Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Saat itu saya baru saja turun dari bus Transjakarta. Lalu saya berjalan kaki menuju kantor. Mendekati gerbang masuk kantor, saya dicegat beberapa perempuan muda cantik dan berpakaian rapi. Mereka berseragam tetapi saya tak memperhatikan logo atau lambang di bajunya.
Satu di antara mereka menyodorkan koran. Saya segera memberi isyarat penolakan karena memang tak berminat membeli koran itu. Seketika perempuan muda itu menyahut,”Ini tidak dijual kok Pak. Ini gratis”. Saya lalu menerima satu lembar koran tersebut, seraya mengucapkan terima kasih.
Saya tak segera tertarik membaca koran tipis itu. Koran saya gulung dan saya pun meneruskan langkah untuk masuk ruang kerja di kantor.
Iseng-iseng, ketika duduk di ruang kerja, saya buka koran tersebut. Judulnya: Jakarta Kini. Ada judul lain dengan ukuran huruf lebih kecil yang berada di antara kata ‘Jakarta’ dan ‘Kini’, yakni Teman Ahok, disertai gambar animasi dua orang yang berdiri dengan satu tangan diangkat.
Koran 12 halaman itu seluruhnya berwarna. Isinya berupa puja-puji terhadap kinerja Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau lebih dikenal dengan panggilan Ahok.
Pada halaman depan tertera judul: Jurus Reformasi Birokrasi Ala Ahok. Ada pula judul lain: 1 Tahun Gubernur Ahok. Pada halaman dalam, isi tulisan juga senada dan seirama. Wawancara dengan psikolog Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, yang belakangan selalu aktif memberikan dukungan pada sosok yang maju dalam pilpres maupun pemilukada.
Segera saya memastikan, bahwa isi koran tersebut berupa kampanye untuk membentuk opini agar Ahok mendapat dukungan untuk maju lagi sebagai calon gubernur Jakarta. Keberadaan koran ini sekaligus menunjukkan kesiapan lahir-batin Ahok untuk menjadi calon gubernur periode mendatang di Jakarta.
Sebagai gubernur Jakarta, Ahok baru satu tahun menjabat. Itu terhitung sejak Joko Widodo dilantik sebagai presiden Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014. Ahok yang semula menjadi wakil gubernur Jakarta sejak 15 Oktober 2012, secara otomatis naik sebagai gubernur.
Saya tak mau mengomentari kinerja Ahok selama setahun. Jika saya mengritik, apalagi mengecam, bisa dinilai bahwa saya tidak suka terhadap kehendak Ahok untuk maju lagi sebagai gubernur Jakarta.
Sebaliknya, bila memuji kiprah Ahok selama setahun menjadi pemimpin tertinggi di Jakarta, saya khawatir dinilai sebagai bagian dari tim sukses Ahok.
Saya hanya hendak mengomentari soal kampanye awal atau istilah kerennya mencuri start yang dilakukan tim atau relawan Ahok. Selain koran gratis tadi, beberapa posko Teman Ahok juga bermunculan. Ada yang menempati beberapa kawasan pinggir jalan, ada juga yang berada di tengah keramaian pertokoan atau mal.
Masih ada waktu dua tahun lagi masa jabatan Ahok sebagai gubernur Jakarta. Baru pada pertengahan 2017 nanti, peperangan untuk merebut DKI-1 bakal terjadi. Namun, Ahok dan timnya rupanya sudah lebih dulu berlari kencang mendahuluinya.
Bagi saya ini agak aneh. Tidak biasanya seorang pejawat atau petahana melakukan hal ini. Memang bisa saja mereka berdalih, bahwa itu bukan kehendaknya akan tetapi relawan yang terlalu bersemangat dan jalan sendiri di luar rencana.
Kalaupun ini benar, orang awam akan bisa bertanya, dari mana semua dana untuk membiayai kegiatan ini? Rasanya sungguh tidak mungkin kalau itu dibiayai oleh mereka sendiri. Hampir pasti ada pihak yang membiayai aktivitas ini.
Seorang pejawat atau petahana memunyai banyak kelebihan dibanding calon lain. Dia secara otomatis akan mendapat tempat istimewa dalam pemberitaan media massa. Fokus dan sorotan media tentu akan lebih mengarah pada seluruh kiprah atau kegiatan yang dilakukan oleh pejabat yang sedang berkuasa. Ini karena masa kampanye masih amat jauh dan insan pers pun merasa belum perlu untuk terus-menerus menampilkan sosok lain sebagai pesaing.
Pejawat bisa membuat program-program atau kegiatan yang mengarah pada upaya menarik simpati dan perhatian masyarakat. Bisa pula melakukan kegiatan yang member nilai lebih terhadap keberadaan dirinya. Pendek kata, sangat banyak aktivitas yang bisa dibuat oleh pejawat dan itu dengan sendirinya akan menunjang popularitas atau simpati warga untuk memberikan dukungannya kelak.
Namun, itu agaknya tidak atau belum dilakukan. Justru yang terjadi adalah bentuk kampanye terselubung. Padahal masa kampanye itu masih sangatlah jauh.
Semestinya kejadian seperti ini juga menjadi perhatian pihak berwenang, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta. KPUD harus memberikan klarifikasi, apakah kegiatan semacam ini masuk kategori kampanye di luar jadwal atau boleh-boleh saja dilakukan oleh siapa pun. Pendirian posko pun menjadi salah satu indikasi kampanye terselubung oleh yang bersangkutan.
Bila kegiatan itu termasuk kategori kampanye, walau tak sepengetahuan atau di luar kendali sang calon (Ahok), maka tetap hal itu harus dihentikan. Kejujuran dalam praktik demokrasi tak hanya diperlukan saat kampanye dan pemungutan suara saja.
Praktik lain yang pada dasarnya memanfaatkan keadaan atau menyiasati situasi, akan tetapi tak sesuai dengan akal sehat atau koridor yang ada, tentu harus dihindari. Kejujuran harus tertanam sejak dalam niat atau sebelum diwujudkan dalam tindakan.
Jika kemudian KPUD Jakarta menyatakan langkah para relawan atau tim pendukung Ahok ini tak menyimpang dari aturan, maka perlu pula disampaikan pemberitahuan, bahwa calon lain juga boleh melakukan hal serupa. Walau, kalau itu terjadi, suasana Jakarta menjadi tidak elok.
Bayangkan saja, di banyak tempat bisa jadi akan muncul posko-posko untuk mendukung calon-calon lain. Sanngat mungkin posko itu nanti melibatkan pelbagai elemen masyarakat. Kalau posko itu melibatkan organisasi masyarakat yang sering bersikap garang, bukan tidak mungkin gesekan dan aksi yang bertendensi atau mengarah ke bentuk kekerasan akan muncul.
Untuk itu, saya setuju kegiatan semacam ini dihentikan. Para calon dan relawan atau tim pendukung harus bisa menahan diri dan tak terlalu bersemangat untuk sesegera mungkin unjuk kebolehan. Masa hiruk-pikuk atau gegap gempita itu kelak akan datang.
Biarkan masyarakat tenang sejenak menikmati suasana nyaman di lingkungannya. Ada masanya bagi warga untuk kembali bergiat menyambut pemilu atau pemilukada. Ada masanya pula bagi masyarakat untuk tak direcoki urusan pemilu terus-menerus.