Oleh: Muhammad Akbar
Wartawan Bola Republika
Suara bergemuruh terdengar di Stadion Gelora Bung Karno. Stadion ini bagaikan lautan massa yang telah dihiasi oleh nyanyian, teriakan, sambil sesekali terlihat gerakan tangan manusia yang membentuk seperti gelombang berjalan. Lalu terdengarlah ribuan orang memekik, ''Indonesia...Indonesia...Indonesia!''
Di layar kaca televisi di dalam stadion, terlihat kibaran sang saka merah putih yang dipajangkan bersama 31 bendera dari negara-negara peserta yang berlaga di Piala Dunia. Rasa bangga menjalar seiring suara gemuruh yang ada di stadion termegah negeri ini.
Air mata mengucur, tentu bukan karena sedih. Inilah air mata bahagia. Sebuah kebahagiaan yang mungkin sepadan ketika membayangkan bagaimana para pendiri bangsa ini terharu saat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Sesungguhnya, inilah eforia kepada tim nasional Indonesia. Tentu, kebanggaan ini tak hanya menjadi milik saya dan ribuan orang lain yang berada di dalam stadion Gelora Bung Karno. Nun sampai ke pelosok kampung, suasana yang sama juga terlihat. Inilah kali pertama saya melihat semua penduduk negeri merasa satu dan bangga. Sepak bola, olahraga yang paling digemari di negeri ini, telah menjadi pemersatu anak bangsa.
Tapi sontak, suasana itu sekejap saja berubah. Ah, rupanya hanya bunga mimpi yang sekelebat hadir kala sejenak melepas lelah di siang hari. Saya percaya, mimpi semacam itu pasti tertanam juga di alam bawah sadar diantara 240 juta lebih anak manusia di negeri ini.
Kapan impian itu terwujud? Entahlah, bisa 10 tahun, 100 tahun atau bahkan harus menunggu 1.000 tahun lamanya. Tapi sebagaimana lantunan Christina Perri dalam lagunya A Thousand Years, biarlah mimpi itu terus tertanam dengan kecintaan yang tak akan pernah luntur tertelan waktu.
****
Tentunya, tak akan ada yang bisa melarang setiap orang untuk bermimpi. Sebagaimana Frank Winfield Woolworth, pebisnis asal Amerika Serikat, yang pernah berkata,''Mimpi tak pernah menyakitkan siapa pun jika Anda terus bekerja di balik mimpi-mimpi itu....''
Woolworth menekankan betapa pentingnya kerja demi mewujudkan impian. Lantas sudahkah kita bekerja untuk mewujudkan mimpi besar menyaksikan timnas Indonesia tampil di Piala Dunia? Jujur saja, jika melihat polemik yang terjadi sekarang antara pengurus PSSI dan pemerintah -- dalam hal ini diwakilkan lewat Kementerian Pemuda dan Olahraga, rasanya semua itu masih jauh dari kerja keras untuk menata mewujudkan mimpi besar.
Kedua pihak seperti masuk ke dalam labirin tak berujung. Sikap saling menuding disertai aksi saling manuver justru membuat kondisi sepakbola di negeri ini kian runyam. Contoh paling nyata adalah mundurnya jadwal kickoff kompetisi Liga Super Indonesia (ISL) 2015. Siapa yang benar dan siapa yang keliru, biarlah waktu saja yang bakal memberikan jawaban. Toh saya yakin, tak ada kebenaran yang absolut, kecuali hanya kepentingan yang absolut saja yang bakal merekatkan para elite itu.
Di saat yang sama juga, sudah sepatutnya kita mendesak pemilik otoritas sepak bola negeri ini untuk segera berbenah diri merumuskan pola pembinaan membentuk timnas yang kuat, bukan timnas yang ditumpangi kepentingan kelompok. Merunut data peringkat FIFA, Indonesia saat ini berada di peringkat ke-158. Sementara dalam 20 tahun terakhir, peringkat terbaik Indonesia hanya mampu menembus peringkat 87 yang pernah diukir pada pada 1998 dan 2001.
Inilah target kerja yang harus diwujudkan dalam jangka pendek. Paling tidak bagaimana memperbaiki peringkat FIFA sebelum bermimpi besar tampil ke Piala Dunia. Sudah sepatutnya para pihak yang masih doyan berseteru itu mengenyampingkan ego dan kepentingan kelompoknya.
Sudahlah, kami sudah sangat muak melihat perilaku elite politik yang sekarang ini saling menelanjangi dan memenjara. Jangan lagi perseteruan elite politik itu diseret-seret ke dalam urusan sepak bola. Biarlah urusan politik yang kotor menjadi buah bibir di warung kopi. Jika kepentingan kelompok dan politik masih kental dalam mengurusi sepakbola negeri ini, rasanya jangan pernah lagi berani untuk bermimpi menyaksikan Indonesia bisa tampil ke Piala Dunia.
Dan sebelum menutup tulisan ini, saya sempat menemukan sebuah tulisan Jusuf Kalla tentang sepakbola. Tulisan dalam blog itu tersaji setahun sebelum dirinya kembali terpilih sebagai wakil presiden. Dalam penutup tulisannya, JK menulis,''(Mengurus sepakbola itu) bukan mencari kehormatan, tetapi memberi kehormatan untuk bangsa!''
So, sekaranglah waktunya Pak JK untuk segera menuntaskan isi tulisan yang telah Anda buat itu. Singkirkanlah benalu dari sepakbola di negeri ini. Saya yakin, dengan membuang benalu tadi maka mimpi-mimpi besar itu akan terus menggelinding hingga seorang kawan menepuk pundak saya kembali,''Woi...bangun!''