Selasa 03 Nov 2015 14:11 WIB

Nani Sakri dan Cerita Nasi Jagung

 Nani Sakri bersama Tentrem Sri Minarsih, produsen kriya kulit kayu, Desember 2011
Nani Sakri bersama Tentrem Sri Minarsih, produsen kriya kulit kayu, Desember 2011

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pryantono Oemar/ Wartawan Republika

Ketika orang-orang di dalam ruangan makan enak, kami harus rela makan nasi bungkus di teras. Cara makannya tidak dengan memegang nasi bungkus, melainkan meletakkan nasi bungkus di lantai, sehingga harus makan dengan posisi sedang bersimpuh.

 

Kami harus mengabaikan pandangan orang. Kami bersepuluh, lima mahasiswa, lima mahasiwi. Di antaranya ada mantan Putri Parahyangan. Saya heran, mahasiswi-mahasiswi cantik kok bersedia makan nasi bungkus di teras gedung tinggi yang menjulang di Jl Rasuna Said, Jakarta.

Di dalam, ada banyak pejabat dan pengusaha yang sudah berkumpul. Saya, di antaranya bertemu dengan Nani Sakri, model top 70-80-an, yang saat itu mengenakan fashion boot (elastic-sided ankle boot).

Kami datang untuk mengikuti lelang nama di acara reuni para senior itu. Yang dilelang tentu bukan orangnya, tapi nama bagusnya yang harus dipakai selama masa perploncoan. Saya mendapat nama bagus Kodok Ahtret dari Indra Abidin, pemilik Fortune Indonesia.

Mereka yang di ruangan itu, semuanya tentu pernah mengikuti masa perploncoan. Termasuk Nani Sakri, sang model top yang meninggal dunia Ahad, 1 November 2015, itu. Saya baru membaca pesan soal meninggalnya Nani Sakri sore hari, ketika masih di luar kota. Sebelumnya, Nani sempat dirawat di RS Mintoharjo karena sakit kankernya.

Saya bertemu dengan Nani Sakri di saat kami diberi kesempatan berkenalan dengan para senior. Bukti kenalan ditunjukkan dengan tanda tangan di buku plonco-plonci yang kami bawa. Dalam waktu yang singkat, kami dituntut untuk bisa berkenalan dengan banyak senior.

Tetapi, untuk mendapatkan tanda tangan itu bukan perkara mudah. Kami tetap harus bersimpuh di lantai, siap siaga memenuhi persyaratan yang mereka ajukan. Beberapa kesempatan, saya diminta menyemir sepatu dan pantomim sebelum akhirnya para senior bersedia membubuhkan tanda tangannya setelah beberapa saat bertanya jawab dengan saya. Beberapa di antara mereka ada yang menanyakan dosen di kampus, ketika mereka tahu saya dari Jurnalistik Unpad.

Mengikuti perploncoan memerlukan kesukarelaan untuk memunculkan empati penderitaan. Bahwa ntuk mendapatkan sesuatu pun tak serta merta mudah didapatkan. Bahwa untuk sekadar mengisi perut pun tak serta merta dengan cara yang enak dan nyaman.

Dua puluh tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan Nani Sakri, ketika dia sudah lama pensiun dari dunia model. Sebagai yunior, saya sangat sungkan terhadap dia, sehingga --yang sering terjadi-- dialah yang menyapa saya terlebih dulu.

Nani sering menun jukkan kegemasannya menyaksikan yunior-yunior dia yang tak memiliki daya juang menjalani kehidupan. "Kalian belum pernah merasakan zaman susah makan nasi jagung sih," ujarnya suatu ketika.

Nani Sakri. Anak pedagang batik, yang ikut merasakan pahit getirnya kehidupan. Nani pernah bercerita tentang ibunya, perempuan otodidak yang sukses menjadi pionir usaha batik dan budi daya tanaman hias. Nenek Nani juga dikenal sebagai pembaru batik. Sang kakek, Sukiman, adalah tokoh Masyumi yang pernah menjadi perdana menteri.

