REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika dan pemilik blog elangkesepian.wordpress.com
Diskusi tentang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 sudah mewabah di kalangan masyarakat Ibu Kota, tidak terkecuali di kantor penulis. Semua pembicaraan mengarah pada peluang pejawat (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kandidat penantangnya. Hingga saat ini, Ahok secara riil belum memiliki penantang yang kuat secara ketokohan. Padahal, ketokohan merupakan faktor utama bagi kandidat lain untuk bisa mengalahkan pejawat. Hasil berbagai lembaga survei tentang popularitas memang menempatkan mantan bupati Belitung Timur itu dalam posisi pertama. Pun, dengan elektabilitas, Ahok masing tetap sebagai jawara.
Meski begitu, siapa pun kandidat yang menjadi calon lawan Ahok hendaknya tidak perlu "keder" dulu. Itu lantaran figur Ahok tidak sekuat yang dicitrakan di media massa ataupun media sosial. Mengutip pernyataan CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah, "Ada jarak antara elektabilitas dan popularitas yang sangat jauh." Bagi penulis, pernyataan Eep itu seolah membuka kotak pandora informasi survei tentang Ahok, meski juga bukan sebuah hal yang mengejutkan.
Informasi yang disampaikan Eep seolah menetralkan berbagai pernyataan yang dilontarkan pengamat, yang menegaskan Ahok terkesan tiada saingan atau Ahok bakal menang mudah, siapa pun lawannya di Pilgub DKI. Walaupun ada yang menyanggah atau bahkan mencibir Eep, hal itu sebenarnya tidak masalah juga. Hanya yang patut ditekankan, Eep adalah salah satu "otak" kemenangan pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI 2012 dan Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014.
Kembali ke soal Ahok, secara popularitas memang mantan politikus Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Golkar, dan Gerindra tersebut jauh meninggalkan lawan politiknya. Status sebagai pejawat dan sosok kontroversial lantaran kerap mengeluarkan komentar pedas, bahkan kasar membuatnya menjadi media darling. Dengan selalu marah dan mengancam anak buahnya setiap hari, Ahok seolah menjaga ritme kerja seperti itu agar dikesankan sebagai figur tegas. Untuk menguatkan citra tersebut, Ahok tidak segan memecat bawahannya dan melakukan bongkar pasang birokrasi sesuai seleranya.