Jumat 26 Jun 2015 08:25 WIB

Jangan Hanya Diam

Satgas Perlindungan Anak menggelar doa bersama dan aksi 1.000 lilin untuk bocah perempuan yang ditemukan tewas terbunuh dan dikubur di halaman belakang rumahnya, Angeline di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (11/6) malam.  (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Satgas Perlindungan Anak menggelar doa bersama dan aksi 1.000 lilin untuk bocah perempuan yang ditemukan tewas terbunuh dan dikubur di halaman belakang rumahnya, Angeline di Bundaran HI, Jakarta, Kamis (11/6) malam. (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Natalia Endah Hapsari

 

Kematian gadis cilik Angeline (Engeline) yang diduga dilakukan oleh orang terdekat dalam lingkungan rumahnya membuat miris banyak orang. Kita pun dibuat terperangah dengan perlakuan yang diterima  gadis delapan tahun itu  semasa hidupnya.

Faktanya, Angeline tidak sendiri. Anak-anak di negeri ini kerap mengalami berbagai bentuk kekerasan, fisik hingga seksual. Tidak hanya di rumah, tetapi juga hingga ke sekolah.

 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, setiap tahunnya telah terjadi 3.700-an kasus kekerasan terhadap anak atau sebanyak 13-15 kasus kekerasan setiap harinya.

Anak-anak, terutama yang masih dalam usia sekolah, kerap dianggap sebagai sasaran empuk. Ketika orang tua tidak kuat lagi menanggung beban, emosi yang meledak-ledak dilampiaskan pada anak-anak.

Mereka juga kerap dinilai sangat mudah dimanipulasi. Cukup dengan iming-iming uang tidak seberapa plus ancaman agar tidak memberitahu pada orang lain, jadilah anak-anak menjadi korban kekerasan seksual.

Yang tidak kalah mengenaskan, pelakunya adalah orang-orang terdekat yang seharusnya bisa menjadi pelindung mereka: orang tua, kakek, paman, hingga guru mereka. Kita baru terkejut hingga syok ketika si anak telah menjadi korban dengan wajah lebam, menderita dan mengalami trauma.

 

Bila mau jujur, sejatinya kita pun bersalah pada anak-anak ini. Ke mana saja kita, orang-orang dewasa, ketika mereka pelan-pelan mulai menjadi korban?

Belajar dari Angeline, jika boleh memutar balik waktu, kita mestinya harus mulai curiga ketika ada anak yang kerap terlambat ke sekolah, sering berbau kurang sedap atau terlihat tidak terawat. Komunikasi intensif dengan pihak orang tua atau minimal menanyakan keseharian si anak bisa menjadi kunci utama yang boleh jadi bisa menyelamatkan sang bocah.

 

Para pejabat atau tokoh masyarakat boleh saja kerap mengimbau agar masyarakat mau berpartisipasi untuk mencegah kekerasan, entah itu terhadap anak atau kekerasan apa pun dalam rumah tangga.

Namun, itu tidak mudah dilakukan. Masyarakat kita kerap terkungkung oleh persepsi bahwa urusan rumah tangga adalah urusan ‘dalam negeri’ tiap individu. Atau, itu adalah urusan yang tidak perlu dicampuri orang lain.

 

Maka, tak jarang ketika ada seorang perempuan yang mati disiksa di tangan suami atau seorang anak yang meregang nyawa atau mengalami kekerasan di sekujur tubuhnya, kita hanya bisa termangu, ragu, dan terdiam.

 

Ke mana kita ketika mereka menangis memohon pertolongan? Di mana kita saat terdengar suara jerit ketakutan, merintih kesakitan hanya berjarak beberapa rumah dari kediaman kita?

 

Tidaklah berlebihan bila seorang Hillary Clinton punya komentar menyentuh tentang cara mengasuh anak. ‘’Butuh satu kampung untuk membesarkan seorang anak,’’ ujar perempuan tangguh ini.

 

Membesarkan seorang anak tidak hanya menjadi kewajiban orang tuanya saja. Kita sebagai tetangga, orang terdekat, atau  masyarakat dalam satu lingkungan punya kewajiban yang sama untuk si anak.

 

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Andai saja, jika masih dapat berandai-andai, kita sebagai orang dewasa dan masyarakat yang bertanggung jawab lebih peduli dan berani melapor, tidak hanya diam, gadis cilik itu saat ini masih bisa tersenyum manis dan menikmati masa kecilnya yang indah.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement