Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Senior Republika
Sangat boleh jadi, selama tiga hari pada pekan lalu merupakan hari penelantaran penumpang terbesar dalam sejarah penerbangan di Indonesia. Pada hari Rabu hingga Jumat itu, ribuan penumpang pesawat Lion Air terpaksa menunggu sampai puluhan jam di berbagai bandara.
Jumlah terbanyak tentu saja di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Mereka bahkan sempat memblokir area bandara terbesar di tanah air tersebut sehingga sempat mengganggu penumpang dan jadwal penerbangan maskapai lain.
Tak terhitung penumpang yang menginap di bandara. Malahan, ada pula yang sudah dua hari tidur di bandara. Lantaran keterlambatan luar biasa maskapai milik politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rusdi Kirana itu, 214 rute penerbangan lain juga terganggu. Mereka yang terganggu jadwalnya ini tersebar dari dan menuju 25 bandara domestik.
Umpatan, kemarahan, dan kecaman penumpang serta pengamat tak hanya tertuju pada manajemen Lion Air tetapi juga pengelola bandara (PT Angkasa Pura I dan II). Jajaran Kementerian Perhubungan tentu saja tak luput dari sasaran kecaman dan kemarahan massa.
Banyak khalayak yang menunggu tindakan sigap dari Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, atas kasus keterlambatan massal pesawat Lion Air itu, sebagaimana ditunjukkan selama ini. Saat menjabat sebagai dirut PT Kereta Api Indonesia, Jonan terlihat begitu gesit. Seolah tanpa rasa lelah, dia dikabarkan siang-malam membereskan PT KAI hingga sampai tertidur di tempat duduk KA.
Masih lekat pula dalam ingatan masyarakat, bagaimana Jonan langsung beraksi saat musibah hilangnya pesawat AirAsia --yang terbang dari Surabaya menuju Singapura-- beberapa waktu lalu. Di tengah upaya penyelidikan musabab kecelakaan Airasia, Kemenhub langsung menyatakan bahwa maskapai ini melanggar prosedur perizinan.
Banyak orang yang menuding balik, bahwa pihak yang paling bersalah dalam penerbitan izin terbang (ilegal) ini tentulah pejabat Kemenhub, bukan pihak lain. Mereka berdalih, rasanya tak mungkin otoritas bandara Singapura memberi izin mendarat bagi AirAsia.
Beberapa pekan kemudian, Kemenhub mengumumkan adanya puluhan rute penerbangan ilegal yang dimiliki oleh banyak maskapai, termasuk AirAsia, Lion Air, dan Susi Air (milik Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti).
Ketergesa-gesaan Jonan dan jajarannya dengan menyebut izin terbang ilegal AirAsia rute Surabaya-Singapura itu dianggap tak memiliki sensitivitas atau rasa empati. Di tengah suasana duka warga yang kehilangan anggota keluarganya, mestinya Jonan memperlihatkan simpati lebih dulu pada mereka dan bukan malah terkesan mencari-cari perkara.
Banyak anggota keluarga yang ketika itu kian waswas karena khawatir soal urusan asuransi bakal terganjal, jika benar rute itu ilegal. Untunglah, masalah asuransi tersebut sejauh ini dapat tertangani dengan tanpa gejolak.
Belum hilang keterkejutan khalayak, Kemenhub membuat berita menggemparkan lagi. Mereka membuat siaran pers yang isinya menyebutkan bahwa pilot AirAsia ada yang terbukti memakai narkoba jenis heroin.
Seorang petinggi maskapai penerbangan tertawa saat membaca berita itu. Dia memastikan bahwa pilot itu pasti sedang dalam perawatan dokter. Pasalnya, di era sekarang ini amat sulit mendapatkan heroin di Indonesia. Kalau pilot itu terindikasi menggunakan sabu atau ganja, sangat mungkin dia memang pemakai narkoba.
Hal ini akhirnya memang terbukti. Ternyata sang pilot itu memang masih dalam perawatan usai menderita tifus. Kemenhub pun akhirnya mengakui kekeliruannya akibat terlalu bersemangat dan tergesa-gesa membuat berita tentang pilot yang mengonsumsi narkoba.
Kesigapan Jonan itu ternyata tak terlihat saat kasus keterlambatan massal pesawat Lion Air. Setelah masyarakat berteriak keras, barulah Jonan bersikap. Itu pun banyak pihak yang menilai, sikap dan keputusan Kemenhub atas Lion Air amatlah lunak.
Kemenhub beranggapan, Lion Air tak melakukan pelanggaran besar. Bayangkan, tiga hari menelantarkan ribuan penumpang dan mengganggu 214 rute penerbangan lain (dari dan menuju 25 bandara) hanya dianggap sebagai pelanggaran kecil.
Lion Air hanya dikenakan pembekuan beberapa rute penerbangan dan penangguhan rencana menambah jalur terbang. Rute yang dibekukan itu pun kebanyakan memang tak dilayani oleh Lion Air.
Misalnya, rute Lion Air dari Jakarta ke Batam dalam sehari ada lima kali penerbangan. Dari rute tersebut, hanya empat kali yang dilayani oleh Lion Air. Karena itu, satu rute lainnya dibekukan oleh Kemenhub dan tak boleh dilayani lagi.
Perlakuan Kemenhub atas Lion Air sungguh mengundang tanya. Sampai-sampai mantan sekretaris menteri BUMN, M Said Didu, heran dengan sikap lunak Jonan atas Lion Air yang seolah menyimpan ketakutan.
Belum lagi sikap murah dan baik hati PT Angkasa Pura II yang menalangi pengembalian uang tiket para penumpang Lion Air. Bisa jadi baru kali ini ada BUMN yang menalangi keuangan perusahaan swasta langsung hari itu juga, tanpa ada prosedur berbelit.
Sungguh tak masuk akal kalau Lion Air menyatakan tak memiliki dana untuk mengembalikan tiket yang nilainya tak sampai Rp 1 miliar itu. Anehnya justru Rini Soemarno mendukung sikap PT AP II yang berbaik hati membantu Lion Air.
Sulit sekali menemukan alasan rasional di balik sikap baik hati pemerintah atas Lion Air dalam masalah ini. Satu-satunya jawaban adalah keberadaaan Rusdi Kirana, pemilik Lion Air, yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Posisi Rusdi itu bisa jadi membuat banyak kalangan jadi ewuh pakewuh alias segan. Mungkin itu pulalah yang membuat Jonan mati angin dalam menghadapi Lion Air.