Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Dua tahun setelah menjabat, Presiden Joko Widodo kembali melakukan perombakan kabinet. Kali ini perombakan tersebut lumayan besar. Ada sembilan nama baru --sebagian di antaranya merupakan tokoh lama-- yang dimasukkan dalam kabinet dan menggantikan pejabat lama.
Jenderal (Pur) Wiranto menduduki posisi menko polhukam menggantikan Luhut Binsar Pandjaitan yang digeser menjadi menko kemaritiman menggantikan Rizal Ramli. Budi Karya Sumadi menjadi menteri perhubungan menggantikan Ignatius Jonan. Lalu Archandra Tahar menjabat menteri energi dan sumber daya mineral, menggantikan Sudirman Said.
Airlangga Hartarto diangkat sebagai menteri perindustrian, menggeser posisi Saleh Husin. Eko Putro Sanjoyo dilantik sebagai menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi menggantikan Marwan Ja’far. Muhadjir Effendy menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan menggantikan Anies Baswedan.
Politisi lawas Enggartiasto Lukito diangkat sebagai menteri perdagangan menggantikan Thomas Trikasih Lembong yang berpindah tugas sebagai kepala Badan Kerja Sama Penanaman Modal (BKPM). Asman Abnur diangkat sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi menggeser posisi Yuddy Chrisnandi. Adapun Sri Mulyani Indrawati kembali menjadi menteri keuangan menggantikan koleganya Bambang Brodjonegoro.
Pada perombakan kabinet pertama (sekitar Agustus 2015) ada enam nama baru yang masuk. Mereka adalah Luhut B Pandjaitan (menko polhukam), Rizal Ramli (menko kemaritiman), Thomas Trikasih Lembong (menteri perdagangan), Darmin Nasution (menko perekonomian), dan Sofyan Djalil (dari menko perekonomian ke menteri perencanaan pembangunan nasional, menggantikan Andrinof Chaniago).
Dari nama-nama menteri baru yang masuk, Sri Mulyani Indrawati paling banyak menyita perhatian khalayak. Masuknya Sri Mulyani tentu tak lepas dari kondisi keuangan yang menghimpit negara saat ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini terjadi defisit Rp 273,2 triliun. Dengan belanja sebesar Rp 2.095,7 triliun, target pendapatan negara hanya sekitar Rp1.822,5 triliun.
Realisasi perolehan pajak yang jadi penopang utama APBN (Rp 1.546,7 T) juga masih mengkhawatirkan. Hingga Mei 2016, baru terkumpul Rp 364,1 triliun atau sekitar 25 persen dari target. Dengan mendatangkan Sri Mulyani yang telah enam tahun menjadi petinggi Bank Dunia, mungkin Jokowi yakin dua masalah pelik itu akan teratasi. Tentu tidak ada guna atau faedahnya bila ternyata situasi pelik itu tak berubah saat menteri keuangan dijabat Sri Mulyani.
Masalah penting lain adalah keterbatasan dana untuk pembangunan di negara kita. Lantaran keterbatasan itu pula, pemerintah pun berencana untuk memanfaatkan dana haji sebagai modal membangun infrastruktur. Ada hal yang menarik sehubungan dengan kebutuhan pembanngunan kita, terutama terkait pengembangan infrastruktur.
Cina kini menjadi salah satu pilihan utama kita untuk bermitra. Dana dari Cina mengalir begitu deras, sebelum laju perekonomian mereka tersendat. Selama 2010-2016 investasi Cina ke Indonesia mencapai 23,5 miliar dolar AS. Jumlah ini merupakan 11 persen dari total investasi Cina ke luar negaranya. Peningkatan besar investasi ke Indonesia terjadi dalam dua tahun terakhir.
Dalam kuartal pertama 2016, investasi Cina melonjak 400 persen. Ini membuat Cina berada di urutan kelima dalam daftar negara yang berinvestasi terbesar ke Indonesia dan menyingkirkan Amerika Serikat. Lima besar itu adalah Singapura, Malaysia, Jepang, Korsel, dan Cina
Akibat lainnya, utang Indonesia ke Cina juga kian bertambah. Bila sampai Januari 2015 utang ke Cina baru mencapai 8,55 miliar dolar AS, maka pada awal 2016 telah terkerek menjadi 13,65 miliar dolar AS. Ini berarti naik sekitar 59 persen dalam kurun setahun.
