Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Jadilah orang kaya, maka Anda akan mendapat perlakuan istimewa di negeri ini. Kekeliruan yang kerap Anda lakukan bisa menjadi pembenaran bila Anda menjadi orang kaya. Tindak pidana pun akan bisa terhindari jika Anda memiliki harta kekayaan yang memadai.
Sekalipun Anda menjadi orang bandel dan tak mengindahkan untuk membayar pajak, bila ternyata jumlah yang Anda kemplang itu besar, tunggu saja. Suatu saat pemerintah akan berpikir ulang untuk mengalah dan membebaskan Anda dari kewajiban memenuhi pembayaran pajak tadi.
Pada tanggl 28 Juni 2016 lalu, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan pemberlakukan RUU Pengampunan Pajak menjadi Undang-Undang. Bisa jadi ini proses pembahasan RUU tercepat selama ini. Hanya dalam waktu 17 hari kerja RUU ini bisa dikebut dan secepat kilat berubah wujud menjadi UU.
Kondisi ini tak lepas dari kritisnya keuangan negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pendapatan negara tercatat hanya Rp 1.822,5 triliun. Adapun belanja negara ditetapkan sebesar Rp 2.093,7 triliun. Ini berarti ada defisit sekitar Rp 273,2 triliun.
Kondisi ini diperburuk dengan perolehan pajak yang tak juga memperlihatkan rasa optimisme. Mundurnya dirjen pajak lama, Sigit Priadi, dan digantikan Ken Dwijugeasteadi tak juga banyak berpengaruh.
Kala itu, Sigit mundur antara lain karena merasa tak lagi bisa memenuhi target penerimaan pajak dalam kondisi perekonomian negara yang cenderung lesu. Ken selaku pejabat baru pun belum juga bisa memenuhi target yang dibebankan pemerintah.
Hingga bulan Mei 2016 ini, realisasi pajak baru mencapai Rp 364,1 triliun. Angka pencapaian ini hanya sekitar 26 persen dari target perolehan pajak 2016 yang sebesar Rp 1.546,7 triliun. Aneka daya upaya pun dilakukan pemerintah hingga lahirlah RUU Pengampunan Pajak.
Objek yang mendapat pengampunan pajak adalah: pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Selanjutnya, dana repatriasi (dana dari luar negeri yang didapat dengan cara apa pun dan dibawa ke Indonesia) juga mendapat perlakuan istimewa.
Dana repatriasi hanya akan dikenakan tarif dengan kisaran 2 hingga 5 persen. Dana yang masuk dalam waktu tiga bulan hingga akhir September akan dikenakan tarif 2 persen. Untuk dana repatriasi yang masuk periode Oktober sampai Desember 2016 akan terkena tarif 3 persen. Adapun dana repatriasi yang masuk periode Januari sampai Maret 2017 akan terkena tarif 5 persen.
Masih ada kriteria lain maupun jenis pajak atau dana yang mendapat pengampunan dengan tarif tertentu. Misalnya penetapan tarif tebusan terhadap selisih harta kekayaan riil dengan yang dilaporkan setelah dikurangi utang. Tarif tebusan itu berkisar antara 0,5 persen hingga 2 persen dari selisih aset minus utang tadi.
Pihak paling diuntungkan dari pengampunan pajak ini sudah barang tentu para pengusaha besar. Angka dana pajak yang mereka kemplang memang tak disebutkan besarnya. Namun banyak pihak menilai, angka itu mencapai puluhan triliun rupiah.
Para pengemplang pajak inilah yang juga diperkirakan memiliki dana puluhan hingga ratusan triliun rupiah yang mereka parkir di luar negeri. Melalui keputusan pengampunan pajak ini, mereka diasumsikan akan memasukkan dananya ke dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah akan mendapat pemasukan dari tarif repatriasi.
Pemerintah berkeyakinan, kebijakan ini akan mampu menggaet pemasukan negara dari sektor pajak sebesar Rp 165 triliun dalam waktu singkat. Meski beberapa kalangan tak yakin dengan prediksi itu, keputusan sudah ditetapkan. Tinggal waktu yang akan membuktikan, seperti apa realisasinya nanti.
Pada sisi lain, keputusan pengampunan pajak ini tentu saja bertentangan dengan asas dan rasa keadilan masyarakat. Prinsip pajak adalah sesuatu yang memaksa kepada setiap warga negara yang menjadi wajib pajak. Menghindari pajak dengan sengaja juga berarti melakukan tindak pidana. Lantaran itu, mereka yang sengaja tak membayar pajak (pengemplang) bisa dijerat dan masuk bui.
Justru sebaliknya yang terjadi pada masyarakat kecil selama ini. Di samping pelbagai tarif komoditas yang kini beterbangan naik, masyarakat kecil juga kian terbatas menikmati subsidi pemerintah. Satu per satu subsidi untuk rakyat kecil dihilangkan. Harga-harga barang pun terasa mencekik leher. Saat rakyat kecil menderita, para konglomerat justru mendapat perlakuan istimewa.
Mereka mendapat hadiah luar biasa dari pemerintah. Kebijakan pemerintah membebaskan para pengemplang pajak hanya semata demi menyelamatkan anggaran negara, sungguh suatu tindakan yang merobek rasa keadilan rakyat. Orang bodoh pun akan mengatakan, jika pengeluaran melebihi pemasukan, tak ada cara lain kecuali penghematan.
Pemerintah rupanya ingin cara pintas. Mengurangi pengeluaran dengan risiko menekan pembangunan (termasuk infrastruktur) akan membuat kesan seolah pemerintah tak peduli pada pembangunan. Pada pihak lain, tetap menggenjot pembangunan dengan mencari dana melalui cara apa pun, ujung-ujungnya ternyata menabrak aturan hukum dan keadilan yang hakiki.
Kebijakan ini mungkin saja akan bisa memenuhi ketimpangan anggaran pemerintah. Meski demikian, ini sungguh ketentuan yang tak layak ditiru atau diteruskan. Beberapa pengamat menilai, ini bentuk kongkalikong mahasempurna antara konglomerat hitam, pemerintah, yang didukung DPR. Saya lebih cenderung mendukung upaya yang akan ditempuh beberapa pihak untuk melakukan uji materiil atas UU baru tersebut.
Dalam pandangan pengamat, para konglomerat hitam itu selamanya akan senantiasa menyiasati ketentuan yang ada jika pemerintah selalu lembek dalam menegakkan aturan. Penegakan hukum adalah kunci paling utama. Sekali kita loyo bersikap, seterusnya para pengusaha itu akan mencari celah dan dalih untuk bersiasat.
Mestinya bukan pengampunan pajak yang berlaku akan tetapi keringanan pajak. Keringanan ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: dicicil, diskon sampai jumlah tertentu, atau perlakuan lainnya yang lebih adil bagi masyarakat luas.
Andai aturan ini tetap dijalankan, saya berharap itu tak akan berlangsung lama. Begitu target pemasukan pemerintah terpenuhi, UU ini layak dicabut dan tak ada lagi pemikiran untuk menjalankannya kelak.