Di saat sang bunda sakit, pada 2010 Nani mengadakan pameran sosok perempuan yang dipadu dengan lukisan batik. Inilah karya seni terakhir Nani yang dipersembahkan untuk sang bunda sebelum, akhirnya, sang bunda meninggal dunia pada 27 April 2010.

Nani menyukai karya seni etnik. Ketika ada pameran produk kriya dari kain kayu, ia menyempatklan diri mengunjungi kios milik Tentrem Sri Minarsih, produsen kriya dari kain kulit kayu yang pernah mendapat anugerah Upakarti bidang kepeloporan.

Dalam beberapa kesempatan kami bercengkerama di halaman belakang rumah Andi Sahrandi, aktivis 66 yang aktif kembali pada gerakan 1998. Berkumpul untuk saling tersenyum satu sama lain, saling berjabat tangan, saling menepuk punggung, dan menikmati perbincangan santai yang menyenangkan.

Halaman belakang rumah Andi lantas menjadi 'tempat ketiga' seperti yang didefinisikan Ray Oldenburg di buku The Great Good Place (1989): tempat berkumpul yang menu utamanya adalah perbincangan, tanpa sekat sosial di dalamnya.

Ketika di perbincangan santai itu Nani menyinggung nasi jagung, hal itu mengingatkan saya pada kebiasaan ibu saya yang selalu membuat bekal ketika saya harus bepergian karena acara sekolah. Kami menamainya bontot. Bekal berupa nasi jagung padat sebesar bola plastik yang dibungkus daun pisang, yang bisa bertahan beberapa hari. Ini adalah salah satu tradisi leluhur masyarakat Jawa.

Di Karo, saya mendapat cerita soal masakan tepung jagung goreng. Orang Karo menamainya cipera. Namanya cipera. Saya mendengarkan cerita kelezatan cipera dari Jati Sembiring, warga Gurukinayan (desa di kaki Sinabung yang dihancurkan oleh abu panas Sinabung) yang sedang mengungsi di Batukarang.

Jati Sembiring bercerita terkait dengan kekaguman yang dilontarkan oleh Andi Sahrandi yang datang di Karo membawa sukarelawan kemanusiaan Posko Jenggala. Posko Jenggala membantu membersihkan kampung dan membuat rumah huni sementara bagi para pengungsi Sinabung.

Jati Sembiring ikut membantu kegiatan Posko Jenggala ini. Nani Sakri termasuk beberapa sahabat Andi yang menitipkan rezekinya untuk makanan sahur pengungsi Sinabung. "Pak Andi sampai nambah makannya, gara-gara cipera itu," lanjut Sembiring.

Cipera adalah nama tepung jagung sangrai. Jagung tua disangrai, kemudian ditumbuk, lalu diayak. Tepungnya dicampur dengan santan dan bumbu lalu dicampur dengan daging ayam untuk dimasak. Inilah masakan leluhur masyakarat Karo.

Masyarakat Indonesia, pada masanya pernahmenjadikan jagung sebagai makanan pokok, sebagaimana halnya masyarakat Meksiko. "Keturunan suku Maya yang tinggal di Meksiko kadang-kadang masih menyebut diri mereka sebagai 'orang-orang jagung' (corn people)," tulis Michael Pollan, dalam buku Omnivore’s Dillema (2007).

Orang-orang jagung merupakan sebutan untuk menunjukkan bahwa mereka sangat bergantung pada jagung. Hampir 9.000 tahun lalu, suku Maya sudah mengonsumsi jagung.

"Empat puluh persen kalori yang dimakan orang Meksiko dalam sehari didapat dari jagung. Sebagian besar dalam bentuk tortila," ungkap Pollan. Tortila adalah roti pipih berbahan jagung tanpa menggunakan ragi. Roti jagung ini mendapat nama tortila dari orang-orang Spanyol karena bentuknya mirip telur dadar Spanyol.

