak masyarakat untuk jernih melihat, bahwa pemerintah ternyata belum membuat apa-apa terhadap pembenahan sepak bola, termasuk membenahi struktur dan mental pengurus PSSI di dalamnya. Entah karena takut, atau memang PSSI yang superbody.
Sedari awal saya sudah membatasi diri, tidak terlalu larut dalam harapan masyarakat, saat pemerintah melalui Kemenpora meniupkan angin segar untuk mereformasi PSSI. Sampai-sampai Menpora Imam Nahrawi membentuk Tim Sembilan, tim yang dibentuk dengan kucuran dana berbatas hingga Rp 2 miliar.
Meminjam kalimat perjuangan Mao Zedong, (1893-1976), "Revolusi bukan peristiwa yang dibuat usai jamuan makan malam". Itu yang tidak dilakukan pemerintah. Bagaimana tidak, pertemuan kedua pihak, jamuan siang di PSSI pada 28 Januari 2014 jadi buktinya.
Pascapertemuan, Gatot S Dewa Broto, anggota Tim Sembilan, namun yang saat itu dalam kapasitas mewakili Kemenpora, dengan nada tegas menyatakan bahwa pemerintah tidak akan mengintervensi PSSI. Menurutnya, pertemuan hanya sebatas menyamakan persepsi. Ke depan, pemerintah dan PSSI akan bekerja secara sinergis dengan catatan PSSI mesti transparan.
Tak heran mulai banyak orang mengernyitkan dahi. Ada yang bilang, Tim Sembilan masuk angin, takut, dan kompromis. Sebelumnya, para perindu prestasi timnas berharap, kedatangan pemerintah ke PSSI hanya untuk menyampaikan pesan masyarakat luas, "Sudahlah Djohar dan kawan-kawan, kerja anda tidak benar. Segera mundur".
Saya kurang memahami, misi besar apa yang sebenarnya diusung Tim Sembilan. Mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Sebab sejumlah pertemuan Tim Sembilan dengan sejumlah pihak dalam public hearing pun dilakukan tertutup. Katanya, sejumlah MoU telah direkomendasikan dengan sejumlah pihak saban tiap minggu rapat, mulai dari MoU dengan Keimigrasian, Kepolisian, PPATK, dan Ombudsman RI. Hingga kini, belum ada tindak lanjut bahkan gaungnya.
Menpora jangan seperti bos besar hanya menunggu laporan Tim Rp 2 miliarnya. Jangan sampai kegagalan merevolusi PSSI jadi alasan Presiden Jokowi untuk mendepaknya dari kursi menteri. Ini ancaman, baik sepak bola, bahkan bagi partai pendukung sang menteri.
Ada satu hal yang mampu menjadi kunci menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemerintah di atas semua badan publik yang membawa misi negara macam PSSI. Kongres PSSI sudah di depan mata. Pertanyaan sederhana, beranikah pemerintah memboikot gelaran tersebut? Ini bisa jadi satu bukti bahwa pemerintah punya keberanian memutus mafia PSSI yang hanya mengurus urusan perut. Tahu sama tahu, semua kandidat PSSI melulu orang-orang itu.
Keberanian ini pernah saya dengar dari Djoko Susilo, salah satu anggota Tim Sembilan. Secara pribadi, ia menilai para pengurus PSSI saat ini telah kehilangan moral. Memboikot gelaran kongres adalah solusinya. Meminjam istilahnya, memang PSSI harus diamputasi dengan segala konsekuensi. Menurutnya, lebih baik sakit satu-dua tahun, daripada terus berjalan menuju kehancuran.
Sekarang masyarakat menunggu jawaban dan sikap kolektif dari Tim Sembilan. Beranikah mereka, atau sanggupkah menpora Imam Nahrawi? Masyarakat menunggu hingga satu bulan ke depan, di saat Tim Sembilan resmi dibubarkan lantaran habis masa tugas.