Oleh: Erdy Nasrul, Redaktur Republika
Tak banyak orang mengetahui salah seorang pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Imam Zarkasyi (Pak Zar). Tak ada perayaan besar untuk mengenangnya. Padahal 30 April adalah tanggal Pak Zar meninggalkan dunia.
Dia meninggalkan dunia ini pada 1985 atau 31 tahun lalu. Dua pendiri lainnya sudah lebih dahulu meninggal. KH Ahmad Sahal, kakak tertua dari ketiga pendiri Gontor meninggal pada 9 April 1971. Sedangkan KH Zainuddin Fanani meninggal pada 1967.
Saya tak sempat melihat langsung sosok Pak Zar. Namun dari pengalaman mengenyam pendidikan di Gontor selama tiga tahun, dari 2000 hingga 2002, saya merasakan betul nilai yang beliau tanamkan.
Gontor tak pernah membiarkan santrinya tak memiliki kegiatan. Dari mulai bangun pagi sampai tidur malam hari santri selalu beraktivitas. Mereka dituntut bermobilitas tinggi.
Santri mulai bangun pagi sebelum salat subuh. Mereka berwudu. Kemudian membaca Alquran. Setelah itu bersiap untuk sarapan. Kemudian masuk kelas. Jangan coba terlambat, karena pasti akan dikenakan hukuman.
Saya mendengar pesan Pak Zar dari anaknya yang kini menjadi salah seorang pimpinan Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Hampir setiap tahun ajaran baru dimulai, Ustaz Syukri, begitu beliau biasa disapa, selalu menyampaikan pesan ayahnya, arrahatu fi tabadulil ‘amal. Artinya, istirahat itu adalah pergantian kegiatan.
Tak ada santri yang bersantai. Semuanya bergerak. Ada yang beribadah di masjid. Ada yang membersihkan asrama. Ada juga yang berjalan menuju kantin, dan lainnya. Begitu banyak aktivitas. Terkadang santri tak ingin membiarkan waktunya habis begitu saja. Saat berjalan kaki mereka kerap membaca buku. Bahkan ketika mengantre mandi ada juga yang membaca buku pelajaran.
Ustaz Syukri kemudian memberi semangat kepada santri agar selalu dinamis. Dia berpesan,''Taharraku fa inna fil harakati barakah.” Artinya bergeraklah kalian semua, karena dalam setiap gerak ada berkah.
Gerakan itu bukanlah menghujat kiai, bukan yang mengabaikan etika. Gerakan itu adalah kebersamaan yang membuat santri saling membantu dan bersama dalam kegiatan yang mereka laksanakan setiap hari.
Ustaz Syukri kerap mengimbau santri untuk selalu menghormati orang lain, termasuk kiai, yang berperan sebagai orang tua. Kiai berperan sebagai pendidik yang menanamkan nilai kepada peserta didik.
Sikap yang ditunjukkan adalah ketegasan. Kiai bersikap seperti itu dalam mendidik agar santri tidak memiliki mental yang lemah. Sikap itu dicontohkan Pak Zar semasa hidupnya. Pada 19 Maret 1967, banyak santri Gontor yang memprotes kiai. Mereka memfitnah kiai telah berbohong, bahkan korupsi.
Di tengah hujatan yang begitu menyayat hati, Pak Zar tetap mengajar sebagian santri yang masih berkomitmen untuk menuntut ilmu di Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Setelah itu, Pak Zar dengan sangat terpaksa memulangkan seluruh santri Gontor. Sebagian santri kemudian dipanggil kembali dan diberi kesempatan untuk melanjutkan studi.
Sikap tegas Pak Zar itu menjadi rujukan bagi seluruh penghuni dan alumni Gontor. Mereka menyadari pondok harus dibela dan diperjuangkan untuk membangun negeri ini.
Gontor tak bisa dipaksakan menjadi bagian dari kelompok tertentu. Biarlah Gontor mengalir apa adanya, seperti air yang menghilangkan dahaga, dan menghidupi ikan yang ada di dalamnya.
Kini pesantren itu sudah memiliki sejumlah cabang yang tersebar di negeri ini. Santrinya sudah mencapai puluhan ribu. Jutaan alumninya berprofesi dalam berbagai bidang.
Semoga amal baik dari Pak Sahal, Pak Fanani, dan Pak Zar, bermanfaat bagi negeri ini. Mereka yang meneruskan amal baik para pendiri itu selalu konsisten mengembangkan pondok, seperti yang dilakukan sesepuh mereka KH Hasan Besari di Pesantren Tegalsari.