Tingginya agresivitas Cina dalam mengucurkan modalnya ke Indonesia memang sempat membuat ketar-ketir negara lain. Amerika Serikat (AS) pun tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Ini karena penguatan ekonomi Cina akan sangat berdampak pada kekuatan pertahanan mereka. Satu hal yang amat ditakuti AS.
Sangat boleh jadi, pemetaaan kembali utang Indonesia ini akan menjadi prioritas Sri Mulyani untuk ditata. Harapan kita, tentu agar konfigurasi utang luar negeri Indonesia lebih memperlihatkan komposisi yang tidak njomplang atau terlalu berat kepada pihak tertentu dan terutama kian hari akan kian berkurang jumlahnya.
Jangan sampai penataan konfigurasi utang itu hanya sekadar penggeseran. Saat ini kiprah investasi AS di Indonesia tersodok oleh masuknya mata uang yuan (Cina). Bila kemudian kedatangan Sri Mulyani hanya sekadar menempatkan kembali AS ke posisi terhormat dalam investasi dan pemberian utang, serta menggusur Cina ke bawah, ini tentu hanya sekadar siasat belaka.
Masyarakat perlu mencermati agar jalan keluar untuk mengatasi kondisi keuangan ini bukan ditempuh untuk kembali menambah utang kepada Bank Dunia. Kalau itu yang terjadi, kita akan kembali pada situasi saat dicengkeram kuku-kuku tajam lembaga keuangan dunia yang merupakan kolaborasi dengan Dana Moneter Internasional. Kala itu, kita tak bisa bergerak dan semuanya serbadidikte oleh mereka.
Arah pembangunan pun bukan lagi berorientasi untuk mengurangi kesenjangan dan mengangkat kehidupan rakyat kecil. Namun, target pembangunan semata-mata hanya mengejar angka-angka fantastis (pertumbuhan, inflasi, nilai investasi, dan sejenisnya) yang tak selalu berdampak nyata pada kehidupan masyarakat akar rumput.
Segala bentuk subsidi untuk masyarakat kecil pun dicabut hanya dengan dalih, bahwa hal itu bias serta salah sasaran dan tanpa ada upaya meluruskan sasaran tersebut. Mekanisme pasar sering menjadi alasan untuk tak melakukan pembelaan terhadap ekonomi menengah dan kecil. Pemihakan terhadap kaum lemah pun seperti tak pernah terlintas di alam pikiran para pengambil kebijakan.
Mudah-mudahan Sri Mulyani bisa memenuhi harapan rakyat banyak, walau ada saja yang yang pesimistis karena ideologi dan pilihan kebijakan ekonomi wanita berusia 54 tahun tersebut selama ini. Kita semua hanya bisa berharap agar Sri Mulyani jauh lebih peduli atas pengembangan ekonomi rakyat kecil.
Di samping masalah-masalah itu, sudah pasti Sri Mulyani akan diingatkan kembali terhadap kasus pengucuran dana Rp 6,7 triliun ke Bank Century yang hingga kini belum juga tuntas. Kasus ini pula yang membuat Sri Mulyani meninggalkan tugas sebagai menteri keuangan dan memilih untuk menjadi direktur pelaksana Bank Dunia.
Saat ini pun kita tak tahu persis, apakah kembalinya Sri Mulyani karena sepenuhnya pilihan Jokowi yang terpikat oleh kemampuan ekonom tersebut atau ada pihak luar yang ikut berperan.
Bagi saya, menjadi menteri dan presiden (wakil presiden) adalah puncak pengabdian seorang warga negara terhadap negara dan bangsa ini. Karena itu, tak ada posisi atau jabatan lain di luar sana yang lebih terhormat daripada puncak pengabdian tersebut, kecuali jelas-jelas terancam nyawanya. Di sinilah warna merah-putih di dada itu akan kian terlihat.