Oleh: Wartawan Republika, Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, Sore hari Senin (15/8) kemarin, bergolak di tepian keriuhan soal kewarganegaraan ganda, ada ricuh di Medan Polonia, Medan, Sumatra Utara. Alkisah, ini perihal tanah yang diklaim warga tetapi sudah dipatok untuk kemudian bakal dijadikan rumah susun untuk prajurit TNI AU. Ada aksi unjuk rasa, ada pemblokiran jalan, dan kemudian bunyi senapan menyalak-nyalak.
Setidaknya lima warga tertembak. Kebanyakan tertembak di tangan dan betis, satu tertembak di pinggang, satu tertembak di leher. Ada seorang anak dipukul belakang kepalanya hingga kesulitan berbicara, dua wartawan kena aniaya aparat.
Rekaman gambar dan video peristiwa itu juga menunjukkan oknum tentara masuk masjid dengan sepatu yang masih terpakai. Mereka bahkan terlihat menyeret seorang tua dari dalam masjid dengan menarik kerah bagian belakang bajunya. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah meminta maaf atas kejadian tersebut. Tim investigasi juga dibentuk.
Bagaimanapun, buat sebagian orang, gambar tersebut mengembalikan kenangan soal tangan besi militer pada masa Orde Baru. Tapi buat yang bersedia lebih cermat menengok data, dalam level yang beragam, kejadian semacam itu ternyata bukan hal yang tak lumrah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Begini, berdasarkan data Komnas HAM, pada 2011 jumlah aduan atas pelanggaran HAM yang dilakukan oknum kepolisian sebanyak 1.839 aduan. Sedangkan aduan serupa dengan oknum TNI sebagai tertuding mencapai 240 aduan. Pada 2012, aduan terkait polah petugas polisi naik sedikit jadi 1.938 aduan. Meski begitu, aduan terkait pelanggaran HAM oleh oknum TNI turun jadi 204 aduan. Pada 2013, giliran aduan atas polah petugas polisi yang turun jadi 1.845 aduan, sedangkan aduan atas tindakan oknum TNI naik jadi 270 aduan.
Nah, fluktuasi laporan pada rentang waktu tersebut relatif stabil meski angka-angkanya sudah termasuk keterlaluan untuk negara yang mengaku demokratis seperti Indonesia.
Masih merujuk pada data Komnas HAM, memasuki 2014, ketika pemilu digelar dan akhirnya Presiden Joko Widodo dilantik, polanya berubah. Sepanjang 2014, jumlah pelanggaran HAM oleh oknum polisi yang diadukan melonjak 25 persen jadi 2.483 laporan. TNI masih lumayan dengan jumlah laporan yang turun jadi 215 laporan.
Namun, pada 2015, kenaikannya jadi seragam. Jumlah laporan atas kelakuan oknum polisi meningkat 9 persen jadi 2.734 laporan. Sedangkan, laporan atas perilaku prajurit TNI yang melanggar HAM melonjak 35 persen menjadi 331 aduan.
Jika angka-angka tersebut tak menggugah, sejumlah kejadian juga mendapat sorotan belakangan. Pada hari yang sama dengan kericuhan di Medan, misalnya, LBH Jakarta merilis ada juga penangkapan 100 warga Papua di Jayapura dan penangkapan 17 lainnya di Jakarta. Yang ditangkap adalah mereka yang memperingati New York Agreement 1962, kesepakatan yang memulai proses aneksasi Papua Barat oleh Indonesia. Ada penembakan dan ada yang luka juga.
Pada 8 Desember 2014, sekira dua bulan selepas Jokowi dan Jusuf Kalla diambil sumpahnya, oknum TNI-Polri menewaskan enam orang dan melukai 22 lainnya lewat tembakan yang diarahkan ke massa yang memprotes pemukulan seorang remaja oleh oknum TNI di Paniai, Papua. Presiden baru mengeluarkan komentar soal kejadian itu pada Hari Natal 2014. Tim pencari fakta dibentuk, tapi hingga kini tak ada yang dibawa ke persidangan.
Pada 29 Maret 2015, sejumlah oknum petugas Brimob menyerang warga Kampung Morekau, Seram Barat. 13 warga terluka serius akibat peristiwa itu.
Pada 23 Agustus 2015, enam warga ditembak oknum TNI di kompleks Gereja Katolik Koperapoka, Timika. Dua di antaranya meninggal. Dua yang terluka akibat tembakan masih anak SMA.
Pada 1 Desember 2015, empat warga Kampung Wanapompi, Distrik Angkaisera, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, tewas di tempat setelah ditembak oknum pasukan gabungan TNI-Polri. Penembakan dilakukan menyusul pengibaran bendera Bintang Kejora di depan rumah salah seorang warga di Kampung Wanapompi.
Pada 29 Maret 2016, Kontras melaporkan bahwa aparat kepolisian membubarkan aksi protes ribuan petani dan penambang di Dongi-Dongi, Sulawesi Tengah. Sebanyak 14 penambang ditembak dan 94 orang ditangkap.
