Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Saat kabinet berusia 10 bulan, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan. Lima posisi di kementerian ia ganti pada 12 Agustus lalu.
Darmin Nasution menjadi menko perekonomian menggantikan Sofyan Djalil. Rizal Ramli menjadi menko kemaritiman dan sumber daya menggeser Indroyono Soesilo. Pramono Anung menjadi seskab menggantikan Andi Widjajanto.
Selanjutnya, Sofyan Djalil menjadi kepala Bappenas menempati posisi Andrinof Chaniago. Luhut Binsar Pandjaitan yang juga kepala staf kepresidenan merangkap sebagai menko polhukam menggantikan Tedjo Edhi Purdyatno. Kemudian Thomas Lembong menjadi mendag untuk menempati posisi Rachmat Gobel.
Harapan lantas menyembul setelah munculnya nama-nama baru meski sebenarnya mereka berwajah lama di jajaran pemerintahan. Darmin sebelumnya pernah menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia.
Pramono Anung adalah politisi senior yang sudah lebih dari 10 tahun di DPR dan pernah menjadi sekjen PDIP. Demikian pula dengan Sofyan Djalil, mantan menko perekonomian dan pernah menjadi menkominfo serta meneg BUMN.
Akan halnya Luhut Panjaitan, pada era lalu sempat menjadi menteri perdagangan. Satu-satunya yang belum pernah menjadi sorotan publik barangkali hanya Thomas Lembong. Selain sebagai relawan Joko Widodo, Lembong sempat aktif di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Masyarakat tentu berharap situasi ekonomi dan lemahnya rupiah segera terangkat setelah wajah baru kabinet ini bekerja. Namun baru dua hari usia pelantikan kabinet hasil perombakan, ‘ledakan’ lain yang justru nyaring terdengar. Apalagi kalau bukan kritik atau ‘serangan mendadak’ dari Rizal Ramli.
Rizal yang selama ini menjadi kritikus tajam bagi kebijakan perekonomian pada pemerintahan Joko Widodo kembali mengaum bak seorang pengamat. Ia menilai rencana pembelian 30 pesawat berbadan besar, Airbus 350 XWB, oleh maskapai Garuda Indonesia sebaiknya dibatalkan saja.
Dengan biaya dari Bank of China sebesar Rp 58,5 triliun, pembelian pesawat itu justru akan membebani Garuda. Pesawat-pesawat itu dianggap Rizal tak cocok untuk rute pendek dan hanya sesuai untuk melayani jalur Jakarta-Amerika atau Jakarta-Eropa. Faktanya, di rute-rute jarak jauh, tingkat isian (loading factor) Garuda hanya sekitar 30 persen.
Kritik lain terarah pada rencana pemerintah membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt. Angka ini dianggap tak realistis dan terlalu tinggi. Itu belum termasuk program pembangunan pembangkit listrik masa pemerintahan sebelumnya yang belum terwujud sebesar 7.000 megawatt.
Dengan demikian, sampai 2019 nanti ada target membangun pembangkit listrik sebesar 42.000 megawatt. Lantaran keterbatasan dana pemerintah saat ini, program ini dinilai Rizal perlu dievaluasi.
Tentu kritik tajam Rizal itu mengundang suara santer dari berbagai pihak. Kecuali sedikit yang mendukung, suara yang menentang kritikan Rizal itu terdengar lebih menggema. Rizal dianggap tak memiliki etika karena mengritik secara terbuka dan bukan di forum rapat kabinet. Saat wapres Jusuf Kalla mengingatkannya agar memahami dulu masalahnya, Rizal bukannya surut tetapi justru menantang untuk berdebat dengan wapres secara terbuka.
Wapres yang secara struktural merupakan atasan Rizal Ramli justru ditantangnya untuk berdebat. Tak pelak, cap tak beretika pun menempel lekat di dada Rizal. Bahkan suara lain yang mengecam sempat berujar agar Rizal mundur saja dari kabinet. Logika ini masuk akal. Kalau bawahan secara prinsip tak setuju dengan kebijakan atasan dan bahkan telah mengritik dengan terbuka, mengapa harus dipaksakan untuk terus berada dalam satu biduk pemerintahan.
Banyak pihak yang menuding, Rizal merupakan sumber kegaduhan di kabinet saat ini. Padahal masyarakat menunggu dengan segera kerja cepat dan tepat dari personel kabinet, terutama yang baru saja dilantik, untuk mengendalikan jebloknya rupiah dan melambungnya harga-harga yang tak memberi rasa optimistis rakyat ini. Karena kegaduhan itu, rasa optimistis masyarakat seolah tiba-tiba sirna.
Meski sudah mendapat kritik tajam dai pelbagai pihak, bahkan wapres dan presiden pun ikut mengingatkan, Rizal tak juga melangkah surut. Presiden sempat mengingatkan, bahwa tugas menko aalah mencari solusi. Kalaupun ada kritik, hendaknya itu diutarakan secara internal.
Karena Rizal tetap bertekad untuk terus mengritik, kita pun layak bertanya. Itu benar-benar murni datang dari pemikiran Rizal atau titipan khusus yang disampaikan atasannya melalui menko kemaritiman dan sumber daya tersebut.
Banyak pihak, terutama dari kalangan internal partai yang berkuasa saat ini (PDIP), yang menghendaki agar Menneg BUMN --Rini Soemarno-- diganti. Bila dikaitkan dengan ‘serangan Rizal’ tadi, maka kebijakan Rini termasuk yang jadi sasaran kritik Rizal. Seketika Rini pun pasang kuda-kuda dengan menyatakan, bahwa tak boleh pihak lain ikut campur soal kebijakan Garuda kecuali menteri terkait dan menko perekonomian.
Masyarakat awam mungkin menilai, kritik itu inisiatif Rizal pribadi. Namun, tak salah bila ada yang berpendapat, jangan-jangan itu sebenarnya cara lain untuk mengerem kebijakan Kementerian BUMN yang dianggap sulit untuk bisa dipengaruhi pihak lain, termasuk atasannya sekalipun.
Begitu pula soal rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt. Selain kebijakan itu memang memberatkan dari sisi biaya, banyak pihak menilai kepemilikan keluarga Kalla dalam perusahaan perlistrikan akan bisa ikut berpengaruh. Itu sebabnya dipilih cara lain untuk memilah dan memisah agar tak ada kaitan atau konflik kepentingan antara keluarga Kalla dengan proyek pemerintah di bidang energi tersebut.
Banyak pihak yang mengembangkan kegaduhan kabinet ini dengan analisis kepentingan seperti itu. Sekilas seperti masuk akal, namun belum tentu juga analisis itu mengena sepenuhnya.
Hanya saja, andai Presiden ingin segera mengakhiri kegaduhan di kabinet baru hasil perombakan yang baru dua minggu dilantik itu, mestinya bisa dengan cara memanggil langsung mereka yang bersilang pendapat. Sangat mudah bagi presiden untuk mempertemukan mereka secara khusus dan memberi arahan tentang hal itu.
Jika langkah itu tak dilakukan presiden, kita memang patut bertanya, ada apa di balik serangan ‘sembur naga’ dari Rizal Ramli itu pada kolega dan atasannya? Ya, saya lebih suka menyebut serangan Rizal itu dengan istilah ‘sembur naga’.
Hal yang perlu dicatat, tentu presiden sudah membuat pertimbangan panjang-lebar untuk memasukkan nama Rizal Ramli dalam jajaran kabinet. Karena itu, jngan-jangan dugaan kita benar adanya.