REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika, alumni pelatihan jurnalisme antiteror BNPT
Pada sebuah siang, tepatnya pada 30 September 2011, dua "Predator", pesawat tanpa awak militer Amerika Serikat (AS), tinggal landas dari basis militer rahasia milik CIA di Arab Saudi. Tujuan mereka, Provinsi Aljawf di Yaman.
Sampai di lokasi, mereka menembakkan rudal "Hellfire". Peluru kendali itu lekas meluncur ke sebuah kendaraan roda empat berisi empat orang. Seluruhnya tewas. Satunya bernama Anwar Alawlaki, seorang warga negara AS kelahiran Yaman.
Sebulan kemudian, giliran Abdurrahman (16 tahun), anak Alawlaki kelahiran AS, juga tewas diledakkan rudal dari pesawat tanpa awak di Yaman meski sedianya bukan target yang disasar.
Tahun 2010, Presiden Barack Obama menyetujui memasukkan Alawlaki dalam daftar bunuh. Ulama yang mulanya moderat itu dinilai terlampau kerap mengampanyekan terorisme dan jadi petinggi di Alqaidah selepas pindah dari AS pada 2004. Keluarga Alawlaki di AS sempat menggalang pegiat HAM untuk mendesak Obama mencoret Alawlaki dari daftar.
Mereka mendesak Alawlaki ditangkap saja, dideportasi, kemudian diadili di persidangan. Upaya itu kandas.
Saat kabar Alawlaki dan putranya tewas mengemuka, sebagian pihak di AS meradang. Publik AS terbelah soal pantas tidaknya pemerintah membunuh warganya sendiri, terlepas betapapun berbahanya yang bersangkutan, tanpa proses pengadilan yang layak.
Pada 2014, The New York Times dan pegiat transparansi pemerintahan melalui pengadilan berhasil memaksa Kementerian Hukum AS memublikasikan memorandum pertimbangan keabsahan pembunuhan Alawlaki. Intinya memorandum itu, pemerintah menilai pembunuhan
Alawlaki sebagai "tindakan perang yang legal." Bagaimanapun, dari pengkajian memorandum tersebut, The New York Times dalan tajuknya menilai alasan pembunuhan tak kuat.
Siyono (34 tahun), seorang warga Klaten, Jawa Tengah, punya beberapa persamaan dengan Alawlaki. Keduanya dituding pemerintah masing-masing sebagai gembong teroris radikal Islam. Keduanya juga sama-sama tewas di tangan aparat pemerintahannya sendiri dalam upaya pemberantasan terorisme… tanpa didahului proses pengadilan yang layak.
Namun ada juga perbedaan yang mesti disoroti. Alawlaki ditewaskan secara sengaja, sedangkan Polri mengklaim bahwa kematian Siyono tak disengaja. Selain itu, pembunuhan Alawlaki disebut otoritas tempatan sebagai aksi perang yang legal. Apakah tewasnya Siyono juga masuk aksi perang yang legal?
Begini, sejak pemberantasan teror mulai gencar dijalankan sejak Bom Bali I pada 2002, pemerintah tak pernah mendeklarasikan secara resmi perang terhadap terorisme. Pilihan yang kita ambil, menempatkan terorisme sebagai tindakan kriminal luar biasa, alih-alih sebagai aksi perang. Ide dasarnya, pemerintah menempatkan pemberantasan terorisme di bawah rules of law alih-alih rules of war.
Konsekuensinya, pemberantasan terorisme adalah ranah kepolisian. Para pelaku terorisme juga wajib dibawa ke pengadilan sebelum dijatuhi rerupa hukuman. Hal itu berkebalikan dengan sikap banyak negara lain yang menjadikan militer sebagai ujung tombak.
John Coyne, analis senior Australian Strategic Policy Institute dalam artikelnya di Huffington Post menilai, pada mulanya strategi Indonesia tersebut berjalan efektif. Dalam periode 2006 hingga 2010, ia mengklaim bahwa Indonesia tergolong sukses melakukan pemberantasan terorisme.
Namun pada periode selepasnya, tulis Coyne, trennya berbalik. Dan titik rendahnya terjadi pada 14 Januari 2016, saat sekelompok teroris berhasil melancarkan serangan di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Coyne menilai, bangkitnya kekuatan teroris belakangan karena mereka lebih canggih mengakali aparat penegak hukum. Yang lupa ia soroti, bangkitnya kekuatan terorisme tersebut juga beriringan dengan kian resahnya masyarakat dengan tindakan-tindakan ekstrajudisial Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) terutama yang berujung pada tewasnya "terduga" teroris.
Di situlah kematian Siyono, menurut saya, jadi penting. Kemarahan orang-orang atas kematian itu mestinya jadi peringatan bagi Densus 88 untuk kembali ke khittah-nya sebagai alat penanggulangan terorisme yang tetap terikat dengan metode-metode penegakan hukum yang berkeadilan.
Densus 88 harus disadarkan bahwa restu pemberantasan terorisme yang diberikan masyarakat bukan cek kosong. Restu itu harus digunakan penuh tanggung jawab. Petugas Densus 88 tetap harus mempertanggungjawabkan secara terbuka pembunuhan-pembunuhan di luar pengadilan yang menurut data sejumlah kelompok pegiat HAM sudah 119 kali mereka lakukan.
Pemerintah tak boleh lupa bahwa masyarakat punya kenangan pahit soal aksi-aksi negara seperti demikian di masa lampau. Saat Komando Jihad dihabisi, saat komunis dihabisi, saat perjuangan kemerdekaan Aceh dan Papua diberangus. Masyarakat tak ingin kembali ke masa-masa itu. Siapa yang bisa menjamin saat negara dianggap mengancam seperti pada masa lampau tak ada kelompok-kelompok yang makin bulat tekadnya melancarkan teror?
Tindakan pemberantasan teror oleh AS melalui pembunuhan-pembunuhan dengan pesawat tanpa awak seperti terhadap Alawlaki dinilai justru berperan memunculkan bibit-bibit terorisme baru. Jangan-jangan, demikian juga ekses dari pembunuhan-pembunuhan oleh Densus 88 yang tak dipertanggungjawabkan.
Mudah untuk menyepakati bahwa terorisme dilakukan oleh manusia-manusia semacam monster yang tak memedulikan nyawa orang-orang yang belum tentu bersalah. Densus 88 tak perlu jadi monster serupa.