REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Karta Raharja Ucu (@kartaraharjaucu)
Kambing baru... kambing baru... kambing baru... teriakan sejumlah anak-anak bertalu-talu setiap ada seorang jamaah masjid di dekat rumah, yang membawa hewan kurban untuk didaftarkan ke panitia Idul Adha. Teriakan itu khas, bahkan tidak mengalami modifikasi diksi dari sejak saya masih kecil. Namun, teriakan tersebut akan hilang bersama angin karena ditelan suara tahlil, takbir, dan tahmid yang merobek suramnya malam.
Berkurban sapi, kambing, atau bahkan unta merupakan satu keharusan bagi setiap Muslim yang berkecukupan. Berkecukupan di sini bukan hanya kaya, tapi memiliki dana yang cukup setiap ingin membeli sesuatu. Cukup dana ketika ingin membeli kendaraan, cukup dana ketika ingin membeli rumah, cukup dana untuk traveling, cukup dana membeli pakaian atau sepatu baru, atau cukup dana untuk membeli ponsel keluaran terbaru. Jika semua syarat 'cukup' itu sudah terpenuhi, mestinya kita malu bila beralasan tidak memiliki cukup dana untuk berkurban.
Bahkan, kita yang berkecukupan harusnya menutup wajah karena malu, saat mendengar pada 2013 lalu seorang pemulung berusia 68 tahun bernama Sahati memberikan seekor kambing kepada masjid dekat rumahnya. Sahati yang kehidupan sehari-harinya berada di bawah garis kecukupan, rela menabung Rp 500 sampai seribu rupiah setiap harinya selama tujuh tahun untuk membeli seekor kambing. Ya tujuh tahun, waktu yang sangat panjang untuk membeli seekor kambing yang harganya tak lebih dari Rp 2 juta.
Tidak memiliki uang atau tak menyiapkan dana untuk berkurban selalu menjadi alasan bagi sebagian orang yang 'cukup' untuk tidak berkurban. Padahal, misalnya, kita baru membeli ponsel anyar, kendaraan gres, atau baru saja pergi liburan dengan keluarga besar yang menghabiskan dana tak sedikit. Tapi ketika Idul Adha datang, kita beralasan tidak memiliki dana untuk membeli seekor kambing yang harganya tak lebih dari Rp 2 juta. Kita mulai hitung-hitungan, mulai pakai perasaan.
Penghasilan kita sebagai pekerja kantoran atau berwirausaha tentu lebih dari cukup bila dibandingkan Nenek Sahati. Namun, tetap saja kita melewatkan Hari Raya Idul Adha tanpa berkurban. Padahal dengan perencanaan keuangan yang benar, kita tidak punya alasan untuk tak berkurban saban tahunnya.