Rabu 07 Sep 2016 08:17 WIB

Qadafi, Hitler, dan Sangkuni di Sekitar Pemerintahan Jokowi

Politikus (Ilustrasi)
Politikus (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Tokoh abad pencerahan Prancis, François-Marie Arouet, atau yang dikenal dengan nama Voltaire pernah berkata, "Politik adalah seni merancang kebohongan."

Perkataan Voltaire tentunya tak bisa ditelan mentah. Tapi tak pula bisa 100 persen dibantah. Sebab, sejarah sudah mencatat bahwa dunia politik penuh dengan fitnah. 

Tokoh antagonis bisa disulap menjadi pahlawan. Pun sebaliknya, orang baik bisa dicitrakan sebagai bajingan. Semua ini terjadi nyata di dunia politik. Politik pun bak sandiwara.

Saya mengutip penggalan lirik lagu God Bless berjudul "Panggung Sandiwara" ciptaan Taufik Ismail. "Peran yang kocak membuat kita terbahak-bahak. Peran bercinta bikin kita mabuk kepayang...."

Ya, apa yang terkandung dalam lagu itu merupakan pula cermin politik Indonesia. Penghancuran karakter seorang tokoh kadang membuat rakyat tertawa terbahak, tanpa sadar bahwa usaha itu dilakukan oleh akun bayaran. Sebaliknya, peran pemimpin merakyat kerap membuat rakyat mabuk kepayang. Padahal, kebijakan pelakon merakyat itu justru membuat kenyang para konglomerat dan membuat rakyat semakin melarat.

Tapi inilah panggung sandiwara. Kisahnya bisa diatur oleh media pendukungnya. 

Saya tidak mau menyamaratakan bahwa seluruh pemimpin Indonesia punya tabiat pelakon sandiwara. Tapi dalam hal ini, kita juga mesti mengkritisi segala fenomena terkait politik yang janggal terjadi, utamanya menjelang sebuah kontestasi politik. Ada citra pemimpin yang terus diangkat. Di sisi lain, ada pula karakter pemimpin yang dihabisi. Fenomena ini bisa diartikan sebagai sebuah propaganda hingga sandiwara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement