REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Judul di atas mungkin terlihat klise. Kata 'hikmah' selalu ada sebagai alasan di balik kegagalan meraih prestasi.
Jujur, saya bukanlah orang yang terlalu senang menggunakan kata apologi untuk memberitakan kisah kegagalan. Utamanya di bidang olahraga. Sebab kalah adalah kalah. Tak peduli dia runner-up atau juru kunci, nilai moralnya tetap sama. Yang beda hanya nominal hadiahnya.
Sebab juara hanya pantas bagi pemenang pertama. Tapi mengacu pada hasil Piala Thomas 2016 yang baru berakhir pekan lalu di Kunshan, Cina, rasanya kata 'hikmah' memang pantas disematkan untuk tim Indonesia.
Bukan sebagai apologi atau bela diri, melainkan sebagai apresiasi serta motivasi. Faktanya, skuat Merah Putih memang sudah berjuang pada titik yang maksimal. Secara teknis, yang dipertontonkan oleh Hendra Setiawan dan kawan-kawan sudah melebihi kemampuan terbaik mereka.
Sekalipun kalah 2-3 dari Denmark di babak final, hasil ini tak bisa langsung dicap sebagai bentuk kegagalan yang mutlak. Alasannya bisa dilihat dari data dan statistik.
Data menunjukkan skuat Indonesia adalah tim dengan materi pemain termuda bila dibandingkan tim elite lain di Piala Thomas. Simak saja umur deretan tunggal putra Indonesia. Jonatan Christie baru berusia 18 tahun, Anthony Ginting 19 tahun, dan Ihsan Maulana 20 tahun.
Belum lagi pasangan ganda kedua, Angga Pratama dan Ricky Karanda Suwandi yang sama-sama masih berusia 24 tahun. Praktis hanya Hendra Setiawan yang paling senior di tim Thomas Indonesia. Itu pun usianya masih di level emas, yakni 31 tahun.
Bila dirata-rata, umur skuat Indonesia hanya 23,8 tahun. Bandingkan dengan Denmark yang skuat utamanya memiliki rata-rata usia 26,7 tahun, Cina 25,8 tahun, dan Korea Selatan 25,7 tahun.
Jam terbang atlet tunggal putra Indonesia di level dunia pun masih bisa dihitung dengan jari.
Dengan kenyataan bahwa mayoritas skuat Thomas Indonesia adalah debutan maka hasil di Kunshan bukanlah kata akhir. Sebaliknya, ini menjadi awal perjuangan panjang atlet bulu tangkis putra Indonesia.
Pernyataan Hendra Setiawan usai hasil di Kunshan pun patut dicermati. Bagi Hendra, tim ini adalah pondasi bagi kekuatan Indonesia di Piala Thomas dua tahun mendatang.
Lebih dari itu, ini adalah pondasi bagi masa depan dunia bulu tangkis Indonesia. Dengan usianya yang masih belia, pemain seperti Jonatan, Ihsan, ataupun Anthony, tentu banyak mengambil pelajaran dari Kunshan.
Pelajaran pertama tentu tempaan mental bagi mereka untuk semakin dewasa. Tak hanya itu, laga di Kunshan jadi kesempatan bagi mereka berhadapan dengan pemain papan atas dunia. Maklum selama ini jam terbang para tunggal muda Indonesia untuk bermain di level atas masih terbatas.
Karena deretan kenyataan itu maka tak berlebihan apa kita menyandingkan kata 'hikmah' di balik kegagalan meraih juara Piala Thomas 2016. Tapi hikmah ini mesti dicerna para atlet, pelatih, maupun PBSI.
Seperti yang dikatakan oleh legenda buku tangkis Indonesia Rudy Hartono, pemain muda jangan pernah cepat puas. Hasil di Kunshan perlu mereka cerna sebagai bentuk pelajaran, bukan justru diartikan sebagai sebuah keberhasilan.
Sehingga pantang bagi pemain muda ini untuk puas dengan label runner-up. Karena itu, saran Rudy bagi pemain untuk meningkatkan level disiplin serta porsi berlatih sangat relevan untuk diterapkan.
Sebab untuk menjadi pemenang kita mesti belajar dari sang pemenang. Dan referensi untuk menjadi pemenang ada di sosok Rudy Hartono.
Pada akhirnya apresiasi tetap kita haturkan pada skuat Indonesia maupun PBSI. Paling tidak regenerasi di sektor putra sudah menunjukkan hasilnya. Kita saatnya untuk tancap gas demi meraih titel juara Olimpiade 2016, Asian Games 2018, maupun Piala Thomas 2018.
Sebuah kegagalan akan selalu jadi obat terbaik bagi atlet muda untuk bangkit menjadi sang juara. Salah satu olahragawan terbesar yang pernah ada, Michael Jordan, pernah berkata, "Saya gagal berulang-ulang kali dalam hidup, dan itu karena itu mengapa saya sukses. Saya dapat menerima kegagalan. Tapi saya tak akan pernah mau berhenti mencoba."
Bisa menerima tanggung jawab kegagalan inilah yang juga mesti jadi budaya di Indonesia. Sebab tanggung jawab atas kegagalan kini jadi barang langka di negeri kita, utamanya dari aparatur negara di bidang olahraga.
Mungkin kalau Tim Piala Thomas Indonesia kemarin juara, akan muncul banyak klaim atas keberhasilannya. Mungkin akan ada yang mengklaim ini jasa 'tim kemanusiaan' salah satu parpol.
Tapi kalau gagal, biasanya tak ada yang berani mengklaim bertanggung-jawab. Paling-paling yang berkuasa kompak menyebut, 'ini kesalahan pemerintahan SBY.'
Mungkin, di sisi ini menjadi hikmah tersendiri dari kegagalan Piala Thomas. Sebab kalau belum siap bertanggungjawab memikul kegagalan, jangan harap mampu menopang sebuah keberhasilan.