REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Angga Indrawan
Twitter: @indrawan_angga
Rabu, 18 Februari 2015. Ada palu yang bukan sembarang diketuk. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengetuk palu rasanya dengan hati nurani. Palu diketuk sembari mengumumkan dari Sabang sampai Merauke, PSSI milik rakyat, PSSI milik publik, PSSI milik bangsa Indonesia.
PN Jakarta Pusat menolak permohonan PSSI atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang menyatakan organisasi pimpinan Djohar Arifin itu sebagai badan publik. Boleh jadi, PN bukan sekadar menolak permohonan. Hakim PN Jakpus yang dipimpin H Suwidja pun seolah menolak sikap bebal PSSI. Sikap bebal yang membuat PSSI terus menyembunyikan sejumlah pengelolaan anggaran selama banyak kurun waktu.
Atas penolakan itu, artinya PSSI pun wajib, harus, membuka semua perolehan anggaran, termasuk, yang selama ini dikeruk dari eksploitasi tim nasional U-19 yang dijadikan mesin pencari sponsor dan hak siar (yang uangnya entah ke mana juntrungannya). Boleh diingat, bagaimana Evan Dimas dan kawan-kawan bak rombongan sirkus, dibawa ke puluhan kota, hingga habis keringat dan jadi pecundang di Piala Asia.
Almarhum Pramoedya Ananta Toer berpetuah, 'selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia'. Dalam kasus ini, kita sepakat PSSI tengah dibencana-kan, tetapi karena ulah perilaku bobrok para pengurusnya. Pertanyaannya, bisakah PSSI melawan bencana yang dibuatnya sendiri?
Bagaimana bukan bencana, setelah kehilangan kepercayaan publik pascamelorotnya timnas, gonta-ganti pelatih nihil hasil, tudingan konspirasi di kongres PSSI, dan sekarang tengah ramai soal tidak direkomendasikannya gelaran Liga Super Indonesia (ISL) oleh Menpora melalui Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI). Sudahlah tepat, PSSI kini dikepung bencana dari semua penjuru.
Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI) telah mengajarkan masyarakat untuk berani membuka kezaliman, bersuara dalam gelap ketidak adilan. Ya, FDSI-lah yang konsisten menyuarakan bahwa PSSI bukan lembaga privat yang berlindung di selip ketiak FIFA.
FDSI yang pertama kali membuka kasus anomali eksploitasi timnas U-19 ke KIP sejak Februari 2014. FDSI juga, yang membuka mata masyarakat, uang miliaran dari hak siar laga timnas U-19 tidak terciprat untuk prestasi di lapangan hijau.
Persoalannya sekarang, maukah masyarakat secara luas mengawal kemenangan yang sudah di depan mata, kemenangan akan organisasi sepak bola yang sehat? Saya belum tahu betul ke mana lagi PSSI bersembunyi dari desakan masyarakat untuk transparan. Dalam kasus putusan PN Jakpus, ada celah PSSI untuk kembali mengajukan kebebalannya melalui kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Astaghfirullah, jika memang langkah itu akhirnya dilakukan PSSI, saya tak lagi bisa berpikir. Nurani dan moral PSSI mungkin sudah menjadi abu, bukan lagi hancur yang kita masih berharap tersisa kepingannya. PSSI, selamatkan diri kalian dari bencana yang lebih besar. Sepak bola milik rakyat Indonesia. Saya tak jauh menuding PSSI memakan uang negara, tetapi, PSSI menggunakan alat negara (timnas) untuk kepentingan pihak yang tak diungkap.