Pada rentang waktu akhir April hingga awal Mei 2016, menurut LBH Jakarta, setidaknya 1.839 warga Papua ditangkap di berbagai daerah karena melakukan aksi meminta referendum. Penangkapan dilakukan di Jayapura, Merauke, Fakfak, Sorong, Wamena, Semarang, Makassar. Penangkapan-penangkapan pada rentang waktu yang singkat tersebut berhasil membuat rezim Jokowi jauh melampaui capaian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono soal penangkapan orang Papua.
Pada 10 Juni 2016, lima warga Merigi Sakti, Kabupaten Bengkulu Tengah, bengkulu ditembak oknum polisi saat menggelar aksi menolak penambangan batu bara. Satu yang ditembak mengalami luka kritis.
Selain kejadian-kejadian terpisah itu, ada juga gelombang penangkapan dan penyitaan terkait atribut-atribut PKI yang mulai marak sejak awal tahun ini. Begitu juga dengan aksi pemberantasan terorisme oleh Densus 88 yang sempat menewaskan Siyono, seorang warga Klaten, pada Maret 2016. Ada juga pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pertengahan bulan lalu.
Jika indikasi meningkatnya kekerasan oleh aparat pada masa Jokowi-JK mudah ditelisik, yang lebih sulit ditelaah adalah penyebabnya. Bisa jadi memang ada kondisi sosial tertentu di masyarakat yang jadi faktor.
Tapi selain itu, mari menengok kebijakan pemerintahan Jokowi-JK terkait pertahanan-keamanan. Sebagai kandidat dari sipil, Joko Widodo sejak masa kampanye sudah mulai mencoba mencuri hati militer. Saat menemui para purnawirawan TNI pada 3 Juni 2014, Jokowi menjanjikan anggaran TNI bakal naik dari Rp 70 triliun menjadi Rp 210 triliun jika perekonomian memungkinkan.
Ia juga merekrut sejumlah purnawirawan TNI seperti Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, Sutiyoso, AM Hendropriyono, dan Ryamizard Ryacudu dalam jajaran tim pemenangan. Para rekrutan tersebut nantinya mengisi posisi-posisi penting dalam administrasi Jokowi.
Tak lama selepas dilantik, tepatnya pada akhir November 2014, Presiden Jokowi menyetujui penambahan pembentukan kodam baru di Papua dan Manado. Rencana itu mengabaikan keberatan lembaga-lembaga pegiat HAM yang menilai jumlah tentara sebanyak 12 ribu-13 ribu prajurit TNI AD, 1.272 personel TNI AL, dan 570 prajurit TNI AU di Papua dan Papua Barat sudah terlalu banyak.
Selain itu, Presiden juga membuka kemungkinan menambah komando armada tengah melengkapi Koarmabar dan Koarmatim. Belakangan, di Natuna, Kepulauan Riau juga disetujui menjadi tempat pembangunan pangkalan militer baru.
Sementara pada akhir 2014, pemerintah pusat membuka kemungkinan pengerahan TNI guna pembersihan teroris di Poso. Rencana itu mulanya disamarkan dengan latihan militer gabungan yang digelar pada 31 Maret 2015 hingga 4 April 2015. Militer saat itu agaknya masih malu-malu karena regulasi negara memang membatasi penindakan terorisme oleh TNI.
Namun, selepas latihan, sekira 700 personel TNI ditinggal di Poso guna bergabung dengan polisi dalam operasi Camar Maleo yang berlangsung hingga Januari 2016. Tujuh anggota kelompok Santoso ditewaskan dalam operasi itu.
Pada 10 Januari 2016, operasi berubah nama menjadi Operasi Tinombala. Jumlah TNI yang dilibatkan jadi mayoritas dengan jumlah sekira 2.000 prajurit dari total pasukan gabungan sebanyak 3.000 personel. Sebanyak 18 anggota kelompok sipil bersenjata termasuk Santoso ditewaskan dalam operasi yang hingga kini masih berjalan itu.
Pada masa Jokowi juga muncul program semimiliterisasi sipil berjudul “Bela Negara” yang disponsori Kementerian Pertahanan. Selain itu, pemerintah juga mendorong TNI secara resmi dilibatkan dalam pemberantasan terorisme melalui revisi UU Antiterorisme.
Yang sudah tampak sedikit lebih jelas di sini, ada kemungkinan korelasi positif antara bulan madu Jokowi-militer dengan meningkatnya kekerasan dan represifisme aparat. Tapi semisal pun korelasi tersebut tak ada, Presiden tetap tak boleh lepas tangan saat oknum militer kian sewenang-wenang. UUD 1945 menyatakan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas semua matra TNI.
Presiden Jokowi pernah menegaskan dan merengkuh peran konstitusional sebagai panglima tertinggi TNI saat mengangkat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai panglima TNI, Juni 2015 silam. Apakah berlebihan kalau masyarakat juga meminta Presiden Jokowi menggunakan kewenangan serupa untuk mengerem, menindak, atau setidaknya berkomentar atas brutalitas oknum tentara juga polisi belakangan?