Oleh A Syalaby Ichsan (Wartawan Republika)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada kontestasi Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2008 silam, Presiden Barack 'Husein' Obama 'difitnah' beragama Islam. Obama memiliki ayah kandung berdarah Kenya yang merupakan Muslim kemudian menjadi seorang Kristen lantas beralih ke Atheis dan ibu beragama Kristen Evengelis. Setelah orang tuanya bercerai, Obama mendapat ayah tiri, Lolo Soetoro, pria berdarah Indonesia yang merupakan Muslim.
Kaum konservatif dan para kompetitornya menjadikan latar belakang keragaman Obama yang bersinggungan dengan Islam sebagai senjata. Terlebih, Obama dibesarkan di Indonesia, sebuah negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Obama pun disebut masih mempraktikkan ajaran Islam dengan sembunyi-sembunyi. Presiden berkulit hitam pertama di AS yang sekolah di SD 01 Menteng ini juga dituding pernah mengenyam pendidikan di madrasah.
Dengan tegas, Obama mengklarifikasi bahwa dia merupakan Kristen tulen. Anak Menteng ini berkoar di dalam kampanyenya bahwa dia bangga menjadi anak gereja dan merupakan anggota Gereja Trinity United Church of Christ di Chicago. Obama sadar bahwa mayoritas warga AS merupakan kristen taat. Dia pun membentangkan jargon Committed Christian untuk menyatakan kekristenannya.
Lembaga riset politik ternama, Pew Research Center menulis bahwa meski tak ada larangan bagi non Kristen untuk menjadi presiden, tak ada seorang pun dari 44 orang nomor satu di Gedung Putih bukan merupakan Kristen. Termasuk Obama yang sempat dituduh beragama Islam. Bahkan untuk sekadar menjadi kandidat. Pew merilis hanya Bernie Sanders, bakal kandidat dari Demokrat yang merupakan seorang Yahudi berani berkampanye dalam kontestasi Pilpres 2016.
Menjelang Pemilihan Presiden 2016 ini, Pew Research pun merilis bahwa setengah dari orang dewasa di AS peduli dengan agama dan kepercayaan para bakal kandidat. Tak hanya itu, Pew juga mengutip hasil survei yang mengungkap bahwa diskusi tentang agama oleh para pemimpin partai politik terlalu sedikit (40 persen). Sementara hanya 27 persen yang mengatakan terlalu banyak.
John Green, Profesor Ilmu Politik dari Universitas Akron yang sempat menjadi Senior Fellow dalam studi agama dan politik AS, Pew Forum on Religion and Public Live, mengungkapkan, kepercayaan pribadi seseorang akan menjadi aset. Khususnya jika kandidat itu menjadi anggota sebuah keyakinan mainstream.
Di dalam sejarah Amerika Serikat, Green melanjutkan, keyakinan mainstream ini merupakan Protestanisme. Green pun menilai, kampanye Obama untuk menangkal tudingan bahwa dia merupakan Muslim dengan jargon 'Committed Christian' merupakan sebuah cara untuk menarik voters bahwa dia religius.
Menggambarkan Obama sebagai seorang Kristen yang taat, sebut Green, juga menjadi alasan bagus bagi warga AS untuk memberikan suaranya. Mengingat, rumor tentang Obama sebagai Muslim tak menguntungkannya secara politik. Berdasarkan survei, komunitas Muslim bukan kelompok yang populer di AS. Apalagi setelah peristiwa 11 September. (Bersambung)..