Oleh: Muhammad Subarkah
Wartawan Senior Republika
Sampai awal abad abad 20 Batavia bisa disebut kota gundik. Ini karena fakta sejarah 'kadung' menyatakan dulu di masa kolonial hampir separuh penduduk kota ini keturunan gundik dan budak. JP Coen saat menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (pada tahun 1619) adalah penguasa pertama yang melegalkannya.
Tak hanya melegalkan perbudakan, Coen mendatangkan perempuan dari berbagai daerah, misalnya mengangkut perempuan asal Bali dan Sunda. Nyai Dasima salah satu contoh dari sekian banyak fakta betapa kuatnya eksistensi Gundik di kota pusat pemerintahan ini. Sedangkan salah satu anak gundik yang terkenal di antaranya Untung Surapati.
Alhasil, mulai saat itu tak ada pejabat Belanda yang tak punya gundik dan budak. Khusus untuk praktik pergundikan, sebaran pendudukanya semakin meluas karena orang Eropa yang datang ke Hindia Belanda tetap tanpa disertai istri atau 'perempuan bule' Eropa. Jadi praktik pergundikan ini berlangsung sangat lama di Batavia, mencapai ratusan tahun, atau seumur penjajahan Belanda di Indonesia.
Bahkan tak tanggung-tanggung, pernah suatu waktu perempuan dari panti asuhan di Belanda di-'ekspor' ke Batavia untuk mengisi kekosongan perempuan Eropa di Batavia. Namun sayang mereka banyak yang meninggal karena tak tahan 'cuaca panas' serta akibat sanitasi kota Batavia yang buruk.
Celakanya lagi, meski jasanya sangat dibutuhkan posisi perempuan ini, martabatnya selalu direndahkan. ‘Toean Belanda’ tak memandang para perempuan ini layaknya manusia (terutama kepada para gundik pribumi). Mereka dipanggil dengan sebutan baru layaknya perabot rumah tangga, seperti si meja, si kursi, si lemari atau menyebut dengan nama ‘si jalma’. Kerap kali perilaku gundik membuat resah petinggi negara. Ini karena mereka suka pesta dan pamer kekayaan.
Nah, bila kini Gubernur Ahok ingin melegalkan kawasan prostitusi, maka ini hanya mengulang sejarah saja. Akui sajalah apa isinya apartemen, hotel, kondomonium, dan rumah susun yang kini berdiri megah di seantero kota itu. Dari kelas elit atau hotel kelas super mewah (diamond) atau hingga kawasan ‘gubuk bongkaran’ terselip praktik cabul ini. Jasa suami dan isteri simpanan menjadi ‘komoditi’ yang biasa.
Lihat pula apa yang terselip dikeriuhan lobi hotel atau kawasan pinggiran jalan. Jasa prostitusi baik lawan jenis maupun sejenis, gampang ditemukan. Harganya murah untuk sekali kencan, bisa pesan lelaki muda atau perempuan muda. ''Ini Mas baru 16 tahun. Bisa cek. Gak puas uang kembali,'' kata seorang mami yang berkeliaran di kawasan pusat perbelanjaan elit di kawasan Thamrin-Sudirman.
Apakah praktik dilakukan dengan terpaksa? Banyak fakta mengatakan: ''Tidak juga!'' Ada orang tua yang mengantarkan anaknya bekerja di tempat yang dimahfumi sebagai tempat 'gituan' dengan tanpa rasa 'risih bin mal'u. Juga banyak pula suami yang rela mengantarkan dan menjemput isterinya yang sibuk bekerja 'part timer sekaligus borongan' di sebuah tempat esek-esek? Dan banyak lelaki yang bangga jadi pria piaraan atau teman kencan sesame jenis..?
Jadi kalau Ahok berhasil mendirikan tempat prostitusi baru ya wajar saja karena memang ada presedennya. Bila dulu sudah ada korban seperti Nyai Dasima yang dibunuh centeng dan mayatnya ditemukan 'nyangsang' di kolong jembatan Sungai Ciliwung dekat gedung Volksraad (Gedung Pancasila), maka bukankah kini hal luar biasa kalau Deudeuh bernasib sama: tewas mengenaskan di kamar kos-kosan di Tebet...?
Dan bukankah pula (hampir semua orang sudah tahu), bahwa hanya berjarak sekian ratus meter dari kawasan Istana Negara, ada kawasan yang menyediakan jasa 'esek-esek' yang berasal dari dari berbagai bangsa seperti Cina, Maroko, Uzbekistan, dan lainnya?
Jadi bila orang Perancis bilang: 'sejarah itu selalu berulang' maka ini benar adanya. Jangan-jangan riuh ‘pergundikan’ ini sudah takdir dari kota Jakarta...! Untuk itu bila Gubernur Ahok nekad membuat lokalisasi prostitusi baru maka juga janganlah terlalu heran, malu, atau bingung.
Namun harapannya sebelum Ahok memutuskan untuk memberi izin pendirian lokalisasi prostitusi baru itu, berpikirlah barang sejenak. Coba ingatlah pada nasib tragis Gubernur Jendral J.P Coen. Sang perintis legalisasi pergundikan di Hindia Belanda ini mati mendadak akibat terkena wabah kolera.
Peristiwa itu terjadi setelah kali Ciliwung dibendung dan dicemari kotoran manusia oleh bala tentara Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam Yogyakarta ketika melakukan penyerbuan dan pengepungan kota Batavia pada September 1629.
'Sapa suru datang
sapa suru datang Jakarta
sendiri saja, sendiri saja
oela sayaaaaang....’