Selasa 19 May 2015 22:43 WIB

Cincin, Keindahan, dan Energi Positif

Pengunjung melihat batu akik dan batu mulia yang dipamerkan di Kementerian Perindustrian. Jakarta, Kamis (23/4).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pengunjung melihat batu akik dan batu mulia yang dipamerkan di Kementerian Perindustrian. Jakarta, Kamis (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nashih Nashrullah

 

 “Allah itu indah dan mencintai keindahan”.

(HR Muslim)

Tak semua tradisi yang pernah populer di masyarakat pada masa sebelum kedatangan Islam, tertolak begitu saja, sesaat setelah Risalah Muhammad SAW turun. Bahkan tak sedikit yang masih bertahan dan dipergunakan oleh Rasulullah. Hanya saja, Islam meletakkan ketentuan dan garis tegas dalam pelaksanaan tradisi itu, tanpa menafikan nilai dan estitika di baliknya. Ada banyak contohnya, termasuk menyangkut urusan sederhana sekalipun seperti penggunaan cincin sebagai hiasan.

Masyarakat pra-Islam, baik yang berada di Jazirah Arab, atau di luar Arab, mengenal cincin tidak sekadar sebagai hiasan semata. Cincin merupakan simbol kejayaan, status sosial, dan simbol dari keangkuhan. Kuatnya kepercayaan bahwa ada kekuatan mahadahsyat di balik suatu benda pada masa lalu, pada kenyataannya juga ikut berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat masa lalu menyangkut cincin.

Jika melihat sejarah dan membacanya dengan bingkai antropologi, tentu tak mengherankan mengapa keyakinan bahwa sebuah cincin memiliki kekuatan magis dan supranatural itu berkembang hingga saat ini. Tradisi cincin disebut-sebut muncul dan populer pertama kali di Mesir yang terkenal kuat dengan dunia mistik dan supranaturalnya!

Inilah mengapa Nabi Musa AS dibekali dengan mukjizat tongkat yang bisa menjelma menjadi ular sekaligus bisa membelah laut (tentu atas seizin-Nya), sedangkan Nabi Yusuf AS, diperkuat dengan mukjizat takwil mimpi, kemampuannya mengungguli para penakwil mimpi pada masanya.   

Jenis Cincin meterai diketahui pertama kali digunakan oleh masyarakat Mesir kuno antara kurun waktu 3100-332 sebelum Masehi. Peradaban Mesir kuno telah mengenal eksplorasi mineral dan logam untuk perhiasan. Beberapa jenis mineral yang biasa digunakan untuk membuat perhiasan antara lain cornelian, amethyst, onyx, jasper, dan kristal kuarsa. Batu-batu itu diyakini memiliki nilai spiritual dan khasiat.       

Semula Rasulullah SAW memang enggan mengenakan cincin. Apalagi yang berbalut emas, jelas sangat dihindari. Pemakaian emas oleh kaum pria, dalam pandangan Islam, tidak diperbolehkan sebab dianggap menyerupai perempuan.

Atas permintaan para sahabat, seperti yang dinukilkan dari riwayat hadis riwayat Bukhari dan Muslim, akhirnya Rasul mulai berkenan mengenakan cincin yang berbahan perak. Sebab, tradisi para pemimpin negara ketika itu mereka memakai cincin, selain bentuk status sosial juga berfungsi sebagai stempel. Mulai saat itulah, Rasul gemar memakai cincin.

Berbagai upaya dilakukan untuk menguak rahasia dan hikmah di balik kegemaran Rasul itu. Salah satunya seperti yang tertuang dalam Fatawa Ibn Hajar al-Haytami al-Kubra. Buku ini mengutip beberapa dalil dari hadis dengan beragam derajat kesahihannya, yang berbicara perihal manfaat sunah pemakaian cincin seperti yang dicontohkan Rasul.

Al-Haitami menjelaskan misalnya, dalam titik tertentu penggunaan cincin itu bisa memicu keberkahan hidup dan menjauhkan diri dari kefakiran. Bukan karena batu cincin itu mampu mendatangkan nikmat atau //bala’//, sama sekali bukan. Melainkan nilai estitika dan keindahan yang tersimpan menyimpan energi positif yang berpengaruh membangkitkan semangat dan gairah pemakaianya. 

Barangkali energi positif di balik keindahan yang diciptakan oleh yang Mahaindah itulah, yang menjadikan batu yaqut warna kuning, begitu istimewa. Meski dalil hadisnya lemah, batu itu disebut-sebut bisa mencegah pemakainya dari penyakit sampar. Dengan demikian, tak heran bila Rasul menyukai batu cincin dari Afrika dan Yaman, karena keelokannya.   

Apapun bentuk cincin yang dikenakan, selama memenuhi ketentuan syari’inya, pada dasarnya akan memancarkan energi dari keindahan yang dipancarkan. Energi tersebut tentu tidaklah muncul dengan sendirinya. Energi datang dari Sang Mahapencipta keindahan.

Keindahan itu hanya akan menguap begitu saja, bila terkotori dengan keangkuhan, kesombongan, dan ambisi duniawi dari sebuah cincin. Sebab Allah itu Indah dan mencintai keindahan. Karena Dia pula lah sejatinya pemilik dari segala keindahan yang ada di muka bumi.  

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement