REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Tokoh abad pencerahan Prancis, François-Marie Arouet, atau yang dikenal dengan nama Voltaire pernah berkata, "Politik adalah seni merancang kebohongan."
Perkataan Voltaire tentunya tak bisa ditelan mentah. Tapi tak pula bisa 100 persen dibantah. Sebab, sejarah sudah mencatat bahwa dunia politik penuh dengan fitnah.
Tokoh antagonis bisa disulap menjadi pahlawan. Pun sebaliknya, orang baik bisa dicitrakan sebagai bajingan. Semua ini terjadi nyata di dunia politik. Politik pun bak sandiwara.
Saya mengutip penggalan lirik lagu God Bless berjudul "Panggung Sandiwara" ciptaan Taufik Ismail. "Peran yang kocak membuat kita terbahak-bahak. Peran bercinta bikin kita mabuk kepayang...."
Ya, apa yang terkandung dalam lagu itu merupakan pula cermin politik Indonesia. Penghancuran karakter seorang tokoh kadang membuat rakyat tertawa terbahak, tanpa sadar bahwa usaha itu dilakukan oleh akun bayaran. Sebaliknya, peran pemimpin merakyat kerap membuat rakyat mabuk kepayang. Padahal, kebijakan pelakon merakyat itu justru membuat kenyang para konglomerat dan membuat rakyat semakin melarat.
Tapi inilah panggung sandiwara. Kisahnya bisa diatur oleh media pendukungnya.
Saya tidak mau menyamaratakan bahwa seluruh pemimpin Indonesia punya tabiat pelakon sandiwara. Tapi dalam hal ini, kita juga mesti mengkritisi segala fenomena terkait politik yang janggal terjadi, utamanya menjelang sebuah kontestasi politik. Ada citra pemimpin yang terus diangkat. Di sisi lain, ada pula karakter pemimpin yang dihabisi. Fenomena ini bisa diartikan sebagai sebuah propaganda hingga sandiwara.