Sabtu 22 Aug 2015 08:34 WIB

Refleksi Akademi West Ham

West Ham
Foto: FOOTBALL WALLPAPER
West Ham

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Iqbal

Laga pembuka Liga Primer 2015/2016 antara Arsenal kontra West Ham United di Emirates Stadium, London, Ahad (9/8), menyisakan sebuah cerita menarik.  Dalam pertandingan yang berujung bagi kemenangan West Ham dua gol tanpa balas itu, sesosok pemuda mencuri perhatian.  Dia adalah Reece Oxford. 

Bermain sebagai gelandang tengah, Oxford, lelaki berusia 16 tahun, tanpa canggung bermain.  Otak permainan Arsenal yaitu Mesut Oezil sukses dimatikan.  Imbasnya, aliran bola ke lini depan yang digawangi ujung tombak Olivier Giroud menjadi seret. 

Bagi pecinta sepak bola, khususnya Liga Primer, penampilan apik Oxford mau tidak mau dikorelasikan dengan Akademi Sepak Bola West Ham United.  Meskipun beberapa tahun belakangan tak lagi menghasilkan bibit unggul, nama The Academy of Football, sebutan lain Akademi Sepak Bola West Ham United, tetaplah harum.  Sekarang, berkat kehadiran Oxford, remaja asli Inggris. 

Jauh sebelum Oxford, publik terlebih dahulu mengenal Bobby Moore dan Geoff Hurst, duo legenda yang mengantarkan Inggris menjadi juara Piala Dunia 1966.  Sebuah prestasi yang hingga kini tak kunjung diulang generasi terkini the Three Lions.  Keduanya merupakan wakil generasi 1960-an The Academy of Football.

Kemudian, pada medio 1990-an, hadir Frank Lampard, Rio Ferdinand, Joe Cole maupun Michael Carrick.  Tak terhitung rentetan prestasi yang mereka bukukan di level klub.  Entah itu di kancah lokal maupun regional.

Namun, untuk level negara, nanti dulu.  Belum ada capaian menonjol yang dibukukan Lampard dan kawan-kawan.  Sekarang, Oxford serta Reece Burke (18 tahun), Josh Cullen (19 tahun) serta Lewis Page (19 tahun), akan coba menapaktilasi jejak Moore maupun Lampard. 

Semua akan bergantung kepada tangan dingin pelatih karismatik Slaven Bilic.  Lelaki berkebangsaan Kroasia itu memang dikenal gemar mengorbitkan bibit-bibit muda.  Eduardo da Silva, Luka Modric, and Vedran Corluka yang berasal dari Kroasia U-21 dipromosikannya kala menangani Kroasia di Euro 2008. 

Hasilnya tak buruk.  Da Silva dan kawan-kawan sukses menembus fase perempat final.  Keperkasaan Turki menghentikan langkah mereka. 

Di Tanah Air, tak sedikit akademi sepak bola yang dikenal dengan sebutan Sekolah Sepak Bola (SSB) berdiri.  ASIOP APACINTI, Tunas Patriot hingga Diklat Salatiga, hanyalah segelintir contoh SSB penghasil pesepak bola ternama.  Sebut saja Ahmad Jufriyanto (Persib Bandung) maupun Bambang Pamungkas (Persija Jakarta). 

Namun, sesungguhnya, beban yang ditanggung SSB-SSB di Indonesia tidaklah ringan.  Ambil contoh SSB Kabomania yang terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.  Mereka harus berjibaku menghidupi kehidupan sehari-hari. 

Semisal operasional latihan, pembayaran gaji pelatih hingga honor petugas administrasi.  Beruntung, modal nekat yang dipertunjukkan para pengurus, semisal patungan dana yang tentu tidak sedikit, membuat roda sekolah tetap berjalan.  Tak lupa peranan orang tua siswa yang setia mendoakan anak-anaknya menjadi pesepak bola ternama di Tanah Air. 

Semoga, tekad dan doa mereka memperoleh jawaban nan memuaskan di kemudian hari.  Selain itu, kita tentu berharap peranan pemerintah.  Mengingat keluhan klasik berupa minimnya perhatian pemerintah pusat dan daerah masih saja terdengar di tengah geliat SSB-SSB yang ada.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement