Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Hanya selang sembilan hari setelah Idul Fitri 1437 H yang jatuh pada tanggal 6 Juli lalu, terjadi huru-hara di Turki. Sekelompok militer di negara berpenduduk sekitar 79 juta jiwa itu melakukan kudeta. Saat kudeta berlangsung, Presiden Turki (Recep Tayyip Erdogan) tengah berada di Mongolia.
Bom-bom pun berjatuhan di Ankara, ibu kota Turki. Gedung parlemen tak luput dari bombardir senjata-senjata berat militer. Pesawat tempur militer yang mendukung pemerintah juga menembaki helikopter yang dipakai para pasukan yang melakukan kudeta.
Meski suasana mencekam dan tak menentu, Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim, dan Erdogan tetap bersikukuh untuk mengendalikan pemerintahan dan menolak klaim yang dilakukan para pelaku kudeta. Kedua pemimpin itu merasa tetap sebagai pemegang sah kekuasaan di negeri yang secara geografis masuk wilayah Eropa tersebut.
Erdogan bahkan memiliki keyakinan tinggi sebagai penguasa. Dengan lantang dia tampil di televisi dan menyerukan rakyatnya untuk turun ke jalan guna menentang kudeta tersebut. Bak kena sihir, rakyat begitu patuh pada seruan Erdogan yang telah berkuasa sejak 2003.
Secara serentak jutaan rakyat turun ke jalan di malam hari itu dan menolak upaya kudeta itu. Korban tewas tak terelakkan. Serangan pemberontak dan balasan dari kelompok sipil maupun militer yang mendukung pemerintah membawa korban lebih dari 250 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Begitu tiba di bandara Ataturk, Erdogan sudah disambut lautan manusia yang mendukungnya. Sekeliling bandara tumplek-blek dipenuhi massa yang memberi semangat dan meneriakkan yel-yel untuk Erdogan.
Sejarah pemerintahan Turki memang tak lepas dari cengkeraman militer. Mustafa Kemal Pasha atau Kemal Ataturk yang berlatar belakang militer mengambil alih kekuasaan kekhalifahan Ottoman (Turki Usmani) pada 1920. Ataturk lalu menahbiskan dirinya sebagai perdana menteri. Ia mengubah tatanan rakyat Turki yang sebelumnya bersendikan nila-nilai Islam menjadi sekuler.
Sebagian kalangan menyebut Ataturk sebagai bapak modernisasi Turki. Namun, sebagian kalangan lagi menilai Ataturk sebagai bapak sekulerisme Turki. Ataturk sengaja menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan rakyat Turki.
Sejak itu militer Turki memegang peran menentukan dalam pemerintahan. Bahkan dalam Undang Undang Dasar Turki, militer diberi peran untuk menjaga agar sekulerisme terus bisa berjalan dalam tatanan kehidupan berbanngsa dan bernegara di sana.
Kedigdayaan militer mulai goyah saat Partai Kesejahteraan yang dipimpin Necmetin Erbakan menjadi pemenang pemilu 1995. Militer Turki seperti tak terima, maka Erbakan pun dijungkalkan pada 1997. Setahun kemudian, Partai Kesejahteraan yang berbasis Islam itu diberangus. Para politisi kalangan Islam ini kemudian membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Hanya membutuhkan waktu empat tahun, AKP lalu memenangi pemilu 2002. Militer Turki kembali terusik. Mereka berupaya mengganjal Abdullah Gul untuk menjadi presiden. Niat jahat militer ini gagal dan melengganglah Gul sebagai presiden Turki pada 2007.
Saat ini setelah kudeta yang gagal, Erdogan ingin membersihkan Turki dari anasir-anasir militer yang anti pemerintahan sipil dan unsur lain yang mendomplengnya. Tak kurang dari 34 jenderal ditangkap, termasuk dua jenderal ternama: Erdal Osturk dan Adem Huduti. Lebih dari 135 hakim dan jaksa yang dianggap berkhianat juga tak luput dari jeratan jarring-jaring pemerintah.
Orang akan menilai, usaha Erdogan untuk membersihkan pemerintahannya dari para pemberontak sebagai hal yang wajar. Namun, di pihak lain tindakan represif yang ditempuh bisa menjadi malapetaka atau bumerang di kemudian hari. Bukan tak mungkin, mereka yang tersingkirkan akan melakkukan konsolidasi atau menyusun kekuatan untuk bangkit di kesempatan lain melalui pelbagai cara.
Ini yang juga perlu mendapat perhatian pemerintah Erdogan. Tokoh-tokoh utama pemberontakan atau kudeta lalu memang layak dikandangkan. Namun, mereka yang perannya tak terlalu menonjol semestinya tak disingkirkan begitu saja. Mungkin perlu ada semacam ikrar atau penandatanganan pakta integritas bagi mereka yang bukan menjadi pelaku utama kudeta. Mereka memang bisa dihukum namun tetap ada peluang untuk mendapat ampunan.
Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku pemberontakan juga akan berisiko besar. Bukan tak mungkin banyak negara akan memprotesnya. Jika banyak negara --termasuk negara adidaya-- yang memprotes kemudian bahu-membahu dengan para pembangkang itu, bisa saja terangkai kekuatan yang besar untuk ganti membalikkan keadaan dalam suatu kesempatan.
Amerika Serikat kali ini memang tak mendukung kudeta militer yang terjadi. Akan tetapi sikap AS tak bisa dibaca secara sederhana begitu saja. Tak bisa pula diartikan, bahwa AS sepenuhnya berada di balik pemerintahan Turki.
Sebagai contoh, saat terjadi kudeta yang gagal kemarin, Erdogan dengan lantang menuding ulama Turki, Muhammad Fethullah Gulen, sebagai orang di balik pembangkangan militer itu. Gulen yang berusia 78 tahun itu merupakan pendiri kelompok Hizmet. Ia sempat dicurigai militer karena ajarannya yang dinilai fundamental. Lantaran memiliki pandangan politik yang berbeda, Gulen kemudian memilih tinggal di AS. Gulen lalu merintis dialog antaragama, termasuk dengan Katholik dan Yahudi.
Meski berada di luar negeri, pengikut Gulen yang juga akrab dibanggil Hocaefendi itu cukup banyak di Turki dan Asia Tengah. Erdogan sempat minta agar Gulen diserahkan ke Turki. Namun, AS tak menanggapi permintaan Turki dan Gulen pun tetap berada di Pennsylvania. Ini juga menjadi bukti lain, AS bukan sepenuhnya negara yang menjadi sekutu Turki.
Dalam situasi seperti saat ini, ada baiknya bila Turki tak terlalu agresif untuk melakukan serangan ke wilayah tetangganya. Agresivitas untuk menyerbu suku Kurdi di Irak dan memerangi Suriah (pemerintahan Bashar Assaad yang beraliran Syiah) mungkin harus ditahan dulu. Selain serangan itu bisa menguras energi lebih banyak, kohesivitas antara kelompok pembangkang dan negara yang diserang Turki akan bisa mendorong simpati negara lain untuk kembali menyingkirkan Erdogan dan AKP yang belum sepenuhnya diterima dunia internasional.
Agenda utama Turki saat ini sepertinya memang harus menata kembali posisi militer di negerinya. Menjauhkan militer dari politik dan menutup peluang tampilnya militer sebagai satu-satunya garda bangsa yang berhak menjaga prinsip sekulerisme di Turki tampaknya tak bisa ditawar lagi.