Selasa 31 Mar 2015 05:50 WIB

Siasat Dapur Ibu Rumah Tangga Vs Pertumbuhan Ekonomi

 Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).
Foto: Prayogi/Republika
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih

Harga BBM naik lagi. Rapat bulanan antara pemerintah, dan Pertamina Jumat (27/3) memutuskan harga BBM naik Rp 500 per 28 Maret mulai pukul 00. Untuk Jawa, Madura dan Bali, harga premium naik dari Rp 6900 menjadi Rp 7300. Sedangkan untuk solar naik dari Rp 6.400 menjadi Rp 6.900.

Sementara untuk wilayah luar Jawa, Madura dan Bali, harga premium naik dari Rp 6,800 menjadi Rp 7.300. Harga solar sama dengan area Jawa yakni Rp 6.900.

Menurut kementrian ESDM, kenaikan harga jual ini tak lepas dari meningkatnya rata-rata harga minyak dunia serta melemahnya nilai tukar rupiah selama sebulan terakhir.

Sebelumnya, langkah pemerintah mengurangi subsidi energi dari Rp 276 triliun menjadi hanya Rp 81 triliun pada Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 mendapat sambutan positif dari kalangan pengusaha dan ekonom. Mereka berpendapat, dana subsidi itu bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Banyak pihak yang optimistis realokasi subsidi ini juga akan meningkatkan peringkat utang Indonesia. Dari tiga lembaga pemeringkat dunia, tersisa Standard and Poor yang belum memberikan investment grade kepada Indonesia. Jika peringkat utang ini naik, diyakini investasi akan masuk sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dari sisi ekonomi makro, Bank Indonesia yakin skema penentuan harga BBM ini akan lebih mampu mengendalikan inflasi. Sebab, kenaikan atau penurunan akan berlangsung secara bertahap.

Selalu ada dua sisi dari kebijakan pemerintah. Bisa jadi secara hitung-hitungan makro inflasi terkendali. Katakanlah Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Januari dan Februari merilis deflasi sebesar 0,24 dan 0,36 karena sempat adanya penurunan BBM.

Sayangnya, kehidupan nyata tidak selalu sama dengan apa yang tergambar pada data yang dirilis BPS. Ketika BPS menyatakan bulan Januari dan Februari, toh pada kenyataannya harga tarif angkutan tetap tidak kembali ke level semula sebelum kenaikan harga BBM pada November lalu.

Harga yang sudah naik akan sulit untuk turun. Pedagang ketoprak di warung dan pedagang di pasar tidak otomatis menurunkan kembali harga jualnya meski BBM sempat turun.

Bisa jadi, secara makro ekonomi Indonesia kini lebih sehat dan demikian pula prediksi untuk jangka panjang. Tapi, jangan lupa, ada perut-perut yang mendesak untuk segera dikenyangkan. Masalahnya, tidak semua orang cukup beruntung bisa mendapatkan penghasilan tambahan ketika semua harga di pasar merangkak naik.

Bukankah kini semakin banyak orang yang tega membunuh karena perutnya lapar? Ketimpangan ekonomi inilah masalah paling krusial di Indonesia saat ini.

Masyarakatpun kini mulai was-was jikalau kenaikan harga BBM ini berdampak pada kenaikan listrik atau elpiji. Apalagi, kini pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan distribusi elpiji bersubsidi secara tertutup.

Mekanisme yang sedang diuji coba ini memungkinkan pemerintah untuk memberikan subsidi langsung kepada masyarakat tak mampu. Sementara harga jual elpiji 3 kg akan disesuaikan dengan harga keekonomian, seperti elpiji 12 kg. Jika hal ini jadi dilaksanakan, maka pengguna gas melon akan merasakan kenaikan harga yang biasanya hanya Rp 18 ribu menjadi Rp 45 ribu.

Ibu-ibu akan makin menjerit. Untungnya, mereka pandai bersiasat. Menu ayam yang semula dua kali sepekan, diganti menjadi satu kali sepekan.

Bisa jadi, pertumbuhan ekonomi tak hanya ditentukan oleh indikator makro, tapi juga oleh menu makanan yang disajikan ibu kami di rumah. Jangan sampai karena BBM naik, gas naik, listrik naik sementara penghasilan tidak naik membuat ibu men-down grade menu di rumah. Down-grade menu ini tentu bukan indikator pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement