REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Itulah naskah asli Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 lalu. Ketiga kalimat yang digemakan para pemuda pada saat itu tampaknya masih akan terus terkait dengan kondisi bangsa Indonesia.
Belum lekang dari ingatan kita slogan Trisakti yang didengungkan oleh Presiden Joko Widodo. Wasiat yang pernah disampaikan oleh Bung Karno itu kembali diutarakan Joko Widodo dengan maksud menjadi sebuah landasan atau acuan untuk membangun bangsa Indonesia.
Tiga butir pemikiran Trisakti sebagaimana disampaikan Bung Karno adalah berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, serta berkepribadian dalam kebudayaan. Saya ingin menyoroti masalah berkepribadian dalam kebudayaan.
Salah satu hal penting dalam menegakkan budaya bangsa adalah penggunaan bahasa Indonesia. Lunturnya atau tersisihnya penggunaan bahasa Indonesia akan merobek budaya bangsa sehingga menjadi tak utuh lagi. Padahal, Undang Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan dengan jelas menegaskan kewajiban pemakaian bahasa Indonesia dalam berbagai bentuk dan kesempatan.
Para pemimpin negara hendaknya kembali menjadi contoh untuk membangun kesadaran berbahasa Indonesia. Sebagaimana bunyi pasal 32 dalam UU nomor 24/2009 itu, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum resmi nasional dan internasional.
Ini artinya, para pemimpin negara wajib menggunakan bahasa Indonesia saat tampil di forum itu. Kebiasaan presiden yang gemar menggunakan istilah asing (bahkan berbicara memakai bahasa Inggris di forum resmi internasional) hendaknya mulai ditinggalkan.
Pada sekitar tahun 1996, saya masih ingat tatkala Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Joop Ave, dalam sebuah pidato menyebut kata ‘adimarga’. Joop yang begitu fasih berbahasa Inggris seketika menjelaskan, bahwa adimarga adalah bahasa Indonesia dari kata boulevard dalam bahasa Inggris, yang artinya jalan besar/ utama dalam suatu kawasan.
"Saya diingatkan oleh Pak Wardiman Djojonegoro (mendikbud saat itu) agar tak lagi menggunakan kata boulevard saat berbahasa Indonesia. Saya sangat berterima kasih karena dengan begitu kita ikut membangun budaya dan bahasa kita," tutur Joop. Itulah masa-masa Wardiman melakukan penertiban penggunaan bahasa Indonesia.
Nama-nama gedung/ perkantoran, papan reklame yang menggunakan istilah atau kata bahasa asing, dan perumahan pun tak luput dari penertiban itu. Serentak, semua pihak pun patuh dan mengubah atau menyesuaikan diri dengan gebrakan Wardiman tersebut.
Akan tetapi, itu tak berlangsung lama. Sejak sekitar sepuluh tahun lalu, istilah asing kembali menjamur di bumi pertiwi. Tak satu pihak dari pemerintah pun yang peduli dan mengambil sikap.
Jadilah kini kembali bermunculan nama-nama asing di pelbagai sudut kota, terutama di Jakarta. Sangatlah sering kita melihat pengumuman dan membaca istilah: topping of , open house, cluster, town house, soft launching, grand opening, keynote speaker, dress code, dan sebagainya.
Rest room pun kini lebih populer daripada kamar kecil. Istilah hutan bakau juga nyaris tak terdengar dan digantikan oleh hutan mangrove yang berbau asing serta dianggap lebih bergengsi. Kantor pos pun yang merupakan badan usaha milik negara ikut memasang papan dengan tulisan: post shop.
Nama-nama perumahan atau perkantoran, jangan ditanya lagi. Teramat banyak kompleks perumahan/perkantoran yang memakai nama bahasa asing. Sebut saja: Central Park, Royal Residence, Hills Residence, dan sejenisnya. Virus penggunaan nama asing bahkan telah mewabah di perumahan kelas menengah ke bawah. Ini sungguh ironis.
Sudah ada contoh perumahan elite dan bergengsi meski memakai nama Indonesia, misalnya: Pantai Indah Kapuk, Perumahan Pondok Indah, dan Bumi Serpong Damai. Namun, tetap saja sebagian besar dari para pengembang merasa gengsinya akan naik bila menggunakan nama asing.
Pasal 39 ayat 1 UU Nomor 24/2009 dengan jelas menyebutkan, bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian diberlakukan jika penamaan dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing itu memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/ atau keagamaan.
Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam UU nomor 24/2009 itu pun dikenakan pada informasi yang disampaikan di media massa. Nyatanya, nama rubrik di koran, majalah, dan televisi yang memakai kata-kata asing masih saja muncul: life style, in depth, lawyers club, sport, dan sebagainya.
Padahal, pemakaian bahasa daerah atau bahasa asing di media massa hanya dibolehkan jika memang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus. Ini bisa dilihat pada siaran televisi yang memang mengincar segmen pembaca dari kalangan Cina atau bisa juga siaran radio yang menggunakan bahasa daerah, lantaran ingin meraih pendengar dari suku tertentu.
Saya yakin, semua warga Indonesia akan bangga bila bahasa Indonesia bisa berdiri tegak, paling tidak, di bumi ini. Untuk itulah upaya menegakkan budaya berbahasa Indonesia ini harus kembali dan terus-menerus dilakukan. Saatnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, beserta jajarannya bergerak untuk mengingatkan masyarakat agar lebih menghargai bahasa Indonesia.
Bisa jadi, lemahnya upaya mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia sesuai amanat UU itu adalah karena tiadanya sanksi yang menyertainya bagi pihak-pihak yang mengabaikan hal tersebut. Barangkali perlu dipikirkan untuk membuat sanksi bagi mereka yang terus dan sengaja membandel.
Saya dan mungkin banyak orang lain akan meresa jengah bila nama dan istilah asing kian bertebaran mewarnai bumi pertiwi. Tentu tidak semua nama dan istilah asing dilarang. UU Nomor 24/2009 pun memberi toleransi untuk hal-hal tertentu.
Kondisi saat ini sudah sangat memprihatinkan dan bahkan menyedihkan dengan kian membanjirnya istilah dan nama asing. Sekaranglah saatnya untuk menegakkan muruah (harga diri) bahasa dan jati diri bangsa kita agar tak terus terinjak oleh bahasa asing. Ayo, Pak Anies.