REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Teguh Firmansyah
Presiden Recep Tayyip Erdogan. Nama itu cukup disegani tak hanya di internal Turki, namun juga di negara lain, dari kawasan Timur Tengah hingga Barat. Erdogan seolah tak luput menjadi pergunjingan media, analis politik maupun agen-agen intelijen asing. Dalam beberapa bulan terakhir, namanya pun menjadi pusat perhatian, setidaknya pada tiga kasus penting.
Pertama yakni konfliknya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kedua soal hubungan perbaikan hubungan Turki dengan Israel dan terakhir yakni ihwal kudeta gagal pada 15 Juli lalu.
Bukan Erdogan namanya jika tidak secara lihai menghadapi segala persoalan itu. Politik zig-zag yang dimainkan Erdogan bisa membuatnya berteman atau "bermusuhan" dengan siapa pun.
Pada hari ini Erdogan bisa bermusuhan dengan Vladimir Putin. Namun pada esok hari ia bergandengan dengan Presiden Rusia itu menghadapi lawan yang sama, Amerika.
Masih ingat saat Erdogan saling perang kata-kata dengan Putin pasca penembakan jatuh pesawat Rusia oleh jet Turki. Erdogan menegaskan, seharusnya Rusia yang meminta maaf kepada Turki karena telah melanggar perbatasan.
Saat Putin menyebut Turki menadah minyak ISIS, Erdogan membantah dan menyebut Rusia tukang fitnah. Namun ketegangan keduanya tak berlarut-larut. Pada Juni, Erdogan menyampaikan permohonan maaf kepada kerabat pilot Rusia yang tewas. Permohonan maaf ini mencairkan situasi.
Puncaknya pada Agustus, keduanya bertemu di St Petersburg, Rusia, Selasa (9/8). Erdogan mengatakan, hubungannya dengan Rusia telah memasuki lembaran baru. Erdogan juga berterima kasih kepada Putin yang mendukungnya saat upaya kudeta terjadi.