REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Fakhruddin/wartawan Republika
Kabut masih menyelimuti pandangan meskipun matahari sudah beranjak tinggi. Suhu pagi itu tercatat sekitar 7 derajat Celcius. Brian memacu busnya menyusuri jalan menanjak dengan perlahan, lalu berhenti di depan hamparan bukit yang terdapat kawanan domba dan sapi di Buckland Road, Hinuera, Matamata, Selandia Baru.
Di antara perbukitan yang bertabur rumput hijau itu terdapat lokasi tersembunyi yang terhalang oleh bukit lainnya. Hanya satu papan petunjuk yang mengarah ke jalan setapak seperti lorong labirin itu.
Papan tersebut bertuliskan “Welcome to Hobbiton”. Ucapan selamat datang di Hobbiton menyambut wisatawan ke lokasi agrowisata yang pernah menjadi latar tempat dalam film the Lord of the Rings dan the Hobbit Trilogy.
Sejurus pandangan langsung mengarah ke rumah kecil yang unik dengan pintu bundar berwarna mencolok dan kontras dengan rumput hijau yang berada di atas atapnya. Di perkampungan the Shire dalam film the Lord of the Rings itu berjejer lubang-lubang yang menjadi rumah para Hobbit.
Pemandangan eksotik yang disajikan sebagai latar film the Lord of the Rings atau the Hobbit itu membuat terkesima wisatawan yang datang. Hal itu diluapkan dengan mengambil foto atau ber-selfie ria di depan rumah Hobbit. Pengunjung terhanyut dalam pemandangan asli yang bukan hasil rekayasa studio dalam film fiksi.
Hobbiton bermula ketika keluarga Alexander mulai mengolah ladang di kawasan itu pada 1978. “Di tangan mereka, tanah terbuka seluas 1.250 hektare yang sebelumnya tidak beraturan, disulap menjadi lahan pertanian khas Selandia Baru yang dilengkapi hewan ternak domba dan sapi,” kata Shayne Forrest yang memandu Republika dan 20 wartawan asal negara ASEAN saat melancong ke Hobbiton Movie Set Tourist Farm, Rabu (27/5).
Sambil memandu kami mengitari the Shire, Shayne menceritakan pada September 1998, Sir Peter Jackson dan New Line Cinema menemukan pertanian Alexander saat pencarian udara guna mendapatkan situs yang cocok dengan setting film. Saat melihat kondisi alamnya, sang sutradara sangat yakin lokasi itu akan menjadi tempat sempurna untuk mengadaptasi karya-karya klasik JRR Tolkien. “Pengaturan perdesaan untuk the Shire, rumah dari Hobbit, termasuk Bag End, sudah ada di sana, dan hanya menunggu sentuhan magis sang sutradara,” kata Shayne.
Hobbiton mulai mendunia setelah sutradara asal Selandia Baru itu menyulap kandang domba tersebut menjadi lokasi syuting film trilogi the Lord of the Rings. Proyek renovasinya dilakukan pada Maret 1999 karena film harus segera ditayangkan pada Desember tahun yang sama.
Bahkan, proyek renovasi ini melibatkan militer Selandia Baru yang membangun jalan sepanjang 1,5 kilometer ke lokasi. Sejumlah perlengkapan berat, seperti buldozer dan traktor, dikerahkan guna mempercepat perbaikan.
Sebanyak 39 lubang Hobbit dibuat dari kayu. Pohon oak yang menghadap Bag End didatangkan dari dekat Kota Matamata. Sedangkan, daun buatan dibawa dari Taiwan. Jerami untuk atap the Green Dragoon dan the Mill diambil dari sekitar peternakan Alexander.
Sejumlah pepohonan unik dan taman diciptakan sedemikian rupa sesuai tuntutan cerita film. Proyek renovasi itu terus dilakukan meski musim dingin menerpa wilayah utara Selandia Baru. Syuting the Lord of the Rings Trilogy pun berjalan sesuai rencana pada Desember 1999 dan dilanjutkan selama tiga bulan.
Ketika dibangun kembali untuk untuk trilogi film the Hobbit pada 2009, struktur the Hobbiton dibangun dari bahan yang lebih permanen, termasuk pohon buatan dari baja dan silikon. Proses rekonstruksi menyeluruh ini memakan waktu dua tahun. “Lanskap yang ada sekarang tetap dipertahankan untuk menjaga keajaiban dari the Shire tetap hidup,” kata Shayne yang juga marketing manager Hobbiton Movie Set Tours itu.
Syuting untuk the Hobbit Trilogy pun berjalan lancar pada Oktober 2011 dan hanya berlangsung 12 hari. Pada puncaknya terdapat sekitar 400 orang di lokasi syuting, termasuk beberapa kali juga dihadiri Sir Peter Jackson, Sir Ian McKellen yang berperan sebagai Gandalf, Elijah Wood (Frodo), Sean Astin (Sam), Ian Holm (Bilbo Baggins), dan Martin Freeman (Bilbo Baggins muda).
Meski telah menjadi objek wisata mendunia, keberadaan Hobbiton tak lantas menggusur peternakan domba dan sapi di sekitarnya. Keberadaan hewan ternak ini justru malah menambah hidup suasana di sekitar Hobbiton yang tampak lebih natural tanpa tembok pembatas. Kawasan Hobbiton hanya dibatasi pagar kayu dan kawat listrik yang tersamar pagar tanaman. Ini membuat kami dapat menyorotkan pandangan seluas mungkin tanpa tersekat tembok pembatas.
Hingga kini terdapat sekitar 13 ribu ekor domba, 300 ekor sapi, dan hewan ternak lainnya yang menghasilkan benang wol dan daging. Seluruh hewan ternak ini bulunya dicukur oleh keluarga Alexander setiap delapan bulan. Aktivitas pencukuran hewan ternak yang dilakukan keluarga Alexander menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah wisatawan yang berkunjung ke Hobbiton.
Di tempat ini juga dapat ditemui aktivitas pertanian menarik dan peternakan yang kerap dijadikan latar belakang syuting film. Bahkan, alat pertanian sengaja dibiarkan di pekarangan rumah Hobbit. Terdapat pula pakaian yang masih tergantung di jemuran yang mengesankan benar-benar ada kehidupan para Hobbit di Hobbiton, kendati seperti perkampungan mati yang ditinggalkan penghuninya.
Konsep agrowisata yang memadukan peternakan, pertanian, dan carita fiksi the Hobbit ini tidak hanya berhasil menarik wisatawan mancanegara, tapi juga mengerek perekonomian masyarakat setempat yang menjual sejumlah cenderamata menarik, seperti topi, kalung, kaus, dan bahan rajutan yang terbuat dari kain wol.
Setelah hampir satu jam berjalan menyusuri jalan setapak perbukitan Hobbiton sambil mendengarkan penjelasan Shayne, kami sampai di the Green Dragoon. Di situ pengunjung dapat bersantai di kafetaria sambil minum jahe khas Hobbiton. Suasana terasa lebih akrab dengan menikmati santap siang bersama sambil bersenda gurau di meja makan kayu, seperti dalam film the Hobbit.