Maka, saya sangat setuju dengan pernyataan Jeff Smith ini: Jika kita tak tahu meja makan leluhur kita, saya ragu kita dapat memahami sejarah. Jika kita tidak memahami sejarah kita, diragukan bahwa kita dapat memahami masa depan kita.

Smith membuat kesimpulan di akhir bukunya yang tebal, setelah membahas masakan leluhur imigran di Amerika. Buku setebal 539 itu membahas masakan dari leluhur 35 bangsa imigran di Amerika dalam judul The Frugal Gourmet On Our Immigrant Ancestors (1990): Ketika leluhur imigran kami datang di pantai ini, mereka membawa banyak kebiasaan, kenangan, dan tradisi, dan meja makan tampaknya menjadi tempat tradisi tersebut dipertahankan secara tegas.

Karenanya, keluarga imigran di Amerika selalu memiliki kursi khusus di meja makan mereka, tempat orang yang dituakan duduk. Jika orang tua tidak memiliki kursi khusus di meja makan kita, maka sejarah kita sendiri tidak memiliki tempat yang istimewa. Makan bersama tidak diberkati jika tak ada orang yang dituakan di situ.

Makan bersama di rumah menjadi tradisi. Jika Anda makan fast food, dan tidak makan dengan menu leluhur kalian, sebenarnya Anda tidak memiliki meja makan…. Dan Anda tidak pernah akan merasa puas.

Nenek saya memiliki nasihat --yang juga telah dengar sebelumnya dari ibu saya: Selalulah makan di rumah, karena masakan di rumah dihidangkan dengan penuh keberkahan.

Nenek saya melontarkan nasihat itu secara halus untuk mengingatkan saya ketika saya sering pulang sekolah hanya untuk ganti baju dan menaruh tas, kemudian kembali lagi ke sekolah untuk kegiatan ekstrakurikuler. Saya menjadi banyak makan jajanan di sekitar sekolah. Beberapa bulan setelah nenek saya meninggal, saya sering memimpikan nenek saya yang selalu membawa sayur ke saya. Ia khusus menyimpan sayur untuk saya.

Markus Smulders, pejabat FAO Perwakilan Indonesia sempat menyentil maraknya fast food di Indonesia ketika diwawancara Republika (26/10). Ia sangat menyayangkan kondisi ini. "Padahal, Indonesia mampu memproduksi makanan yang lebih baik, beragam, dan kaya akan nilai gizi," ujarnya.

Edukasi kandungan gizi dan nutrisi makanan yang dikonsumsi, menurut dia, perlu terus diberikan berbarengan dengan upaya swasembada pangan. Dengan cara itulah, menurut dia, label halal dan standar makanan sehat memiliki posisi penting di Indonesia.

Di sini, resto fast food telah menjadi tempat ketiga favorit, tempat berkumpul banyak orang selain rumah dan tempat kerja. Bukan sebatas sebagai tempat makan, tempat ketiga merupakan tempat sosialisasi. Bahkan bukan hanya tempat sosialisasi orang dewasa, tetapi juga tempat sosialisasi anak-anak. Ulang tahun anak-anak TK banyak diadakan di resto fast food.

Kita punya tempat ketiga tradisional yang sesuai dengan tempat ketiga menurut kriteria Ray Oldenburg. Warung kopi tradisional di berbagai daerah memenuhi kriteria yang dibuat Oldenburg. Warung kopi tradisional di berbagai daerah menyediakan meja panjang dengan tempat duduk berupa bangku panjang, yang memungkinkan orang-orang mau tidak mau duduk satu meja meski belum saling mengenal.

Percakapan adalah menu utama di warung kopi tradisional ini, baik dengan yang sudah kenal maupun yang belum kenal. Tak ada kelas sosial dan ras di dalamnya, semua berkumpul dalam perbincangan yang hangat.

Tentu kita tak menginginkan kondisi anak cucu bangsa ini tak mengenal lagi masakan para leluhur kita karena telanjur keranjingan dangan masakan fast food, makanan cepat saji yang menurut Nani Sakri banyak dikonsumsi anak-anak manja masa kini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement