Oleh: M. Akbar
Redaktur Bola Republika
Adakah yang salah jika seorang legenda sepak bola dunia sekelas Roger Milla memandang sebelah mata sepak bola Indonesia? Roger, pemain yang pernah tiga kali tampil di Piala Dunia bersama tim nasional (timnas) Kamerun dan pernah merumput di Liga Indonesia bersama Pelita Jaya dan Putra Samarinda, secara lugas menunjukkan sinismenya kepada kualitas sepak bola di negeri ini.
Roger mengkritik pengurus sepak bola di negaranya karena menjadikan Indonesia dan Thailand sebagai lawan uji coba bagi timnas Kamerun. Ya, Roger merespons adanya rencana ujicoba timnas Kamerun dengan Indonesia di Stadion Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, pada 25 Maret mendatang.
“Menghadapi Indonesia dan Thailand itu hanya akan merendahkan Kamerun,” begitulah Roger memertanyakan kebijakan pengurus sepak bola di negaranya dalam memilih lawan.
Jika emosi yang dikedepankan, tentunya sebagai anak bangsa sudah sewajarnya merasa gusar. Kita boleh saja menganggap Roger telah menghina, merendahkan bahkan mengabaikan kualitas sepak bola Asia Tenggara -- khususnya Indonesia dan Thailand.
Tapi jika ingin refleksi diri, apa yang disampaikan Roger itu sepertinya tak ada yang keliru. Bisa dipahami jika Kamerun memang harus turun level. Merujuk data peringkat timnas yang dirilis FIFA pada 2015, Kamerun sekarang ini menempati peringkat 49. Sementara Indonesia tercecer di peringkat 156.
Bagi Kamerun, peringkat yang dirilis FIFA tahun ini menunjukkan penurunan tujuh peringkat dari tahun sebelumnya. Padahal, dalam satu dekade ke belakang, Kamerun menjadi salah satu timnas yang disegani.
Bahkan skuat berjuluk Lions Indomitables ini tercatat juga sebagai negara Afrika pertama yang mampu menembus perempat final Piala Dunia. Lalu prestasi lainnya, Kamerun juga sudah empat kali mengangkat trofi Piala Afrika dan sekali merebut medali emas Olimpiade 2000.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sungguh malu rasanya jika harus dikomparasi dengan pencapaian Kamerun. Prestasi terbaik timnas Indonesia, sepertinya hanya menjadi penggembira saja di level kualifikasi Piala Dunia. Meminjam istilah yang lagi happening di dunia maya; di situ kadang saya merasa sedih!
Rasa malu yang lain, tak hanya pada urusan prestasi. Indonesia, dalam hal ini PSSI, justru lebih dipermalukan oleh Kamerun. Mengapa? Eksistensi PSSI ternyata jauh lebih senior dibandingkan Fecafoot, induk organisasi sepak bola Kamerun.
Pada 19 April mendatang, PSSI akan genap berusia 85 tahun. Sedangkan usia Fecafoot ini terpaut 29 tahun lebih muda dibandingkan PSSI. Begitu juga dengan pengakuan PSSI sebagai anggota FIFA yang telah diperoleh pada 1952. Kamerun baru resmi terdaftar sebagai anggota FIFA selang 12 tahun setelah PSSI. Sekali lagi, di situ kadang saya merasa sedih!
Rasa malu semakin membesar lagi jika membandingkan Indonesia dengan Kamerun dalam urusan populasi penduduk. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 249,9 juta jiwa. Populasi itu setara dengan 11 kali lebih banyak dari populasi Kamerun di tahun yang sama, yakni 22.25 juta jiwa. Dan untuk kesekian kalinya, di situ kadang saya merasa sedih!
Jadi cukup jelas kiranya untuk memahami kegusaran Roger dalam memilih Indonesia sebagai lawan ujicoba Kamerun. Tapi biarlah lelaki 62 tahun itu gundah. Toh, sesungguhnya Indonesia lebih mendapat keuntungan. Inilah kesempatan bagi para pemain timnas meng-up grade kemampuan menghadapi lawan tangguh dalam pertandingan yang tercatat resmi di FIFA ini.
Tapi perlu dipertegas juga, jangan sampai Kamerun hanya datang dengan membawa 'pasukan abal-abal'. Jika 'pasukan abal-abal' atau pemain bintang Kamerun hanya tampil separuh hati, rasanya tak akan ada manfaat yang bisa diraih oleh timnas Indonesia.
Lalu yang tak kalah penting, laga ujicoba ini akan semakin bermanfaat jika tak menjadi pertemuan 11 pemain di atas lapangan hijau saja. Lebih jauh, Indonesia hendaknya dapat belajar. Diantaranya bagaimana mengatasi konflik kepentingan antara Fecafoot dan pemerintah dalam urusan sepak bola.
Belajarlah pada Kamerun bagaimana juga negara asal Afrika itu mampu melahirkan pemain-pemain berkualitas dunia serta membentuk timnas yang tangguh.
Selama ini, Indonesia -- PSSI bersama Kementerian Pemuda dan Olahraga -- seperti masih larut dalam banyak polemik dan impian. Bahkan yang terbaru adanya target menampilkan timnas Indonesia ke Piala Dunia 2046 sebagai momentum merayakan seabad Indonesia merdeka.
Sayangnya, semua impian itu masih saja terkendala menemukan bibit-bibit terbaik. Rintangan negara kepulauan seakan menjadi faktor penghambat untuk bisa menemukan talenta-talenta sepak bola terbaik dari ujung Sabang hingga ke pelosok Merauke.
PSSI sebagai pemilik otoritas penuh untuk mengurus sepak bola negeri ini, terkesan masih belum maksimal menggenjot pembinaan di usia dini. Tentunya konsep yang dikembangkan tak hanya mengirimkan para talenta muda itu keluar negeri seperti halnya program PSSI Primavera, Baretti hingga yang terbaru SAD Indonesia di Uruguay.
Lebih penting adalah bagaimana menciptakan jenjang kompetisi bertingkat berdasarkan kelompok umur. Semua itu tentunya harus dikelola secara serius, jelas dan terarah. Tapi sungguh disayangkan, inilah salah satu masalah utama sepak bola di Indonesia. Pengelolaan kompetisi sepertinya masih saja direcoki oleh beragam masalah.
Tengoklah, bagaimana kompetisi tertinggi Indonesia Super League (ISL) harus berulang kali diundur jadwal kick-off. Belum lagi aroma busuk semacam skandal sepak bola gajah yang pernah dipertontonkan PSS Sleman dan PSIS Semarang di kompetisi Divisi Utama setahun lalu. Semua masalah itu, saya yakini akan dapat memengaruhi terlahirnya pemain-pemain berkualitas.
Dan terakhir, marilah kita instropeksi menyikapi sinisme Roger Milla. Silahkan bermimpi yang tinggi untuk membawa timnas Indonesia tampil ke Piala Dunia. Tetapi ingatlah, jika berani bermimpi maka harus berani juga untuk berkorban mewujudkan mimpi tersebut