Oleh Arif Supriyono,
Wartawan Republika
Ada suasana yang beda dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan kali ini. Bukan soal waktu pelaksanaannya yang kebetulan hampir semua organisasi massa Islam menyepakati jatuhnya awal Ramadhan. Namun, perbedaan itu lebih pada hiruk-pikuk yang mengiringi berjalannya bulan suci ini.
Sebelum puasa berlangsung, santer terdengar pandangan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin. Dalam suatu kesempatan, Lukman Hakim meminta agar masyarakat yang berpuasa juga menghormati mereka yang tak berpuasa. Belakangan Lukman Hakim juga menekankan pentingnya saling menghormati antara yang berpuasa dengan mereka yang tak berpuasa.
Peringatan atau imbauan awal menteri agama itu memang terasa aneh. Banyak pihak kemudian mengomentari dan mendukung imbauan itu. Sebaliknya, di lain pihak, tak kalah banyaknya kalangan yang merasakan kejanggalan itu.
Sudah lebih dari 70 tahun, sejak kemerdekaan, negeri ini mengalami fase bulan Ramadhan. Selama itu pula, rasanya tak ada yang aneh atau perlu diributkan.
Semua pihak dan dari pelbagai kalangan agama menyadari, itu bulan suci bagi umat Islam yang tengah menjalankan ibadah dan ibaratnya sedang berperang besar melawan hawa nafsu. Agar ibadah umat Islam itu menuai sukses, para pemeluk agama lain pun seolah tanpa dikomando senantiasa menjaga sikap, terutama saat makan-minum, dan tidak sembarangan memperlihatkannya di muka umum.
Itu semua berjalan tanpa ada peraturan daerah yang mendukungnya. Lihat pula contoh yang selalu dilakukan oleh pemilik rumah makan padang. Tanpa instruksi siapa pun, mereka selalu menutup pintu depotnya atau menaruh kain (kelambu) di kaca/pintu gerainya. Banyak pula yang baru membuka warung/depot/rumah makannya di sore hari.
Semuanya berlangsung alami dan nyaris tak pernah terdengar kegaduhan. Ini pula yang terjadi di lingkungan saya (wilayah Depok, Jabar) walau tak ada perintah dari pemerintah daerah kepada pemilik warung untuk menutup gerainya.
Suasana serupa juga terjadi tatkala umat lain beribadah memeringati hari pentingnya. Ketika Nyepi tiba, semua aktivitas berhenti total di Denpasar, Bali. Bandara pun tak beroperasi. Nyaris seluruh toko, tempat hiburan, tutup pintu rapat-rapat. Lampu penerang pun seperti ikut bersembunyi di balik keheningan umat Hindu. Mungkin hanya nyala kecil lentera kecil di dalam rumah yang menjadi penerang dalam keremangan.
Itu bentuk penghormatan total umat lain terhadap pemeluk agama Hindu, utamanya di Bali. Keluhan atas penghentian seluruh aktivitas itu tak pernah terdengar. Bahkan pihak tertentu juga ikut menyeseuaikan agenda-agenda penting lainnya di saat hari Raya Nyepi.
Begitu juga di hari Minggu, saat umat Kristen/Katholik menjalani kebaktian. Di kota saya (Tulungagung, Jawa Timur) biasa terpasang tanda larangan membunyikan bel/klakson di depan gereja ketika ada kebaktian atau misa (saat Natal dan hari-hari Minggu). Kami semua yang bukan Kristen/Katholik menyadari itu dan berusaha mematuhi.
Di Kabupaten Jayawiya, Papua para pedagang juga diminta tak berjualan saat hari Minggu agar kebaktian di gereja berjalan tenang. Para pedagang yang mayoritas Islam pun menaati. Terkadang, malah warga setempat yang seagama dengan pengikut kebaktian itu yang sering berjualan dan acap ditertibkan oleh satuan polisi pamong praja.
