Oleh: Muhammad Iqbal
Redaktur Republika
Tottenham Hotspur sukses menghancurkan Manchester City dengan skor telak 4-1 dalam lanjutan Liga Primer 2015/2016 di White Hart Lane, London, Sabtu (28/9). Selain kemenangan besar Spurs, topik lain yang jadi pembicaraan publik sepak bola sekolong jagat adalah keberhasilan bomber andalan Spurs Harry Kane pecah telor. Yap, sejak Liga Primer dimulai 8 Agustus 2015, untuk pertama kalinya Kane mencetak gol.
Sontekan Kane pada menit ke 61 berujung gol ke gawang City yang dikawal Willy Caballero. Gol Kane seolah menjawab keraguan penggemar si kulit bundar akan ketajamannya. Gol tersebut juga mementahkan sementara dugaan bahwa si pemain menderita second season syndrome.
Mengenal second season syndrome
Lantas, apa yang dimaksud second season syndrome? Dikutip dari berbagai sumber, sejatinya frasa tersebut ditujukan bagi penurunan prestasi klub-klub Liga Primer pada musim kedua pascapromosi semusim sebelumnya. Ambil contoh, kiprah Middlesbrough pada medio 1995-1997.
Selepas promosi ke Liga Primer dari Divisi Satu pada 1995, the Boro mengakhiri musim dengan sensasional dengan berada di peringkat ke 12. Namun, pencapaian apik itu sirna di musim berikut meski sang manajer Bryan Robson merekrut sejumlah nama-nama tenar semisal Fabrizio Ravanelli.
Di pengujung musim, Middlesbrough harus rela terdegradasi lantaran hanya menempati posisi ke 19. Middlesbrough hanya satu dari sekian banyak klub promosi yang mengalami second season syndrome. Contoh lain yang terekam menyertai perjalanan klub-klub semisal Hull City (2009-2010), Birmingham City (2010-2011) sampai QPR (2012-2013).
Namun, frasa second season syndrome tidak hanya berlaku bagi klub. Pemain pun bisa disematkan frasa ini. Khususnya bagi para penyerang yang pada musim pertama mencetak banyak gol, namun pada musim berikut tak banyak gol yang dicetak.
Semisal Papiss Cissé, penyerang Newcastle United. Pada musim perdana 2011/2012, Cissé mampu mencetak 13 gol dari 14 laga. Torehan itu menurun drastis menjadi delapan gol dari 36 pertandingan semusim berselang.
Contoh lain yang mengemuka adalah Dimitar Berbatov ketika membela Spurs. Setelah bermain gemilang pada musim pertamanya 2006/2007, keran gol Berbatov seret pada musim berikutnya. Sang pemain pun mengakui adanya second season syndrome.
"Mungkin karena itu," ujarnya. Menurut Berbatov, salah satu penyebab ketajamannya menurun tak lepas dari pemahaman tim-tim lawan yang semakin baik terhadap dirinya. Pemahaman itu mencakup berbagai hal, tak terkecuali gaya bermain yang diusungnya.
Kasus Kane
Khusus untuk Harry Kane, sebenarnya prediksi bahwa si pemain akan mengalami second season syndrome telah menyeruak jelang Liga Primer musim lalu berakhir. Ini tak lepas dari penurunan rasio gol per menit yang dibukukannya. Setelah mencetak gol pada awal November 2014, torehan gol Kane tak terhenti hingga Maret 2015.
Tercatat 19 gol dari 21 gim dibukukan. Artinya, satu gol Kane terjadi setiap 99 menit. Namun, memasuki April, sinar Kane seolah meredup. Pemain 22 tahun itu hanya mampu mencetak dua gol dalam delapan laga terakhir Spurs.
Artinya, satu gol Kane baru tercipta setelah 357 menit pertandingan. Apa yang menjadi penyebabnya? Bekas pemain Liverpool Stan Collymore memiliki analisisnya. "Second season syndrome kerap menimpa pemain muda dan saya melihat musim ini akan penuh kekecewaan bagi Kane," ujar Stan di laman Tottenham Blog.
Namun demikian, pelatih Spurs Mauricio Pochettino memiliki keyakinan berbeda. Pochettino menyebut Kane berpotensi mengulang pencapaian fenomenal pada musim lalu. "Dia bisa menangani tekanan. Dia masih muda tapi dia sangat dewasa. Dia berada dalam jalur yang tepat untuk menjadi salah satu penyerang terbaik di dunia," kata pria Argentina ini.
Lantas, apakah Kane mampu mengatasi second season syndrome yang disematkan kepadanya? Gol ke gawang City akhir pekan lalu seyogianya akan membakar semangat Kane untuk terus menjebol gawang lawan-lawannya. Waktu akan menjawab...