Namun, setelah imbauan agar umat Islam menghormati yang tak berpuasa di bulan Ramadhan itu, aneka komentar pro-kontra mulai bermunculan dari semua pihak. Begitu pula tatkala ada aksi satpol PP yang merazia ibu pemilik warung nasi yang membuka dagangannya di siang hari. Riuh-rendahlah komentar yang membela maupun menentang razia tersebut. Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sampai ikut saweran sebagai bentuk simpati bagi pemilik warung tadi.
Komentar tak hanya datang dari kalangan Islam. Pemeluk agama lain pun ikut ramai nimbrung di dunia maya. Ganjil juga rasanya. Ini masalah umat Islam, yang melakukan razian pun umat Islam, yang dirazia juga umat Islam, kalangan lain bahkan ikut berkomentar tak kalah nyaring. Tak elok rasanya ini terjadi.
Secara pribadi, saya juga tak setuju razia rumah makan di bulan Ramadhan dengan cara menyita dagangannya seperti itu. Jika memang sudah ada peraturan daerah mengenai ketentuan itu, mestinya petugas cukup mengingatkan agar pemilik warung menutup pintu atau kaca/jendelanya dengan kain dan silakan tetap mengoperasikan warungnya.
Imbauan ini pula yang seharusnya menjadi penekanan oleh menteri agama, bukan permintaan agar yang berpuasa menghormati mereka yang tidak bepuasa. Mestinya imbauan itu lebih ditujukan agar pemilik warung tak terlalu terbuka (sebagaimana hari biasanya) dalam menjalankan usahanya. Toh mayoritas masyarakat banyak yang berpuasa sehingga hampir bisa dipastikan, konsumen di siang hari menjadi lebih sedikit.
Kalaupun perlu ada imbauan tambahan, mungkin menteri agama atau menteri lain hanya perlu menekankan agar tak ada larangan bagi rumah makan, warung, depot, dan sejenisnya untuk tak beroperasi sepanjang bulan Ramadhan. Mereka hanya diminta agar tak terlalu mencolok dalam mengoperasikan warung makannya.
Apakah menutup pintu/kaca warung dengan tirai itu sekaligus menandakan lemahnya keimanan umat Islam terhadap godaan makan-minum? Tidak serta-merta bisa diartikan seperti itu dan sangat dangkal pendapat yang menyimpulkan demikian. Sedikit batasan terhadap cara pemilik warung/depot/resto berjualan di bulan Ramadhan masih diperlukan. Ini karena umat Islam yang sedang berpuasa tak sedikit yang berasal dari kalangan remaja.
Mereka yang berusia 9-17 tahun dan menjalankan puasa di negara yang 85 persen penduduknya beragama Islam tentu saja relatif banyak. Rata-rata, tingkat kematangan mental kelompok ini masih sangat labil. Oleh sebab itu, upaya untuk menjaga mereka agar bisa menjalankan ibadahnya dengan baik perlu mendapat dukungan. Bukankah negara akan diuntungkan bila warganya menjadi beradab, bermental baik, dan menjalankan prinsip-prinsip beragama secara benar?
Saya pun yakin seyakin-yakinnya, sebagai insan berbudi luhur, mereka yang non-Islam juga ingin menjadi manusia berbudi luhur. Mereka tentu ingin memberikan penghormatan terhadap umat Islam yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sebagai bentuk kesempurnaan pemahaman agama mereka. Kecuali bila umat lain itu memang memiliki tendensi untuk tidak mau hidup berdampimgan secara damai dengan Islam atau memiliki agenda yang menabrak tatanan Islam.
Sebaiknya, mari kita kembalikan kondisi Ramadhan dengan ideal dan tak perlu ada kontroversi, lebih-lebih sampai terjadi konfrontasi. Tak perlu pula ada razia bagi mereka yang menjual makanan di siang hari. Cukup ingatkan mereka agar sedikit repot dan mau menutup kaca/jendela/pintu dengan kelambu sehingga tak mencolok jika dilihat dari luar. Insya-Allah semuanya akan berjalan baik dan sikap saling menghormati atau menghargai sesama dan antarumat akan kian tercipta.